Cinta memang gila, bahkan aku berani menikahi seorang wanita yang dianggap sebagai malaikat maut bagi setiap lelaki yang menikahinya, aku tak peduli karena aku percaya jika maut ada di tangan Tuhan. Menurut kalian apa aku akan mati setelah menikahi Marni sama seperti suami Marni sebelumnya???
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Its Zahra CHAN Gacha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 17. Badai Akhirnya Berlalu
Angin kencang berhembus membuat jendela kayu kamar Pardi terbuka dengan sendirinya.
*Brakkk!!
Hembusan angin membuat kedua daun jendela itu saling bertabrakan hingga menimbulkan bunyi berisik.
*Brakk, brakkk!!
Pardi membuka matanya saat menyadari ada kekuatan besar menerobos masuk ke kamarnya. Ia tahu dirinya tak bisa membantu Amar lagi. Semua kekuatannya sudah ia kerahkan untuk membantunya namun makhluk itu terlalu kuat. Ia bahkan tak bisa menyentuhnya sedikit pun.
Kini makhluk itu datang kepadanya untuk membalas perbuatannya karena sudah ikut campur.
Baru saja pria renta itu hendak berdiri untuk menutup jendela kamarnya sebuah angin besar menghantamnya membuat tubuh keriputnya terhempas ke lantai.
*Bugghhh!!!
Pardi memegangi dadanya yang terasa nyeri. Saat ia mencoba untuk kembali bangun darah segar menyembur dari mulutnya membuat ia seketika pingsan.
Kartini menjadi panik melihat suaminya sekarat.
"Pak, bangun pak, pak!!" teriak wanita itu dengan wajah panik
Pardi mengerjapkan matanya, ia memberikan isyarat kepada Kartini untuk mendekat. Wanita itu segera menempelkan telinganya tepat di bibir suaminya itu.
"Bangunkan Paijo," ucapnya lirih
Kartini mengangguk, wanita itu buru-buru berlari keluar meninggalkan rumahnya.
Sementara itu puluhan kalajengking merayap masuk ke kediaman Ustadz Gani. Lelaki berkopiah putih itu menghentikan bacaannya saat melihat puluhan hewan berbisa itu mengepung kamarnya.
"Astaghfirullah hal adzim,"
Ia kembali melanjutkan bacaannya membuat setiap kalajengking yang mendekatinya mati satu persatu.
Sementara itu Kartini berlari sekencang-kencangnya, wanita tua itu bahkan sampai terjatuh.
*Bugghhh!
Lututnya terlihat berdarah, kakinya yang sudah tidak sekuat dulu tetap ia paksakan untuk berjalan meskipun harus di seret.
Kabut berwarna ungu menyelimuti kediaman Paijo. Kartini hanya mengelus dada melihatnya, ia mengambil batu yang tergeletak di halaman.
"Audzu billahi minasyaithonir rajim bismillahi rohmani Rohim," ucap Kartini kemudian mengetuk pintu rumah tetangganya itu dengan menggunakan batu yang ia bawa.
*Dug, dug, dug!!
Kartini sengaja mengetuk pintu rumah itu dengan menggunakan batu agar si pemilik rumah terbangun. Ia tahu Paijo dan Surti sedang terkena ilmu sirep sehingga susah untuk di bangunkan.
Usaha Kartini membuahkan hasil, Paijo pun terbangun.
"Siapa sih yang iseng bertamu malam-malam!" gerutu Paijo sambil membetulkan sarungnya
Ia segera keluar untuk membuka pintu. Wajahnya tampak shock saat melihat Kartini dengan penampilan acak-acakan di depan rumahnya.
"Ada apa toh bude malam-malam begini datang ke rumah?" tanyanya
"Amar," jawab Kartini menerobos masuk ke dalam rumah
"Amar kenapa Bu Dhe??"
Kartini mengangkat telapak tangannya, mengisyaratkan kepada Paijo untuk diam dan mengikutinya. Wanita itu menyuruh Paijo untuk mendobrak pintu kamar Amar.
"Buat apa Bu Dhe, nanti malah ganggu si Amar toh,"
"Sudah jangan banyak tanya, kalau mau anakmu selamat cepetan buka!" seru Kartini
Paijo pun menurut, ia pun mundur beberapa langkah bersiap memasang kuda-kuda. Setelah merasa siap ia pun berlari dan membenturkan badannya ke daun pintu.
*Buughhh!!
*Buughhhh!!
Setelah tiga kali Paijo membenturkan badannya ke daun pintu, akhirnya pintu kamar itupun ambruk juga.
Lelaki itu meringis terbaring diatas daun pintu. Sementara itu Kartini merangsek masuk mencari keberadaan Amar. Ia mencari di kolong tempat tidurnya namun ia tak menemukan Amar.
