Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 22
Reina berubah, tidak seperti biasanya. Cuek, jarang mengunjungi dapur, wajahnya selalu datar. Sepertinya, ia sudah menikmati posisi sebagai atasan sehingga tidak perlu lagi banyak bergaul dengan bawahan apa lagi bagian dapur dan juga waiters.
"Rei," Trio meng-asmakan namanya, tidak bisa dipungkiri, Trio rindu masa-masa bersama dengan Raina. Kenapa secepat itu keadaan merubah Raina? Ia ingin bertanya kenapa Raina semakin tidak asik, apakah dirinya salah berkata sesuatu. Jika iya, Trio ingin sekali meminta maaf agar hubungannya kembali membaik. Raina hanya berbalik tanpa menyahuti panggilan Trio. Laki-laki berjambang tersebut tidak patah arang, ia mengikuti sampai ke dapan pintu ruangan, sambil mengetuk-ngetuk. "Rei, buka Rei. Ada apa?" sambung Trio lagi. Raina menarik napas panjang, ia sesungguhnya tidak boleh se-egois ini, Trio pantas menyimpan perasaan cintanya untuk siapa pun, bukan kah Trio dan Raina hanya teman biasa, tapi kenapa, kecemburuan Raina membuat hubungan keduanya merenggang, ada apa? Apakah Trio harus membayar sesuatu yang bukan dari kesalahannya sendiri. Ia bahkan tidak mengetahui kesalalahan fatal seperti apa yang membuai Raina berbalik seperti sangat membenci keberadaanya.
Raina sadar dan mengalihkan tubuhnya dari kursi, ia berusaha membukakan pintu untuk bicara dari hati ke hati. Barangkali dengan kejujurannya nanti membuat Trio luluh dan memahami apa yang dimaksud Raina selama ini. Bahwa ia punya perasaan yang semestinya dihargai. Keberadaan Raina semestinya dianggap oleh Trio, bukan hanya dianggap sebagai tameng ketika dirinya rindu pada kehadiran orang lain.
Ceklekk.
Raina memutar gagang pintu. Trio masih setia berdiri tanpa mau memperdulikan resiko, jika tetap diam di tempat di jam kerja itu apa? Skors atau bahkan pemecatan sepihak tanpa peringatan. Baginya kali ini hanya, bagaimana cara mendapat penjelasan serta maaf dari sosok yang pernah menjadi teman dekatnya itu. Trio yakin Raina berubah bukan karena jabatannya. Jika pun iya, kenapa baru sekarang?
"Apa Yo'?" nada lesu terdengar dari wanita tinggi tegap berkulit sawo matang namun manis dipandang.
"Kamu kenapa, kenapa berubah?" Trio tidak basa-basi. Ia sudah tidak tahan lagi ingin tahu alasan terbesar Raina.
"Kita bicara nanti ya. Di belakang, jam istirahat pertama. Kamu oper istirahat sama Joe, sekarang udah jam kerja soalnya, tuh udah banyak pelanggan." Raina menunjuk pada bangku pengunjung. Trio hanya mengangguk patuh. Ia kemudian berbalik meninggalkan Raina dengan perasaan bercampur aduk antara kecewa tidak dapat jawaban, juga harapan baru karena sudah diberi janji pertemuan oleh Raina nanti.
Angin sepoi-sepoi membuat rambut teman se-pekerjaan Trio bergelombang terbawa udara menyejukkan. Trio menatap sayu dengan sebatang rokok di jari jemari tangan kanan. Mereka belum makan siang, emosinya pasti tidak stabil.
"Jawab Rei, aku salah apa?" Reina menolah pelan, ia tidak tahu akan dimulai dari mana obrolan itu, Reina memang harus jujur dengan perasaannya pada Trio agar tidak ada lagi kesalahan pahaman seperti sekarang.
"Maaf ya, kemarin aku hanya sedikit kesal." Trio semakin bingung, ia mengernyitkan dahi dan kembali menghisap asap dari lintingan bakaunya. Raina menyiapkan diri, menelan ludah getir lalu menarik napas panjang. seperti ada sesak yang tiba-tiba merajam dada begitu dalam hingga ia tidak nyaman.
