Lilyana Belvania, gadis kecil berusia 7 tahun, memiliki persahabatan erat dengan Melisa, tetangganya. Sering bermain bersama di rumah Melisa, Lily diam-diam kagum pada Ezra, kakak Melisa yang lebih tua. Ketika keluarga Melisa pindah ke luar pulau, Lily sedih kehilangan sahabat dan Ezra. Bertahun-tahun kemudian, saat Lily pindah ke Jakarta untuk kuliah, ia bertemu kembali dengan Melisa di tempat yang tak terduga. Pertemuan ini membangkitkan kenangan lama apakah Lily juga akan dipertemukan kembali dengan Ezra?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Red Flag
Hubungan Lily dan Radit mulai membaik setelah malam mereka keluar bersama. Radit kembali bersikap lebih perhatian, mencoba mengembalikan suasana hangat yang dulu pernah ada di antara mereka. Lily merasa sedikit lega, berpikir mungkin mereka bisa memperbaiki segalanya. Namun, seiring berjalannya waktu, Lily menyadari ada sesuatu yang tidak benar. Meskipun hubungan mereka terlihat membaik, Radit mulai menunjukkan sifat aslinya memanfaatkan Lily.
***
Suatu hari di kampus, setelah perkuliahan selesai, Radit menghampiri Lily dengan sebuah senyuman yang terlihat canggung. Mereka duduk di bangku taman kampus, sementara para mahasiswa lain berlalu-lalang di sekitar mereka.
"Lil, aku ada sesuatu yang mau aku minta tolong," kata Radit sambil mengeluarkan tumpukan kertas dari tasnya.
Lily mengerutkan kening, melihat tumpukan kertas yang tampak seperti... skripsi. "Apa ini, Dit?" tanyanya dengan nada bingung.
Radit tersenyum sedikit malu. "Ini skripsi aku, Lil. Aku udah mulai ngerjain, tapi kayaknya aku kesulitan. Aku tahu kamu pinter dan lebih bisa handle tugas-tugas kayak gini. Kamu bisa bantuin aku, kan?"
Lily terdiam sejenak. Hatinya bergejolak antara perasaan ingin membantu pacarnya dan perasaan ragu karena ini adalah skripsi Radit, tanggung jawab yang seharusnya dia kerjakan sendiri. Namun, karena cintanya yang masih membutakan pandangan, Lily hanya mengangguk pelan.
“Baiklah, aku bantu,” jawab Lily akhirnya, meskipun hatinya sedikit berat. Radit terlihat senang dan langsung menyerahkan semua kertas skripsinya kepada Lily.
Malam itu, Lily tenggelam dalam tugas-tugas Radit, menulis dan mengoreksi skripsinya tanpa sempat memikirkan tugasnya sendiri. Meski ia mulai merasa lelah, Lily tetap melanjutkan pekerjaannya, merasa itu adalah caranya untuk tetap mendukung Radit. Namun, di sisi lain, ia juga mulai merasakan ketidaknyamanan dalam hatinya.
***
Beberapa hari kemudian, Melisa mulai merasa kesal dengan situasi yang terjadi. Sebagai sahabat dekat, ia selalu memperhatikan Lily dan bagaimana Radit memperlakukan sahabatnya itu. Melisa tahu betul bahwa Radit telah memanfaatkan Lily berkali-kali, dan kali ini Melisa merasa sudah cukup.
Suatu sore, ketika Lily sedang di kamarnya, tenggelam dalam pengerjaan skripsi Radit, Melisa datang menghampiri. Ia melihat kertas-kertas yang berserakan di meja dan wajah sahabatnya yang tampak lelah.
"Lil, kamu ngapain sih?" tanya Melisa langsung, suaranya terdengar kesal.
Lily menoleh, terkejut melihat Melisa yang berdiri dengan tangan terlipat di ambang pintu. "Aku lagi bantuin Radit ngerjain skripsinya," jawab Lily dengan nada tenang, meskipun dalam hatinya ia tahu Melisa tidak akan suka mendengar jawabannya.
Melisa mendekat dan melihat tumpukan kertas di meja. “Lil, ini udah keterlaluan. Kamu ngerjain skripsi dia? Ini bukan tugas kuliah biasa, ini skripsi! Radit itu nggak seharusnya ngandelin kamu buat ngerjain tanggung jawab dia sendiri.”
Lily mencoba membela diri. "Aku cuma bantuin dia, Mel. Dia lagi kesulitan, dan aku pikir nggak ada salahnya kalau aku bantu sedikit."
Melisa menatap Lily dengan tatapan tegas. “Ini bukan masalah bantu atau nggak bantu, Lil. Masalahnya, kamu yang terus-terusan dimanfaatin sama Radit. Dari awal aku udah lihat kalau dia nggak benar-benar perhatian sama kamu. Dan sekarang? Dia nyuruh kamu ngerjain skripsi dia! Kamu nggak lihat ini salah?”
