Bagaimana perasaanmu jika teman kecilmu yang dahulunya cupu, kini menjadi pria tampan, terlebih lagi ia adalah seorang CEO di tempatmu bekerja?
Zanya andrea adalah seorang karyawan kontrak, ia terpilih menjadi asisten Marlon, sang CEO, yang belum pernah ia lihat wajahnya.
Betapa terkejutnya Zanya, karena ternyata Marlon adalah Hendika, teman kecilnya semasa SMP. Kenyataan bahwa Marlon tidak mengingatnya, membuat Zanya bertanya-tanya, apa yang terjadi sehingga Hendika berganti nama, dan kehilangan kenangannya semasa SMP.
Bekerja dengan Marlon membuat Zanya bertemu ayah yang telah meninggalkan dirinya sejak kecil.
Di perusahaan itu Zanya juga bertemu dengan Razka, mantan kekasihnya yang ternyata juga bekerja di sana dan merupakan karyawan favorit Marlon.
Pertemuannya dengan Marlon yang cukup intens, membuat benih-benih rasa suka mulai bertebaran dan perlahan berubah jadi cinta.
Mampukah Zanya mengendalikan perasaannya?
Yuk, ikuti kisah selengkapnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velvet Alyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Antara Takut dan Penasaran
"Selamat atas batalnya pertunangan kamu." Gustia mengangkat gelas anggurnya, mengajak Marlon bersulang, Marlon mengangkat gelas air putihnya sambil tersenyum miring.
"Langkah kamu cepat juga rupanya, aku ketinggalan." Gustia menyipitkan matanya.
"Berapa persen saham yang kamu beli?" tanyanya kemudian.
"Hanya 32 persen, Bu, masih lebih besar saham milik Anda." Marlon tersenyum simpul.
"Hei! Sahamku cuma 40 persen di sana! hanya beda 8 persen." Gustia tersenyum hambar.
"Kalau Anda mau membelinya dari saya, boleh saja." Kelakar Marlon.
"Berapa kamu mau menjualnya? Ah, sudahlah. Lupakan! Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan perusahaan itu. Aku mau mengakuisisinya hanya karena ingin Gilang tahu diri, dia terlalu sombong." Ujar Gustia.
"Apakah tidak apa-apa jika saya membeli sebagian saham itu?" Tanya Marlon.
"Tentu saja. Aku suka dengan pengusaha seperti kamu, kamu itu mirip aku, Marlon. Itu lah sebabnya sejak awal aku selalu dukung perusahaan kamu." Jawab Gustia.
"Oh iya, ngomong-ngomong lukisan yang belum di buka itu apakah tentang kekerasan juga?" Tanya Marlon.
Gustia diam sejenak, terlihat bimbang, kemudian ia tersenyum dan menatap Marlon. "Lukisan itu istimewa, karena atas permintaanku sendiri. Lukisan itu adalah gambaran lukaku." Jawabnya dengan senyum simpul.
Marlon terdiam karena keterusterangan Gustia. Ia menatap wanita itu dengan intens. "Apakah Anda masih menyimpan luka itu?" Tanya Marlon pelan.
Gustia mengangguk. "Masih. Tapi, aku sudah berdamai dengan lukaku." Jawabnya sambil tersenyum.
"Dengar, Marlon. Semua orang memiliki lukanya sendiri, mungkin kamu juga. Menyimpan luka itu tidak apa-apa, tapi berdamailah dengannya, terimalah luka itu sebagai bagian dari dirimu. Karena dengan luka itu kamu bisa menjadi seperti saat ini." Lanjutnya.
Marlon terdiam, ia berpikir sejenak.
"Saya bahkan tidak tahu seperti apa luka saya, Bu." Ujarnya pelan.
Gustia memiringkan kepalanya sambil mengernyitkan dahi. "Maksudnya?" tanyanya heran.
"Saya lupa masa kecil saya. Ingatan saya hilang saat SMP. Tapi sejak saat itu saya juga tidak bisa hidup tenang." Jawab Marlon jujur.
Gustia berpikir sejenak, kemudian ia menatap Marlon serius. "Kamu mau hipnoterapi? Aku bisa rekomedasikan orang yang tepat untuk hipnoterapi, siapa tahu kamu nanti bisa menggali ingatan kamu yang hilang itu. Aku punya teman di Belgia, dia sangat kompeten di bidang itu. Kamu bisa kesana kapan pun kamu mau. Aku akan bilang padanya." Ujar Gustia.
Marlon berpikir keras, ia ingin mencoba namun ia juga belum siap. "Saya akan pertimbangakan, nanti saya kabari jika saya sudah siap." Ujarnya kemudian.
Gustia mengangguk, lalu menyesap anggurnya
***
"Jadi, si Ayra itu nangis-nangis sampai kayak kerasukan gitu?" Tanya Khaifa.
"Kasian juga, ya..." Ujarnya kemudian.
"Tapi gue puas liatnya, Fa." Ujar Zanya.
Khaifa menepuk bahu Zanya. "Tetap jadi manusia yang baik, Za, jangan nyimpan dendam, gak baik..." Ujarnya menasehati sahabatnya.