"Maksudnya gimana?" Trio memberi penekanan, ia tidak suka dengan permainan kata yang dilontarkan Raina. Terkesan berbelit-belit.
"Yo' apa kamu tidak tau, merasakan sesuatu atau apa gitu." Raina masih berharap ke-peka-an laki-laki yang berada di hadapannya itu.
"Apa, ngomong jangan muter-muter." Raina blibet, ia malu bercampur takut, khawatir nanti saat diungkapkan, Trio malah ilfeel. Ia tidak mau kehilangan sosok Trio meski hanya sebagai teman biasa.
"Aku naksir kamu. Aku cemburu denger kamu cinta sama orang lain." Reina akhirnya menuturkan unek-uneknya selama ini.
"Ya Tuhan, hanya itu? Aku pikir jabatan yang membuatmu berubah." Trio menepuk dahi yang tidak terdapat nyamuk di sana.
"Loh, ini serius Yo'." Reina merasa tersinggung. Wajah ayu khas Jawa itu memang mampu menaklukan lawan jenis siapa pun itu. Alisnya tebal runcing, hidung mancung namun minimalis, bola mata pekat dan belo, bentuk bibir seksi. Kulit eksotis namun terlihat berkilau. Ia sepeti perempuan Jawa blasteran Australia, meski sebetulnya Raina asli keturunan Jawa tanpa campuran.
"Iya maaf. Hemh ..." Trio menarik napas dan memperbaiki posisi duduknya, di bangku panjang bercat putih lusuh, belakang pintu dapur dan tidak jauh dari kotak khusus pembuangan sampah. Mereka akhirnya saling tatap dan memahami satu sama lain.
"Katakan kalau itu penting." ujar Raina penuh penekanan.
"Ceritanya panjang. Tapi aku mungkin akan bicara pada inti saja. Tapi aku harap, kisah hidupku ini, tidak membuatmu menjauh."
"Aku janji,"
"Aku sudah jahat pada salah satu gadis kecil yang masih belia, dia saat itu baru berusia 17 tahun. Karena kejahatanku, aku di tahan di penjara beberapa bulan. Dengan pengaduan dan dukungan dari keluarganya. Dia bukan gadai biasa, terlahir dari orang kaya membuatku minder."
"Lantas?"
"Biar begitu, dia tetap baik karena mau mengunjungi dan meminta maaf. Dia juga yang menyadarkanku agar berhenti menjalani profesi jahat hanya demi sesuatu yang disebut rezeki. Dia pernah menitipkan pesan. Bahwa jika aku baik, akan baik juga kelak pasanganku, setara."
"Terus?" Reina semakin penasaran.
"Aku justru jatuh cinta setelah mendengar penuturannya, dia ternyata cukup dewasa untuk ukuran seorang gadis 17 tahun."
"Itu sebabnya kamu bekerja keras, demi dia?"
"Tidak, aku tahu memimpikan dia itu hanyalah sebuah hayalan semata, tidak akan nyata. Kelas kami.berbeda, dia jauh di atasku, orang tuanya juga tidak akan mungkin menerima."
"Bagus kalau kamu sadar."
"Iya, aku hanya jatuh cinta pada kematangannya, aku akan buktikan bahwa aku juga bisa jadi orang baik dan benar, aku bisa bekerja dan menabung dan kelak akan membuka usaha. Aku lantas akan menemukan yang setara nilai dirinya dengan perjuanganku. Iya, kan?" Reina mengangguk. "Untuk saat ini, aku tidak mau menjalin hubungan serius dengan siapa pun dulu. Akan kutahan jika aku menyukai seseorang, aku ingin fokus pada perjalanan masa depanku." tambah Trio mantap. Reina semakin kagum pada bawahannya, kali ini ia paham bahwa tidak sepantasnya memaksakan kehendak untuk disukai oleh orang lain. Karena mereka juga punya pilihan dan tujuan hidup yang mungkin lebih baik yang tidak kita tahu.
"Maaf ya," Reina menutup pembicaraan. Ia berdiri lalu melangkah meninggalkan Trio. Laki-laki itu menghisap puntung rokok terakhirnya, kemudian mengekori Reina dan mengambil nasi lauk yang disiapkan cafe untuk karyawan. Trio harus mengisi energi sebelum kembali tempur.