~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sepenggal Do'a
Bruk!...
Makanan yang di bawa Jingga jatuh berserakan di atas lantai.
“Apa kamu tidak punya mata?”, teriak Fajar dengan mengibas-ibaskan baju yang terkena tumpahan makanan dari nampan Jingga.
Mata elang Fajar menatap dengan tatapan penuh kebencian, entah mengapa ia merasa saat berdekatan dengan Jingga slalu saja ada kesialan yang menimpanya.
“Maafkan saya, Tuan, maaf saya tidak sengaja”, Jingga membereskan makanan yang berserakan di lantai. Memungut satu persatu makana itu dan meletakan di atas nampan.
“Ada apa ini? Apa yang terjadi?”, seorang wanita paruh baya dengan wajah yang masih teramat sangat cantik dan tutur kata yang lembut datang menghampiri mereka.
Dia adalah Bu Retno Astuti, pemilik Resto tempat Jingga bekerja.
“Maaf Bu, saya tidak sengaja menabrak Tuan ini”.
“Maafkan atas kelalaian pekerja saya, Tuan, ini hari pertama ia bekerja di sini”. Dengan tersenyum ramah Bu Retno menundukkan badannya pada Fajar anak muda yang arogan.
Fajar mengangguk pelan, dan kembali melanjutkan langkahnya menemui rekan bisnisnya yang sudah menunggu di ruang VVIP. Fajar dan Jingga seperti tidak saling mengenal satu sama lain, meskipun status mereka berdua sah sebagai suami istri baik secara agama maupun hukum negara.
“Maafkan saya Bu, atas kecerobohan saya, hari ini, saya akan berusaha lebih baik lagi”, Jingga membungkukkan badannya meminta maaf, ia merasa sangat bersalah di hari pertama bekerja sudah membuat masalah.
“Tidak apa-apa, lain kali hati-hati ya, sudah lanjutkan saja pekerjaan kamu”. Bu Retno menepuk-nepuk pundak Jingga.
Ia tertegun dan begitu bersyukur kala mendapat atasan yang begitu baik seperti Bu Retno.
***
Menuju malam.
Hari sudah menuju petang, terlihat dari kilauan jingga yang membentang di cakrawala, ia begitu indah dan sempurna. Sinarnya yang kemerah-merahan menambah pesona tersendiri baginya. Semburat perpaduan putihnya awan kian menambah damai bagi yang melihatnya.
Sore itu Jingga, kembali berjalan menyusuri padatnya lalu lintas Surabaya, ia berjalanan di tengah kerumunan orang-orang yang hendak pulang dari bekerja atau bahkan ada yang baru saja berangkat bekerja. Rasa lelah terpancar sempurna menghiasi wajahnya yang cantik jelita.
Sibuk.
Lelah.
Macet.
Begitulah suasana yang tergambar ketika hari menuju malam di Surabaya.
Semua orang akan berbondong-bondong untuk lekas sampai rumah, bertemu dengan sanak saudara atau bahkan orang terkasih, namun tidak dengan Jingga. Ia melangkah dengan damai menikmati langit jingga sore itu yang begitu cantik.
Iya cantik, sepeti dirinya.
Jingga enggan untuk lekas sampai di rumah, meskipun rumah itu begitu besar nan indah bak istana tapi tidak dengan penghuninya. Ia adalah orang asing di sana, orang yang tidak di inginkan kehadirannya.
Jingga kembali menyusuri jalan hingga tibalah di pemberhentian bus. Mau tidak mau ia naik bus tersebut untuk pulang, sebelum hari benar-benar gelap dan tak akan ada bus lagi yang lewat.
Wajah cantiknya memandang ke luar jendela bus, menikmati segala pemandangan yang ada. Beberapa pengamen mulai menabuh gendang menyanyikan beberapa lagu.
Asalamualaikum
Perkenankan kami pengamen jalanan
Dari pada ku mencuri lebih baik ku menyanyi
Dari pada ku merampok lebih baik main gitar
Siapa yang tahu nasib seseorang
Sekarang kami ngamen besok saingan Peterpan
Sekarang jadi spir besok punya pabrik mobil
Jingga tersenyum mendengarkan lirik lagunya, dalam hati pun turut berdoa.
“Sekarang aku seorang istri figuran yang dianggap transparan kehadirannya, semoga suatu saat nanti jika Allah mengizinkan aku akan menjadi nyonya Fajar satu-satunya”.
