Mira adalah seorang IRT kere, memiliki suami yang tidak bisa diandalkan, ditambah keluarganya yang hanya jadi beban. Suatu hari, ia terbangun dan mendapati dirinya berada di tubuh wanita lain.
Dalam sekejap saja, hidup Mira berubah seratus delapan puluh derajat.
Mira seorang IRT kere berubah menjadi nyonya sosialita. Tiba-tiba, ia memiliki suami tampan dan kaya raya, lengkap dengan mertua serta ipar yang perhatian.
Hidup yang selama ini ia impikan menjadi nyata. Ia tidak ingin kembali menjadi Mira yang dulu. Tapi...
Sepertinya hidup di keluarga ini tak seindah yang Mira kira, atau bahkan lebih buruk.
Ada seseorang yang sangat menginginkan kematiannya.
Siapakah dia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rina Kartomisastro, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29
Mata Mira melotot. Napasnya tertahan.
Sekonyong-konyong, Mira ingin menarik tubuhnya menjauh. Wanita itu tak sudi lagi bersentuhan dengan Ben. Namun di sisi lain, Mira tak berdaya.
Apa kata para wartawan jika melihat seorang wanita menolak dicium suami sahnya secara terang-terangan? Bisa-bisa, mereka mempercayai gosip yang beredar itu.
Mau tak mau, Mira pasrah saja.
Ben akhirnya melepaskan pagutannya. Namun sebelum itu, ia sempat berbisik pada Mira.
"Tunjukkan ekspresi paling bahagia."
Mira menggigit bibir. Telapak tangannya menggenggam kuat-kuat.
Ben lantas tersenyum ke arah kerumunan wartawan. "Kalian sudah lihat? Hubungan kami masih semesra ini. Jadi saya harap kalian menulis artikel dengan baik."
"Soal foto check in di hotel berdua itu, bagaimana?"
"Foto bisa saja direkayasa. Tidak ada check in berdua. Saat itu saya juga ada di lokasi. Betul kan, Sayang?"
"I-iya," sahut Mira ragu.
Kumpulan wartawan itu tampak mengangguk-angguk, namun seperti masih enggan beranjak.
Sebelum ada yang berinisiatif meminta bukti konkrit atas pernyataan Ben, pria itu cepat menimpali. "Oh ya, sebelum kalian kembali, kami mengundang kalian semua makan malam bersama di resto AYCE rekanan kami di dekat sini. Kalian ikuti saja pengawal kami ya?"
Suara gemuruh riuh segera memenuhi telinga Mira. Para pekerja media itu tampak sumringah ditraktir Ben, jika tidak boleh disebut 'dibungkam'.
Kali ini Mira menarik napas dalam-dalam.
Uang benar-benar bisa mengendalikan semuanya dengan mudah, batinnya.
***
Akhirnya Ben dan Mira masuk ke kediaman mereka. Namun belum lama merasa lega, kini mereka harus menghadapi ibu kandung sekaligus ibu mertua.
Melinda dan Emma tengah duduk di sofa ruang tamu yang super besar dan empuk itu.
"Kalian berdua duduk. Kami ingin bicara," Melinda menghentikan langkah Ben dan Mira.
Meski tampak lelah, keduanya tetap mengikuti permintaan Melinda. Lantas mengambil sofa di seberangnya.
Mira melirik ke arah Emma yang langsung memberi tatapan menghakimi. Ia lantas segera berpaling. Ini kali kedua mereka bertemu sejak di rumah sakit waktu itu. Untung saja Mira masih mengingatnya.
"Aku sudah mengingatkanmu untuk menjaga jarak dengan anak itu," ucap Melinda sambil melipat kaki kanan ke atas kaki kirinya.
"Kami memang tidak ada hubungan seperti itu, Bu Direktur," sergah Mira.
"Orang-orang akan berpikiran lain."
"Kalau itu tidak benar, kenapa aku harus-"
Ben sudah akan menyela perkataan Mira. Tetapi Emma mendahuluinya.
"Mira! Sejak kapan kamu jadi suka membantah ucapan orang tua? Aku tidak pernah mengajarimu begitu sejak dulu!"
Ingin sekali Mira menjawab bahwa ia bukanlah Mira putrinya. Tapi tidak mungkin.
"Masalah ini sudah kuselesaikan, Mom. Aku ijin pamit ke kamar dulu," ucap Ben sambil berdiri dari sofa.
"Mana bisa masalah seperti ini selesai begitu mudah? Mungkin itu hanya bersifat sementara, Ben."
Ben urung pergi. Pria itu duduk kembali.
"Apa yang kamu ingin kami lakukan, Mom?"
