"Ayo kita pacaran!" Ryan melontarkan kata-kata tak pernah kusangka.
"A-apa?" Aku tersentak kaget bukan main.
"Pacaran." Dengan santainya, dia mengulangi kata itu.
"Kita berdua?"
Ryan mengangguk sambil tersenyum padaku. Mimpi apa aku barusan? Ditembak oleh Ryan, murid terpopuler di sekolah ini. Dia adalah sosok laki-laki dambaan semua murid yang memiliki rupa setampan pangeran negeri dongeng. Rasanya aku mau melayang ke angkasa.
Padahal aku adalah seorang gadis biasa yang memiliki paras sangat buruk, tidak pandai merawat diri. Aku juga tidak menarik sama sekali di mata orang lain dan sering menjadi korban bully di sekolah. Bagaimana Ryan bisa tertarik padaku?
Tidak! Aku akan menolaknya dengan keras!!!
[update setiap hari 1-2 bab/hari]
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adzalziaah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 | Pemeriksaan
“Sudah dapat nomor antrean?” tanya Ryan saat aku berjalan mendekatinya di ruang tunggu rumah sakit.
“Iya, sudah,” jawabku singkat sambil melirik kertas kecil bernomor yang kugenggam erat. Aku duduk di sebelah Ryan. Kebetulan kursi di sampingnya kosong.
Ruang tunggu itu penuh dengan orang-orang, tetapi kehadirannya di sampingku entah bagaimana membuat keramaian itu terasa sunyi. Aku masih menyumbat hidungku dengan tisu. Darahnya memang sudah berhenti, tapi aku tidak mau ambil risiko.
Aku mencoba mengalihkan perhatian dengan memperhatikan sekitar. Anak kecil menangis di pelukan ibunya, seorang pria tua tampak terbatuk-batuk di sudut ruangan, dan seorang wanita hamil sedang membolak-balik majalah di tangannya. Tapi tatapan Ryan yang terus mengarah kepadaku membuatku sulit untuk tidak merasa gugup.
Hatiku terasa sangat tak karuan. Bukan hanya karena menunggu giliran untuk diperiksa, tetapi juga karena suasana di antara kami yang tiba-tiba berubah menjadi lebih canggung. Kami berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Hingga akhirnya, Ryan memecah keheningan.
“Aura,” panggilnya pelan, suaranya cukup rendah sehingga hanya aku yang bisa mendengar. “Kenapa kamu nggak mau jadi pacarku?”
Pertanyaannya langsung membuatku tertegun. Aku menoleh perlahan ke arahnya, melihat matanya yang menatapku lekat-lekat, seolah dia benar-benar menunggu jawaban.
“Ah, itu…” Aku mengalihkan pandangan, mencoba meredam kegugupan yang tiba-tiba menyerangku.
“Apa kamu benar-benar akan pindah sekolah?” lanjutnya, kali ini nada suaranya terdengar lebih pelan, hampir seperti bisikan. “Aku kira kita akan bersama sampai kelas 12.”
Aku menggigit bibir bawahku, merasa semakin canggung. Dia menatapku dengan begitu serius, tapi ada rasa takut di matanya yang membuatku ingin menjawab dengan jujur. Tapi aku sangat takut untuk mengatakannya sekarang. Takut membuatnya kecewa.
“Anu… Ryan,” aku memberanikan diri untuk bertanya balik. “Sejak kapan kamu mulai menyukaiku?”
Ryan terdiam. Aku melihatnya memalingkan wajah, seperti sedang mengumpulkan keberanian untuk bicara. Tapi aku tidak melewatkan bagaimana pipinya berubah sedikit kemerahan, meskipun dia berusaha keras menyembunyikannya.
“Sejak…” Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Sejak masa orientasi sekolah.”
Kata-katanya menggema di pikiranku. Ah, aku sudah menduganya, tapi tetap saja mendengar dia mengakuinya langsung terasa berbeda. Jadi, dia sudah memendam perasaannya sejak lama?
Aku mengerutkan kening, mencoba memproses semuanya. Mungkin karena aku terlalu fokus dengan masalahku sendiri selama ini, aku tidak pernah menyadari bahwa Ryan… melihatku lebih dari sekadar teman.
“Apa aku menarik bagimu?” tanyaku tiba-tiba, suaraku nyaris berbisik.
Suasana ruangan tunggu yang sepi seolah mendorongku untuk mengungkapkan pertanyaan itu. Kenapa aku harus bertanya hal bodoh seperti itu?
Ryan menoleh ke arahku, matanya sedikit melebar seolah tidak percaya aku mengajukan pertanyaan itu. Dia menggaruk belakang kepalanya, kebiasaannya setiap kali merasa gugup. Namun, ada yang berbeda kali ini. Matanya memancarkan sesuatu yang lebih dalam, seolah sedang mencari kata-kata yang tepat.