Lily terdiam. Kata-kata Melisa terasa seperti tamparan keras, meskipun di dalam hati Lily tahu bahwa sahabatnya itu benar. Sejak awal, Radit memang sering meminta bantuan, dan Lily selalu mengiyakan. Namun, kali ini, bebannya terasa lebih besar. Bukan hanya tugas kuliah biasa—ini adalah skripsi yang menentukan kelulusan Radit.
Melisa menghela napas panjang, mencoba menahan emosinya. “Lil, aku cuma nggak mau kamu terus disakiti kayak gini. Aku udah nggak tahan lihat kamu dimanfaatkan sama dia, sementara dia nggak ngelakuin apa-apa buat kamu.”
Lily merasa dadanya sesak. Kata-kata Melisa mengoyak perasaannya, membuatnya sadar bahwa selama ini ia hanya membohongi dirinya sendiri. Radit tidak pernah benar-benar peduli. Dia hanya datang ketika butuh bantuan.
"Aku tahu, Mel," ujar Lily pelan, suaranya bergetar. "Tapi... aku nggak tahu harus gimana. Aku sayang sama Radit."
Melisa menghela napas frustrasi. “Lil, sayang itu bukan berarti kamu harus ngerelain dirimu dimanfaatin kayak gini. Ini bukan cinta, ini manipulasi. Radit tahu kamu nggak bisa nolak, makanya dia terus-terusan minta tolong. Kamu pikir, kalau dia bener-bener sayang sama kamu, dia akan ngasih kamu beban sebesar ini?”
Lily terdiam. Kata-kata Melisa menyentuh sesuatu yang selama ini ia coba hindari. Ia tahu dalam hatinya bahwa Melisa benar. Radit memang memanfaatkannya, dan ia terlalu lemah untuk menolak.
“Aku ngerti kamu mau bantu dia, Lil, tapi kamu juga harus inget—kamu punya hidup sendiri, tanggung jawab sendiri. Kamu kuliah di sini buat belajar, bukan buat ngerjain skripsi orang lain,” lanjut Melisa, suaranya mulai melembut, meski tetap tegas. “Aku sahabat kamu, dan aku nggak bisa diam aja lihat kamu terus disakitin kayak gini.”
Lily merasa matanya mulai berkaca-kaca. Ia tahu Melisa benar, tetapi rasa takut kehilangan Radit membuatnya bingung. “Aku nggak mau dia ninggalin aku, Mel.”
Melisa menghela napas lagi, kali ini lebih lembut. Ia meraih tangan Lily dan menatapnya penuh kasih sayang. “Kalau Radit bener-bener sayang sama kamu, dia nggak akan pernah ninggalin kamu hanya karena kamu nggak mau bantuin ngerjain skripsinya. Cinta itu bukan berarti harus ngelakuin semua yang dia minta, Lil. Kamu juga harus jaga diri kamu.”
Lily terisak pelan, merasa berat di dalam hatinya. Ia tahu Melisa benar. Hubungan yang sehat tidak seharusnya membuatnya merasa terpaksa dan terbebani seperti ini. Tetapi setiap kali ia mencoba menjauh, Radit selalu tahu cara untuk membuatnya tetap tinggal.
“Lil, aku cuma pengen kamu bahagia. Kalau terus-terusan kayak gini, aku takut kamu bakalan sakit hati lagi. Kamu udah ngelewatin banyak hal, dan kamu pantas dapet seseorang yang bener-bener menghargai kamu, bukan yang cuma manfaatin kamu.”
Lily tidak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis di depan Melisa, merasa hancur antara cinta yang ia rasakan dan rasa sadar bahwa Melisa benar.
Melisa memeluknya erat, berusaha memberikan dukungan pada sahabatnya. “Kamu kuat, Lil. Aku tahu kamu bisa ngelewatin ini.”
Lily menangis dalam pelukan Melisa, dan di tengah isak tangisnya, ia mulai menyadari bahwa ia harus mulai memikirkan ulang hubungannya dengan Radit. Mungkin, sudah waktunya untuk berhenti menyerah pada cinta yang tidak sehat ini.
Hari-hari berlalu, dan Lily mulai berusaha menjauh dari Radit, meski perlahan. Namun, setiap kali Radit muncul dengan senyum dan kata-kata manisnya, Lily kembali merasa bimbang. Hubungan ini telah membelitnya begitu erat, dan meski ia tahu ada sesuatu yang salah, ia masih belum menemukan keberanian untuk sepenuhnya melepaskan diri.
Lily cpt move on syg, jgn brlarut larut dlm kesdihan bgkitlh fokus dgn kuliamu. aku do'akn smoga secepatnya tuhan mngirim laki" yg mncintai kmu dgn tulus. up lgi thor byk" 😍💪