Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
A Call That Changes Everything
Chandra baru saja selesai dengan meeting terakhirnya hari itu. Matahari mulai terbenam, menciptakan cahaya jingga di luar jendela kaca yang besar di kantornya. Sudah hampir waktunya pulang, dan pikirannya mulai melayang ke Shabiya—pikirannya selalu berakhir padanya setelah hari yang melelahkan. Menjemput istrinya dari kantor sudah menjadi rutinitas yang ia nikmati, kesempatan kecil untuk menghabiskan waktu bersama di tengah kesibukan pekerjaan mereka.
Shabiya, suaranya yang lembut namun tegas ketika berdebat dengannya semalam masih terngiang di telinganya. Setiap kata yang ia ucapkan tadi malam mengiris ego Chandra, tapi juga membuatnya semakin terpikat. Mereka baru saja selesai berbicara tentang Awan dan Erika—atau lebih tepatnya, berdebat sengit tentangnya. Shabiya, dengan segala keteguhannya, menolak untuk melihat situasi dari sudut pandang Chandra. Dan Chandra, dengan dominasinya yang biasa, tidak terbiasa menghadapi perlawanan seperti itu. Namun, yang paling mengganggunya bukan perdebatan itu sendiri, melainkan apa yang terjadi setelahnya.
Ia ingat bagaimana ia berjalan mendekat, bagaimana jantungnya berdetak lebih kencang saat melihat ekspresi Shabiya yang penuh dengan emosi. Rasa marah, frustrasi, tapi juga kesedihan yang tersembunyi di balik tatapannya yang indah. Dorongan itu datang begitu saja, seperti gelombang pasang yang tak bisa ia kendalikan. Ia meraih wajah Shabiya, mendekat, dan sebelum ia sadar, bibirnya sudah menyentuh bibir istrinya. Ciuman itu bukan ciuman lembut atau penuh kehati-hatian. Itu adalah ledakan perasaan yang selama ini ia coba abaikan. Ciuman itu menuntut, mengklaim, dan tanpa disadari, mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam.
Namun, begitu ia masuk ke ruangannya, Chandra langsung merasakan ada sesuatu yang salah. Awan, kakaknya, sudah duduk di sana, menunggu dengan senyum lebar yang terlihat mencurigakan. Chandra menutup pintu perlahan, tatapannya tajam menelusuri setiap gerakan Awan. Ada sesuatu yang aneh dari sikap santai kakaknya itu, senyuman puas yang terpampang di wajahnya seolah ia baru saja memenangkan sesuatu.
Chandra menutup pintu di belakangnya dengan perlahan, tatapannya tajam, penuh kecurigaan. "Apa yang kau lakukan di sini, Awan?"
"Selamat sore adikku yang tampan," sapa Awan dengan nada riang yang terdengar palsu. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, terlihat sangat nyaman di ruang kantor yang bukan miliknya. "Kau kelihatan lelah, Chandra. Apa kau butuh kabar yang akan membuat harimu lebih... menarik?"
Chandra mendesah pelan, mencoba mengendalikan emosi yang mulai muncul. "Jika kau hanya ingin membuang waktuku, lebih baik keluar sekarang."
"Oh, aku tidak akan membuang waktumu," jawab Awan, nadanya ringan tapi penuh dengan provokasi. Ia mengeluarkan ponselnya dan menyodorkannya ke arah Chandra. "Lihat ini. Shabiya baru saja meneleponku."
Wajah Chandra langsung berubah. Ia mengambil ponsel itu dengan gerakan cepat, membaca log panggilan yang memang mencantumkan nama istrinya. Jantungnya berdetak lebih kencang. "Apa maksudmu?" tanyanya dengan suara yang lebih rendah, nyaris berbisik.
"Ini bukan hal yang biasa, kan? Aku bisa saja salah, tapi mungkin... dia sudah mulai bosan padamu. Seperti Erika dulu bosan padamu." kata Awan, nadanya hampir bersiul.
