Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Yaksa
***
"Geya, tadi Alin kamu ajak ke mana?"
Aku yang sedang menemani Javas belajar reflek menoleh ke arah Mas Yaksa, saat mendengar pertanyaannya. Keningku mengerut heran saat menyadari nada bicara Mas Yaksa yang terkesan lain dari biasanya.
"Main ke rumah temen aku, Mas, namanya Yasmin. Temen SMP sampai kuliah, cuma beda fakultas, dulu pas kita udah sama-sama kerja dan dianya belum nikah, kita sering main bareng kok. Mas Yaksa juga dulu pernah ketemu beberapa kali sama dia, cuma kemungkinan Mas Yaksa udah lupa sih," ucapku menjelaskan.
Entah hanya perasaanku saja atau bagaimana, tapi aku memang merasa ada yang lain dengan ekspresi Mas Yaksa.
Masih dengan ekspresi yang sulit ku artikan Mas Yaksa mengangguk. "Mas masih inget, dulu yang suka main ke rumah kan? Yang nggak bisa bawa motor itu?"
Kali ini giliranku yang mengangguk untuk mengiyakan. Sedikit takut juga karena ingatannya lumayan bagus.
"Makan apa aja di sana?"
Tumben banget nanyain makan.
"Siapa?"
Mas Yaksa menatapku datar. "Alin, Geya. Memangnya siapa lagi?"
Siapa? Kan bisa saja aku? Oh, tapi kami menikah karena terpaksa jadi ya ngapain juga sih dia nanyain aku makan apa saja. Ya ampun, kenapa aku kegeeran begini?
Aku kemudian menggeleng cepat. "Oh, Alin? Enggak kok, dia nggak makan apa-apa di sana, cuma minum asi aku doang. Kenapa emang, Mas?" tanyaku dengan hati-hati.
Sepertinya mood Mas Yaksa tidak begitu bagus.
Mas Yaksa tidak terlalu puas dengan jawabanku. Tak lama setelahnya terdengar decakan samar. Aku yang tadinya sedang mencoba memfokuskan diri dengan Javas reflek langsung menoleh. Kenapa sih ini orang?
"Yakin nggak makan apa-apa? Lalu kenapa tubuh Alin timbul ruam kemerahan begini?" Nada bicara Mas Yaksa terdengar seperti sedang menuduhku.
"Mas Yaksa nuduh aku?" Aku kemudian berdiri dan menghampiri mereka untuk memastikan kondisi Alin.
Kening Mas Yaksa mengernyit. "Mas tanya, Geya. Di bagian mana yang Mas nuduh kamu?" tanyanya terdengar sama kesal denganku.
"Ekspresi kamu." Aku kemudian mendesis pelan saat menyadari ruam kemerahan pada tubuh Alin. Perasaan bersalah hadir tanpa bisa ia cegah.
Agaknya memang bodoh aku ini, yang seharian ini bersama Alin tapi justru malah yang tidak tahu.
"Memang tadi sore waktu mandiin belum ada?"
Aku menggeleng cepat.
"Tadi kamu ke rumah temen kamu itu naik apa?" Mas Yaksa memandangku penuh selidik.
Aku langsung melongo. "Hah?"
"Kalian tadi ke rumah Yasmin naik apa, Geya?" ulang Mas Yaksa, "kamu jangan menguji kesabaran Mas, Geya."
Ragu-ragu aku kemudian menjawab, "Naik ojek."
"Astagfirullah, Geya," respon Mas Yaksa membuatku semakin gugup.
Mas Yaksa menatapku sebentar lalu menghela napas kasar. "Geya, Mas tahu mungkin selama kamu belum nikah sama Mas, kamu sering berpergian pake motor. Setelah menikah pun Mas nggak masalah kalau kamu masih tetap berpergian menggunakan motor. Tapi kalau sama Alin, tolong, gunakan taksi online. Mas udah kirim uang bulanan juga kan buat kamu, apa masih kurang sampai nggak cukup buat bayar ongkos taksi?"
Mendadak aku merasa tersinggung. "Mas."