"Aku sudah siapkan bulan madu untuk kalian berdua minggu ini. Pak Ruki bilang, bulan ini masih bagus untuk kalian bisa memiliki keturunan. Kalau Mira hamil, gosip itu akan hilang seketika."
Astaganaga. Kenapa si Nenek Lampir ini terobsesi banget Mira hamil cucunya? Padahal anaknya saja gak pernah mencintai Mira.
"Aku setuju! Kalian harus segera punya anak."
Mira menggeleng tak percaya. Ibu kandung Mira tampaknya juga tak tahu jika anaknya dinikahi untuk dimanfaatkan saja.
***
Mira masuk ke kamar tidurnya. Siapa sangka, Emma mengekor dari bawah tadi.
Wanita berusia kepala enam itu buru-buru menutup pintu rapat-rapat dan memastikannya terkunci.
"Bisa-bisanya kamu pergi berdua dengan anak itu!" kata Emma sambil tergopoh menghampiri Mira yang duduk di tepian ranjang.
"Namanya Theo, bukan 'anak itu'", ralat Mira.
"Dari dulu aku gak pernah suka kamu terlalu dekat dengan dia."
Mira menatap Emma lurus-lurus.
Wanita tua itu lantas menangkup kedua pipi Mira sambil memasang ekspresi cemas. "Ingat, suamimu adalah CEO Bratadikara Grup. Sementara anak itu siapa? Dia hanyalah cucu yang dibuang. Meski aku tahu kalian punya kedekatan emosional sejak dulu, kamu harus realistis. Dia gak akan berguna buatmu sekarang ataupun nanti. Dia hanya menambah masalah baru."
"Lantas aku gak boleh berteman dengan seseorang hanya karena aku suka?"
"Kamu adalah menantu kesayangan Bratadikara Grup. Berteman lah dengan orang-orang yang bisa membantu mempertahankan posisimu. Jangan sampai orang lain merebutnya. Susah payah kamu bisa ada di sini, Mira."
"Kamu sedang mengkhawatirkan aku atau posisiku?" kata Mira lirih namun pasti.
Emma gelagapan. "Apa maksudmu? Tentu saja aku mencemaskanmu!" pekiknya.
Mira menggeleng lemah, "Kasihan sekali jadi Mira, bahkan ibu kandungnya aja gak peduli padanya."
"Bicara apa kamu, Mira?"
"Pergi!"
"M-mira..."
"Aku bilang pergi dari sini sekarang!"
Mira berteriak dengan air mata yang menggenang.
"Kita akan bicara lagi nanti."
"Pergi sekarang!"
Emma mengambil tas kecilnya, lantas buru-buru keluar dari kamar Mira.
Begitu Emma tak terlihat lagi, Mira tak kuasa menahan air mata. Wanita itu terisak untuk pertama kalinya di tubuh Mira Mahalia.
Hati kecilnya begitu mengasihani Mira, Si Nyonya Sosialita. Ia pikir, hidup tanpa ibu sejak kecil adalah hal yang sangat menyedihkan. Nyatanya, memiliki ibu seperti Emma, jauh lebih menyakitkan.
Punya ibu, tapi tidak dengan perannya. Emma bahkan tidak menanyakan keadaannya sepulang dari rumah sakit.
Emma hanya memikirkan posisi Mira sebagai menantu Bratadikara Grup. Itulah kenapa Emma tak akan pernah menyadari jiwa anaknya ini bukanlah anak yang sebenarnya.
Mira terus saja menangis, hingga gawainya berbunyi. Awalnya wanita itu tak berniat mengindahkan suara itu. Namun deringnya berbunyi terus-menerus.
Diusapnya air mata, lantas Mira meraih gawai yang diletakkan di atas meja nakas.
Nama cecunguk terpampang di layar yang berarti Theo.
Dengan malas, Mira menjawab telepon itu.
"Ada apa, Theo? Katanya untuk sementara kita gak akan ketemu."
"Kita gak ketemu, aku hanya menelpon."
"Oh iya," Mira menyadari kebodohannya. "Kamu gak menginap di rumah ini lagi?"
"Untuk sementara, aku akan tinggal di villa ayahku."
"Meski gak begitu berguna, kenyataannya kamu tetap anak orang kaya," racau Mira.
"Oya Tante, aku sudah mencari tahu pelaku yang menyebarkan foto itu."
Air muka Mira sontak berubah. "Siapa?"
"Coba tebak."
"Virgo atau Mona?"
"Bukan."
"Jangan bilang Ibu Direktur?"
"Tentu bukan. Pelakunya adalah..."
***