Seketika itu juga, darah Chandra mendidih. Ia merasakan gelombang amarah naik dengan cepat, membuat seluruh tubuhnya tegang. Jantungnya berdegup kencang, mencoba memahami apa yang baru saja ia dengar. Shabiya? Menelepon Awan? Kata-kata Awan mengenai kebosanan terdengar seperti ejekan tajam yang dengan sengaja dimasukkan ke dalam percakapan.
"Kau tidak ingin tahu apa yang dia katakan?"
"Apa yang dia katakan?" tanya Chandra, suaranya lebih rendah, dingin, hampir seperti ancaman.
"Oh, kau tidak perlu percaya padaku, Chandra. Tapi panggilan ini sungguhan, tidak direkayasa," Awan tersenyum lebih lebar, seperti seekor serigala yang baru saja menjebak mangsanya. "Dia mengeluh tentang Erika, tentu saja. Tapi kau tahu apa yang aku pikirkan? Mungkin dia tidak senang dengan pernikahan ini. Mungkin dia hanya... lelah denganmu."
Chandra merasakan kepalanya berdenyut. Ia ingin tidak percaya pada kata-kata Awan, tapi kenyataan bahwa panggilan itu benar-benar ada, membuat rasa ragu merayap ke dalam pikirannya. Ia tahu betul bagaimana Awan sering menggunakan kebohongan dan manipulasi untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, tapi bagaimana jika kali ini Awan mengatakan kebenaran? Bagaimana jika Shabiya, wanita yang selama ini ia percayai sepenuh hati, mulai merasa bosan dengan dirinya?
Darah Chandra mendidih. Ia mencoba mengendalikan dirinya, tapi amarah itu terlalu kuat. "Cukup," katanya dengan nada yang dingin, penuh ancaman. "Keluar dari kantorku, sekarang."
Chandra merasakan kemarahan mengalir ke seluruh tubuhnya. Matanya menyipit ke arah Awan, yang masih duduk di sana dengan sikap santai, seperti seorang pemenang yang baru saja menjatuhkan lawannya. "Kau bisa memastikannya sendiri," tantang Awan, senyum liciknya tak kunjung hilang. "Tanya dia. Aku yakin dia akan memberimu jawaban yang menarik."
Chandra tidak menjawab. Ia menunggu sampai Awan keluar dari ruangannya sebelum mengambil napas dalam-dalam. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Pikirannya terus berputar, mengingat kata-kata Awan, membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang menghantuinya. Ia meraih ponselnya dan menekan nomor Shabiya.
"Aku akan menjemputmu sekarang," katanya singkat, suaranya dingin dan tegas.
Shabiya terdengar bingung. "Apa sesuatu terjadi?"
"Aku hanya ingin menjemputmu," jawabnya sebelum menutup telepon. Ia tahu nada suaranya mungkin terlalu kasar, tapi ia tidak peduli. Ada sesuatu yang harus ia selesaikan, dan ia tidak akan menunggu lebih lama lagi untuk mendapatkan jawabannya.
Pikirannya masih berkecamuk, campuran antara amarah, kecurigaan, dan luka lama yang mendadak terbuka kembali. Kata-kata Awan terus menghantuinya—bahwa mungkin, Shabiya mulai merasakan apa yang Erika rasakan dulu. Kebosanan. Kekecewaan.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Chandra berbalik dan berjalan cepat keluar dari ruangannya. Pintu ditutup dengan keras, dan suara derap langkah Chandra memenuhi lorong. Ia mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa marah dan curiga berkecamuk di dalam hatinya. Pikirannya terus melayang pada kata-kata Awan, sementara wajah licik kakaknya itu terus terbayang di benaknya. Di satu sisi, ia merasa bodoh karena membiarkan Awan mempengaruhinya. Tapi di sisi lain, ketidakpastian ini menggerogotinya.
Saat Chandra berjalan keluar dari gedung kantor dan memasuki mobilnya, ia tahu ada sesuatu yang perlu segera dibicarakan antara dirinya dan Shabiya. Dan dia tidak akan menunggu lebih lama lagi untuk mendapat jawabannya.
***