"Anakmu ilang!" seru Kartini
Seketika Paijo bangun dan terperangah, "Yang bener Bu Dhe??"
"Dia tidak ada di sini," Kartini terus mencari keberadaan Amar di setiap sudut ruangan
"Memangnya dimana dia!"
Paijo segera bangun dan mencari keberadaan putranya, namun ia melihat sesuatu di bawah pintu kamar yang ambruk.
Ia segera mengangkat pintu itu dan melihat Amar tergeletak di bawahnya.
"Astaghfirullah," Paijo segera memindahkan Amar ke tempat yang lebih aman.
"Apa dia masih bernafas?" tanya Kartini
Paijo mengangguk.
"Syukurlah, beri dia minum air putih saat ia bangun. Kalau begitu aku pamit pulang," wanita itu berbalik dan meninggalkan mereka
Tidak lama Surti bangun, wanita itu menghampiri suaminya dengan wajah penasaran.
"Apa yang terjadi?" tanyanya lirih
"Anakmu,"
"Kenapa dengan Amar??" Surti terlihat sangat panik
"Dia masih belum sadar, nanti kita tanyakan setelah ia sadar,"
Cukup lama Amar tidak sadarkan diri, hingga saat suara adzan subuh berkumandang, ia baru membuka matanya.
"Alhamdulillah akhirnya kamu sadar juga," ucao Paijo begitu senang saat melihat putranya sadar
"Apa aku masih hidup?" tanya Amar sambil memperhatikan tangan dan kakinya
"Seperti yang kamu lihat le, Gusti Allah masih memberimu panjang umur," sahut Paijo
"Alhamdulillah,"
Paijo dan Surti kemudian memeluknya erat.
"Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Surti
"Ceritanya panjang Bu, sepertinya lebih baik aku menceritakannya setelah sholat subuh. Aku harus berterimakasih dulu kepada Gusti Allah karena sudah menyelamatkan nyawaku,"
Amar kemudian kembali ke kamarnya untuk mengambil perlengkapan sholat. Ia memperhatikan sejenak Kondisi kamarnya.
Semuanya berantakan, buku-buku bacaan, bahkan jam dindingnya berserakan di lantai. Namun anehnya Marni sama sekali tak membuka matanya hingga kejadian itu berakhir.
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu saat jin itu keluar dari tubuhmu, apa kamu benar-benar tak merasakan kehadirannya?" ucap Amar memperhatikan Marni yang tidur terlentang di depannya
Ia kemudian menghampiri sesaji yang tergeletak di meja rias. Ajaib Posisinya masih sama, bahkan tak ada satupun isi baki itu yang hilang ataupun jatuh ke lantai.
"Lalu apa fungsi sesaji ini?" ucap Amar tersenyum getir memandang baki berisi bunga tujuh rupa dan makanan khusus untuk orang mati
Netranya bergerak kearah Jendela kamarnya dimana tergantung beberapa buntelan daun sirih yang berisi kapur sirih.
"Ini juga, apa kegunaannya!" hardiknya dengan tatapan jengkel
Saat ia hendak menarik tali-tali itu seseorang menahannya.
"Jangan le, jangan di rusak!"
*Deg!
Amar terperanjat melihat sosok Marni tiba-tiba berada di belakangnya.
Amar segera melepaskan lengan istrinya itu dan berlari meninggalkannya.
Ia berlari begitu kencang hingga nyaris menabrak Ustadz Gani.
*Dug!
"Astaghfirullah, Mar ada apa toh, kok lari-larian kaya bocah!" gerutu Gani
"Ustadz, maaf Ustadz ... Saya tidak melihat Ustadz," ucap Amar tergagap
Gani memperhatikan pria tiga puluh tahun di didepannya itu.
"Alhamdulillah, Aku senang melihat mu masih bisa sholat berjamaah di masjid, apa kamu baik-baik saja?" tanya Gani
"Alhamdulillah Ustadz, saya baik-baik saja,"Jawab Amar
"Syukurlah,"
"Ada yang ingin aku ceritakan kepada Ustadz," ucap Amar membuat Gani tersenyum kearahnya.
"Ceritakan nanti setelah selesai sholat, sekarang saatnya kita sholat dulu," jawab Gani
"Baik ustadz,"
Amar segera berjalan mengekor dibelakang ustadz Gani. Ia segera bergabung dengan jamaah lain yang sudah menunggu kedatangan sang Ustadz.
Selesai sholat Amar menunggu Ustadz Gani yang masih melakukan dzikir.
"Ayo pulang mas?"
Amar seketika terkesiap saat melihat Marni tiba-tiba berada di sampingnya.