Kemudian, tatapannya berubah lebih tulus, lebih lembut, seolah ingin memastikan aku mengerti betapa seriusnya dia. Aku bisa merasakan perubahan itu, meskipun aku tidak tahu pasti apa yang sedang terjadi dalam pikirannya. Itu membuatku semakin gugup. Namun sebelum dia sempat menjawab, suara lantang seorang suster memecah keheningan di ruang tunggu.
“Nomor antrean 65, silakan masuk!”
Aku tersentak, buru-buru melirik kertas di tanganku yang sudah sedikit kusut. “Ah, itu nomorku. Aku masuk dulu, ya.” Aku berdiri dari kursi, sedikit tergesa.
Ryan mengangguk, suaranya tenang meskipun matanya masih mengikuti gerakanku sampai aku benar-benar berjalan menjauh. “Iya, aku tunggu di sini.”
Aku mengangguk pelan sebelum melangkah menuju ruangan dokter. Tanganku yang masih menggenggam tisu terasa dingin, meskipun aku mencoba untuk tenang. Setiap langkahku terasa berat, seolah ragu-ragu menghantui setiap gerakan tubuhku.
Begitu aku masuk ke dalam ruangan, seorang pria paruh baya dengan jas putih sedang sibuk mencatat sesuatu di buku besar. Namanya tertera di pin kecil di jasnya, Dr. Hamid A.
“Saudari Aura Delianna?” tanyanya sambil mendongak, memastikan bahwa aku adalah pasien berikutnya.
“Iya, itu saya,” jawabku.
“Baik, silakan duduk.” katanya sambil menunjuk kursi di hadapannya.
Aku duduk, mencoba menjaga postur tubuhku agar tidak terlihat terlalu tegang. Namun, ruangan ini terasa sangat kecil dan dingin. Mataku sempat melirik sekitar, ruangan yang sederhana namun rapi. Meja dengan alat tulis yang tersusun rapi, komputer di pojok, dan beberapa peralatan medis yang terlihat rapi di rak kecil di sampingnya.
Dokter Hamid menyelesaikan tulisannya, lalu menatapku dengan sorot mata yang penuh perhatian. “Jadi, ada keluhan apa?” tanyanya, seolah sudah terbiasa mendengar keluhan pasien dengan cara yang sangat profesional.
Aku menelan ludah sebelum menjawab, “Hidung saya tidak berhenti mengeluarkan darah sejak tadi.” Suaraku sedikit terputus-putus, dan aku berharap dia tidak menangkap kecemasan yang terasa menyesakkan dadaku.
Dokter Hamid mengangguk pelan, menyesuaikan kacamatanya sebelum membuka catatan lain di mejanya. “Baik. Silakan naik ke atas ranjang pemeriksaan. Saya akan periksa lebih lanjut.”
Aku berdiri perlahan dan berjalan menuju ranjang yang terletak di sudut ruangan. Tempat itu terasa dingin, meskipun selimut tipis sudah digelar di atasnya. Aku duduk dengan sedikit canggung.
Dokter Hamid mendekat sambil membawa senter kecil dan alat pemeriksaan lainnya. “Duduk tegak, ya. Saya akan periksa hidung Anda terlebih dahulu.” katanya dengan nada ramah.
Aku menurut, mendongakkan kepala sedikit sesuai instruksinya. Senter kecil itu memancarkan cahaya terang langsung ke arah hidungku, membuatku sedikit berkedip. Rasanya ada yang mengganjal di dalam hidungku, sesuatu yang terasa aneh, namun aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskannya.
“Hm,” gumam Dokter Hamid sambil tetap memeriksa hidungku. Tatapannya penuh konsentrasi, memeriksa dengan teliti. “Apakah ini sering terjadi sebelumnya?” tanyanya lagi.
Aku mengangguk pelan, mencoba terlihat tenang. “Iya, tapi tidak sering,” jawabku singkat.
Dia menarik kursinya lebih dekat, menatapku dengan sorot mata yang lebih serius. “Sepertinya Anda baru pertama kali datang ke rumah sakit ini. Apakah Anda memiliki riwayat penyakit tertentu sebelumnya?”
Dokter Hamid berhenti sejenak, lalu menatapku dengan ekspresi yang lebih serius. “Sepertinya Anda baru pertama kali datang ke rumah sakit ini. Apakah Anda memiliki riwayat penyakit serupa sebelumnya?”
Aku terdiam, merasakan tenggorokanku mengering. Nafasku terasa berat saat akhirnya memberanikan diri untuk menjawab.
“Itu…” Aku menghentikan kalimatku, menatap ke arah tanganku yang saling meremas di atas pangkuan.
...»»——⍟——««...
(✊ cemunguuutt otor..!! selalu kutunggu up'nyaa..)