Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33. Perhatian
Alfi melihat Aghnia tengah merebahkan diri dengan nafas tersengal, nampak dari penampang perut dan gerakan dadanya.
"Apa sakitnya kambuh?", gumam Alfi seraya melangkah mendekati tubuh Aghnia.
"Kamu, apa sakit lagi?", Alfi berbisik agar orang lain tidak mengetahui kondisi Aghnia. Namun gadis itu tidak merespon.
Alfi segera mengambil ponsel Aghnia dan menghubungi nomor Ristiana, menyuruhnya agar segera datang.
"Bertahan lah sejenak", bisik Alfi, lantas berlari ke kantin, membeli air hangat ke dalam botol plastik. Segera, Alfi kembali dan meletakkan botol itu ke tangan Aghnia.
"Letakkan di perutmu agar lebih rileks", instruksi Alfi. Aghnia menurut. Dalam beberapa detik, ekspresi kesakitan Aghnia pun mereda.
"Kamu, di mana obatmu?", tanya Alfi setelah kondisi Aghnia lebih baik. Aghnia menggeleng, di mana Alfi berdecak melihat keteledoran Aghnia.
"Bersabar lah, sebentar lagi temanmu akan datang", ujar Alfi yang setia menunggu Aghnia di sampingnya. Hingga 5 menit berlalu, Risti melangkah cepat menghampiri Aghnia yang masih berbaring di karpet.
"Nia, bagaimana keadaanmu? Kita ke rumah sakit?", Risti khawatir dan berbicara agak keras.
"Jangan terlalu keras, kasihan nanti Aghnia diperhatikan banyak orang", tutur Alfi yang sedari tadi diabaikan Risti.
"Oh, maaf pak, Alfi?", Risti pun terkesima melihat wajah tampan Alfi dari jarak sedekat ini. Ia bahkan menelan ludahnya.
"Apa kamu perlu ambulance?", tawar Alfi, ingin tahu kondisi sebenarnya Aghnia. Namun Aghnia hanya menggeleng.
"Antar aku pulang saja Ris", tutur Aghnia pelan. Risti pun memapah Aghnia ke mobil. Alfi membantu membawakan totebag dan buku yang tadi dipinjam Aghnia.
"Terimakasih pak Alfi, kami permisi", ucap Risti setelah menutup pintu mobil.
"Hati-hati", pungkas Alfi.
Aghnia melirik ke arah Alfi yang dengan tenang dan setia menunggu mobil mereka berangkat. Hingga mobil itu tak lagi terlihat, Alfi kembali ke dalam perpustakaan untuk mengembalikan buku yang ia pinjam.
Malam itu, Alfi mengantar Elviana untuk bertransaksi membeli cafe Melody.
"Mas Alfi, apa boleh aku minta bantuan mas jika cafeku sudah buka nanti?", tanya Elviana, ingin mendekat kepada Alfi.
"Em, boleh", singkat Alfi, nampak memikirkan sesuatu.
"Mas Alfi lagi banyak pikiran?", Elviana membaca jelas gelagat Alfi yang tak biasa menjawab singkat kepadanya, kecuali di perpesanan.
"Emm, eh, nggak kok. Cuma masalah biasa di kampus", ujar Alfi yang tengah memikirkan kondisi Aghnia.
"Mas Alfi boleh kok cerita padaku. Dulu aku selalu mendengar cerita mas", tawar Elviana.
"Nggak apa-apa kok Vi, aku tak ingin merepotkanmu", tolak Alfi. Sudah sepuluh tahun mereka berpisah. Ia tak punya kedekatan seperti itu lagi setelah terbiasa sendiri.
"Bahkan kesatria baja pun punya hati yang bisa berdarah. Aku yakin mas Alfi akan lebih baik setelah bercerita kepadaku", ungkap Elviana. Alfi tersenyum mendengar Elviana mencoba menyemangatinya.
"Kamu memang adik yang paling pengertian di dunia ini", puji Alfi.
"Cuma adik mas?", Elviana tersenyum manis ke arah Alfi.
"Bagaimana lagi,Vi. Hanya kalian keluarga yang tersisa untukku yang telah terbiasa sendiri ini", ujar Alfi.
"Apa mas Alfi tidak ikut pindah saja ke Suriah bersamaku?", tawar Elviana. Jelas Alfi menolak karena passionnya adalah mengajar seperti mendiang ibunya.
"Apapun itu, aku akan tetap mendukung mas Alfi. Jadi, mau cerita sekarang?", tanya Elviana.
"Enggak deh Vi. Aku akan menanggungnya sendiri. Jika aku tak mampu, mungkin aku akan bercerita kepadamu", tolak Alfi. Elviana pun mengangguk, tidak memaksa Alfi.