"Jadi, si CEO itu sekarang mau ngambil alih perusahaan ayah elu?" tanyanya kemudian.
Zanya mengangguk. "ih udah ah, jangan bahas itu lagi, ini kan hari libur gue, masa bahas urusan yang bikin mood jelek." Gerutunya.
"Oh, iya. Maaf, maaf...! Hehehe..." Khaifa cengar cengir.
"Ayo balik lagi dagingnya, nanti gosong!" Protes Kania, kakak Khaifa.
"Siap, Boss!" jawab Khaifa.
"Ceceeee....! Udah ada yang mateng belum? Laper nih..." Yoza muncul dari dalam rumah.
"Yoza, lu tata tuh piring di meja!" perintah Kania sambil menunjuk piring yang menumpuk di atas meja di teras belakang. Yoza pun melakukan perintah kakak pertamanya itu.
"Yoza, Yoza! Ini, lu bawa ke meja!" Titah Khaifa.
"Ah, semuanya nyuruh-nyuruh, belum juga selesai nih satu kerjaan, udah disuruh yang lain lagi." Keluh Yoza.
Zanya tertawa melihat remaja itu, lalu membawakan daging ke meja. "Udah, kamu panggil aja mama sama papa, biar kita makan bareng, ini biar kakak yang lanjutin" Ujarnya.
"Zanya, biarin dia kerjain sampai selesai, supaya dia gak jadi lelaki patriarki!" protes Kania.
"Kak Zanya beruntung gak punya kakak. Gak ada yang merintah-merintah kayak dua manusia itu." Tunjuk Yoza ke arah Khaifa dan Kania yang sedang memanggang daging. Zanya hanya tertawa mendengarnya, Yoza tidak tahu betapa ia iri kepadanya yang memiliki dua kakak yang sangat sayang padanya. Zanya tahu ia pun memiliki saudara perempuan dari ayahnya, tapi rasanya ia tidak ingin mengakui Ayra sebagai adiknya.
***
Marlon memasuki lobi kantor, diikuti oleh Radit di belakangnya. Saat keluar dari rumah Gustia tadi, ia mendapat telepon dari Gilang yang ingin bicara tatap mata dengannya, marlon meminta Gilang datang ke lobi kantornya.
"Maaf, membuat Bapak menunggu, saya sedang ada urusan di luar tadi." Ujar Marlon.
"Iya, tidak apa-apa." Jawab Gilang.
"Ada apa, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" tanya Marlon.
"Gak perlu basa basi, Marlon. Aku udah tau sepak terjangmu di bekangangku. Kamu sengaja beli saham-saham itu, kan?" todong Gilang.
"Saya hanya mengurangi beban mereka, yang sebenarnya beban Pak Gilang juga, beban mental jika perusahaan bapak benar-benar bangkrut." Jawab Marlon santai.
Gilang menatapnya dengan geram. "Apakah itu kamu, yang mengekspos kerugian perusahaanku?" tanyanya.
"Terlepas dari siapa yang mengeskposnya, bapak sudah membohongi saya dan keluarga saya. Seharusnya saat ini saya yang marah pada Bapak, seharusnya saya yang menatap Bapak dengan tajam. Atau lebih buruknya, saya gak mau menemui Bapak. Untuk apa saya menemui orang yang berniat menipu saya?" ujar Marlon dengan ekspresi datar.
"Saya masih mau menemui bapak malam ini karena saya masih ingin berhubungan baik dengan Bapak. Dan menurut saya, ini kesempatan bagus untuk Bapak, dengan saham Bapak yang 28 persen itu, bapak tetap bisa meneruskan perusahaan. Saya dan Bu Gustia akan membantu menutupi kerugian. Kalau orang lain yang menjadi pemegang saham di perusahaan Bapak, apakah mereka akan melakukan itu? Justru mereka akan marah terhadap Bapak." Tambahnya.
Ekspresi Gilang pun melembut. "Maafkan saya, dan terimakasih..." Ucapnya lirih.
Marlon mengangguk, lalu bangkit. "Kalau begitu silahkan anda pulang, selamat beristirahat, Pak Gilang. Saya permisi." Pamitnya, lalu pergi menuju lift ekslusif.
***
Marlon menatap lukisan-lukisan yang ada di galeri pribadinya di lantai 19. Perasaannya sangat gundah, ia teringat kata-kata Gustia tentang lukisan yang ada di rumah wanita itu. Ia hanya melihat cuplikan-cuplikan gambar itu dalam mimpinya, dan semuanya samar-samar. Apakah dulunya ia adalah seorang korban kekerasan? atau justru ia adalah pelakunya?
Menerka-nerka masalalu membuat Marlon semakin frustasi. Ia penasaran namun tidak ada petunjuk sama sekali, dan kata-kata Gustia justru membuat ia semakin penasaran. Apalagi saran Gustia tentang hipnoterapi, membuat Marlon ingin mencobanya, namun ia seperti takut pada kenyataan yang harus ia terima nantinya.
Terdengar suara pemindai di pintu sedang di akses orang lain dari luar, tak lama pintu terbuka, muncul seseorang bertubuh tinggi memakai pakaian serba hitam dan memakai topi.
"Kenapa agak lama?" Tanya Marlon.