"Apa? Apa karena Alin bukan anak kandung kamu jadi--"
"Cukup, Mas! Aku rasa kamu keterlaluan," seruku memotong kalimat Mas Yaksa, "aku tahu di sini aku yang salah, tapi kamu nggak punya hak nuduh aku begitu. Asal Mas Yaksa tahu, meski pun aku nggak nikah sama Mas, aku ini tetap Tante-nya Alin. Dan emang selama ini aku sayang ke Alin Mas pikir cuma buat caper doang? Enggak, Mas, aku tulus beneran sayang sama dia."
Mendengar suaraku yang tiba-tiba meninggi membuat Alin menangis. Perasaan bersalahku kian menjadi. Emosiku kian mendongkol saat ingin mengambil alih Alin dari gendongannya tapi ditolak Mas Yaksa.
"Enggak usah, kamu intropeksi diri dulu sebelum sentuh anak Mas."
What? Aku bilang aku mengakui kesalahanku dan apa yang barusan Mas Yaksa bilang. Bukankah itu keterlaluan?
Ia kemudian mencari keberadaan Ita, baby sister yang akan kami percaya untuk menjaga Alin selama kami bekerja.
"Mama sama Ayah berantem?" Tak lama setelahnya terdengar suara Javas, aku menoleh ke arahnya sambil tersenyum tipis.
"Enggak. Ayo, Mama bantuin kelarin PR-nya abis ini Kakak bisa tidur."
"Ayah kadang memang sedikit galak, Ma, tapi sebenernya baik kok."
Aku tersenyum lalu mengangguk untuk mengiyakan kalimatnya. Tanganku kemudian mengusap kepalanya.
"Mama tahu."
"Jangan sedih ya, Ma."
"Mama sedih karena nggak bisa jagain adek kamu."
"Mama sudah berusaha."
Kali ini aku terkekeh sambil mencubit pipi gembil Javas karena gemas. "Aduh, kamu manis banget sih. Paling pinter nyenengin hati orang, nggak kayak Ayah kamu."
Mungkin karena tidak terlalu paham, Javas hanya tertawa dengan kalimatku.
Selesai membantu Javas mengerjakan tugasnya, aku kemudian mengantar Javas menuju kamarnya lalu setelah itu bergegas menuju kamarku. Ralat, kamarku dengan Mas Yaksa dan Alin.
Ah, Mas Yaksa, sebenarnya aku masih malas bertemu dengannya tapi kalau aku tidak menemui mereka kasian Alin. Kalau bapaknya sih bodo amat, tapi Alin butuh ASI dariku.
Saat aku masuk ke kamar, Mas Yaksa terlihat sedang berusaha menidurkan Alin.
"Butuh bantuan?" tanyaku hati-hati.
"Enggak perlu," balas Mas Yaksa ketus.
Aku memilih mengalah. "Oke, kalau gitu aku tidur di kamar sebelah ya atau sama Javas."
"Atas dasar apa?"
"Mas Yaksa keliatan terganggu dengan keberadaan aku jadi mending kita pisah kamar."
"Kita baru berapa bulan menikah dan kamu sudah mau pisah kamar?"
Astaga, ya ampun. Masih salah juga? Tapi sekali lagi aku harus kembali mengalah. Mau bagaimanapun kali ini aku yang salah dan aku harus menanggung resikonya bukan?
"Oke, aku tetap tidur di sini," ucapku pada akhirnya.
"Kamu tidur di kamar sebelah. Jangan di kamar Javas."
Lah?
Tidak ingin memprotes, aku pun mengangguk seadanya. "Oke," ucapku setuju pada akhirnya.
"Semudah itu?"
Astaga, ya ampun, apa sih ini maunya bapak-bapak anak dua?
"Mas, bisa nggak usah mempersulit aku?"
"Kamu tidur di kamar sebelah, besok kamu bisa kembali mengurus Alin kalau kamu sudah sadar kesalahan kamu."
Aku melotot tidak percaya. "Mas, aku bilang aku tahu aku salah. Aku bakalan berusaha untuk nggak ngulangin atau buat kesalahan lain. Dan kalau nggak inget harus bantu urus Alin aku juga nggak akan masuk kamar dengan kondisi kamu yang marah begini."
"Ya sudah, kamu bisa keluar sekarang," ucap Mas Yaksa membuat kekesalanku kian bertambah.
Malas berdebat, aku kemudian memutuskan untuk langsung keluar kamar. Terserah saja lah, aku lelah menghadapi Mas Yaksa kalau sedang mode lupa umur begini.
To be continue,
author nya dah pintar nih......... ☺