Di dalam cafe Melody, Alfi mengantar Elviana bertemu Kevin, pemilik cafe Melody, lantas duduk agak jauh agar tidak menggangu namun tetap menjaga adik sepupunya.
Satu jam berlalu, Alfi nampak sibuk memainkan ponselnya dengan fasilitas wifi cafe.
"Ayo mas, aku sudah selesai", ajak Elviana. Alfi pun mengangguk dan berjalan bersama ke mobilnya.
"Sekarang kita mau ke mana?", Alfi nampak kurang bersemangat.
"Ke mana saja, asal kakakku yang super tampan menawan banyak hati perempuan ini bisa kembali bahagia dan tersenyum, menunjukkan rasa syukur atas segala nikmat yang telah Tuhan curahkan", ucap Elviana, seketika membuat Alfi tersenyum bahagia.
"Kamu memang paling pengertian Vi. Kita makan malam dulu ke restoran biasa, lalu kuantar ke rumah kakek. Bagaimana?", tawar Alfi. Elviana pun tersenyum dan mengangguk setuju.
Di restoran hotel Versailles, mereka sedang bersantap dan berbincang ringan.
"Pokoknya, mas Alfi harus ingat. Aku dan ibuku adalah keluarga mas Alfi. Jadi, jangan anggap mas Alfi hanya sendirian di dunia ini", ucap Elviana, agar Alfi tidak berkecil hati menghadapi apapun ujian selama hidup.
"Begitu pun dengan kalian. Bibi dan kamu juga punya hak atas rumah warisan kakek. Karena itu lah salah satu alasan aku tak ingin ikut ke luar negeri bersamamu", terang Alfi.
"Sepertinya itu sudah pernah ibu bahas bersamaku. Beliau memberikan rumah dan tanah kakek kepada mas Alfi yang telah lama mengurusnya tanpa meminta sepeser pun dana dari kami", ujar Elviana.
"Apa pun itu, kalian selalu diterima saat pulang atau berkunjung ke Indonesia", sahut Alfi.
"Apa sih yang mas Alfi cari dari calon pasangan hidup?", Elviana tiba-tiba berbicara serius. Alfi sontak menatap wajah Elviana, diam beberapa saat.
"Seseorang yang mampu memahami dirinya sendiri, sehingga dia siap membina rumah tangga tanpa banyak drama. Tapi, bagaimanapun Tuhan lah yang menentukan garis takdir. Aku akan menerima dengan lapang dada", terang Alfi. Elviana mengangguk paham. Ia menebak bahwa Alfi tengah memikirkan asistennya itu karena tidak berani bercerita kepadanya hingga nampak tak bersemangat. Tapi, jawaban Alfi terkait calon istri, membuat dirinya masih percaya diri untuk terus mendekati.
Di kontrakan, Aghnia tengah merebahkan tubuhnya setelah meminum obat pereda nyeri.
"Kamu jangan banyak pikiran dulu Nia", tutur Risti.
"Iya Nia, cerita lah kepada kami. Sejak pulang kampung, kamu nggak pernah lagi bercerita kepada kami", sahut Monica yang duduk di samping kiri Aghnia.
"Iya iya, berisik deh. Terimakasih atas perhatian kalian. Aku sudah mendingan sekarang. Bisa tinggalkan aku sendiri?", pinta Aghnia.
"Hufh, baik lah. Ayo kita keluar Monica. Tapi, segera panggil kami jika kamu butuh bantuan, jangan sok kuat", tutur Risti.
"Iya, bawel", sahut Aghnia.
Setelah kedua temannya itu keluar, Aghnia kembali menilik hatinya sendiri.
"Sebenarnya siapa perempuan itu? Lalu kenapa kamu seperhatian itu kepadaku?", batin Aghnia, memikirkan sikap Alfi kepadanya.
"Apa aku benar-benar telah jatuh hati kepadamu?", gumam Aghnia, merasakan cemburu, namun takut menambatkan hatinya kepada Alfi, si killer tampan yang disukai banyak wanita, termasuk saingan berat yang begitu menarik dan begitu akrab dengan Alfi.
Saat sedang galau, ponsel Aghnia menunjukkan notifikasi dari Alfi. Aghnia tanpa sadar begitu saja membuka pesan Alfi.
"Bagaimana kondisimu", tulis Alfi.
Seketika detak jantung Aghnia menderu, membuat nafasnya semakin cepat.
"Sial! Kenapa aku harus jatuh hati padamu sih?", rutuk Aghnia pada dirinya sendiri. Baru saja menenangkan diri, kini nafasnya kembali sedikit tersengal karena pesan Alfi yang menunjukkan perhatian.