“Astaga benarkah doa yang ku ucapkan tadi?”. Rasanya Jingga ingin meralat doanya ketika mengingat kelakuan Fajar padanya beberapa hari mereka menjalani pernikahan ini.
***
Rumah Fajar.
Sesampainya di rumah Fajar hari benar-benar sudah gelap, matahari kian tenggelam dalam pelukan malam. Jingga melangkah dengan cukup pelan memasuki halaman rumah besar itu. Wajahnya tertunduk kala mulai menginjakkan kaki di ruang tamu nan besar.
“Kamu pikir ini rumah nenek moyangmu, bisa pulang seenaknya seperti ini?”
Dengan melipat kedua tangannya Fajar berdiri tepat di depan pintu masuk rumah itu.
“Maafkan saya, Tuan”.
Jingga menunduk tak berani menatap wajah sang suami.
“Aku, memang mengizinkanmu untuk bekerja di luar, bahkan menjual dirimu pun, aku tak peduli. Hanya saja kamu harus pulang, sebelum aku sampai di rumah”. Ucap Fajar dengan begitu sinis dan penuh penekanan.
“Kamu tahu bukan? di rumah ini posisimu hanya sebagai upik abu, bukan nyonya besar yang bisa masuk dan keluar semaumu. Jadi kamu tahu bukan tugas seorang babu apa saja?”.
Kini Fajar menarik satu lengan Jingga mencengkram dengan cukup kuat.
Jingga merintih menahan rasa sakit.
“Sakit Tuan, maafkan saya maaf”.
“Hari ini aku mengampuni jika besok terulang lagi jangan salahkan aku jika aku mengurungmu di gudang belakang rumah ini!”. Fajar berlalu meninggalkan Jingga yang tersungkur di atas lantai.
Jingga meringis menahan rasa sakit pada lengannya yang terlihat membiru oleh ulah suaminya.
“Non Jingga, tidak papa?”, Wima datang dan membantu Jingga untuk berdiri.
“Aku tidak papa Wim”.
“Mari saya antar ke kamar Nona”.
“Tidak usah Wim, aku bisa sendiri lanjutkan saja pekerjaan kamu. Aku pergi dulu”.
Wima, pelayan yamg baru beberapa hari tinggal bersama Jingga menatap nanar punggung wanita muda itu.
“Kasian sekali kamu Nona”.
Jingga berjalan menuju kamarnya, menutup rapat pintu kamar, ia kembali mengingkari janjinya pada diri sendiri. Kini dia meringkuk memeluk lututnya dan kembali menangis’i nasib yang tak berpihak padanya.
Beberapa saat kemudian ia bangkit dari duduknya, melangkahkan kaki membersihkan dirinya, kemudian mengelar sajadah untuk menjalankan sholat isyak.
Cukup lama Jingga bersujud dalam sholatnya, dengan sangat khusyuk ia bersimpuh pada sang maha Pencipta. Jingga mengangkat kedua tangannya ke langit, matanya terpejam menahan segala rasa sedih yang mendera. Mengadu kerapuhan hatinya yang luar biasa pada sang Pemilik hati.
“Aku kembali menghadap-Mu Ya Allah, karen aku sedang terluka oleh suamiku. Aku mencari-Mu Ya Allah karena aku sedang hancur”.
“Aku membutuhkan pertolongan-Mu Ya Allah, kuatkan hatiku, tabahkan hatiku menjalani pernikahan suci ini”.
“Ya Allah, tundukanlah suamiku mas Fajar Dirgantara bin Bapak Angga Dirgantara padaku, sebagaimana engkau telah menundukkan Fir’aun pada Musa AS”.
“Dan luluhkan hatinya untuk hambamu ini, sebagaimana engkau telah meluluhkan besi untuk Daud AS. Kerena sesungguhnya dia takkan berbicara kecuali degan adanya izin-Mu. Ubun-ubunnya dalam genggaman-Mu Ya Allah”.
“Dan hatinya ada di tangan-Mu. Pujian wajah-Mu telah anggun, wahai zat yang lebih sayang dari penyayang”
“Apakah ini hukuman-Mu? Ataukah cobaan-Mu? Ya Allah hambamu yang kecil ini memohon pertolongan dan perlindungan”.
Jingga!.....Jingga!.....
Suara teriakan begitu keras terdengar dari balik pintu kamarnya.
.
.
.
.
Jangan lupa like, komen dan subscribe teman-teman 😊