Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sebelas
Naii menatap mbak Fhitry dengan sangat dalam, begitu banyak bantuan wanita itu padanya.
"Ya sudah, kamu istirahat, mbak mau masuk ke rumah," ucapnya dengan cepat, ia tak ingin mengganggu Naii untuk beristirahat karena tentunya sangat lelah bekerja seharian.
Naii menganggukkan kepalanya, lalu Fhitry berlalu.
Wanita itu memasuki rumahnya, ia menuju kamarnya dan melihat Jaka-suaminya sedang bermain phonsel.
"Darimana?" tanyanya datar.
"Dari gudang," lalu menaiki ranjang dan bersandar disandarannya. "Naii baru pulang memulung," ucap Fhitry dengan tatapan nanar.
"Oh," jawab Jaya tanpa ekspresi, dan masih fokus pada phonselnya.
"Aku sangat mengingat apa yang dulu pernah dilakukannya, dan aku tidak akan melupakannya seumur hidupku," ucap Fhitry dengan lirih.
Jaya menarik nafasnya dengan dalam. Ia meletakkan phonselnya, lalu menarik kepala sang istri ke pundaknya dan membelainya lembut.
"Doakan saja yang terbaik untuknya," jawab Jaya, lalu mengecup ujung kepala sang istri.
"Mengapa nasibnya seperti itu? Aku masih ingat jelas saat kita mengalami kesulitan untuk membayar uang kuliah Emy. Aku meminjam uang padanya, padahal baru kenal seminggu, dan ia memberikannya," ucap Fhitry dengan lirih, tanpa terasa air mata mengalir dari sudut matanya.
"Saat itu aku sudah mencari pinjaman kemana-mana, dan aku mencoba memberanikan diri meminjam padanya, dan ia dengan suka rela meminjamkan uang itu," Fhitry kembali mengulik masa lalu saat pertama kali Naii pindah merantau ke pinggiran kota ini, dan awal mereka bertemu, lalu menjadikan awal kedekatan mereka.
"Sebutir kejahatan seseorang akan aku lupakan, tetapi sebutir kebaikan yang pernah diberikan seseorang disaat titik terendahku, maka aku akan mengingatnya seumur hidupku," gumam Fhitry dengan penuh penekanan.
Sementara itu, Naii memasuki gudang dengan tubuh letihnya.
"Ibu," Ahnaf membimbing tangan sang ibu untuk masuk ke dalam, lalu menutup pintu. Ia bergegas mengambil air minum dan memberikannya kepada sang ibu, "Minum dulu, Bu," ucapnya, sembari memberikan segelas air putih, ia tahu benar sang ibu sangat lelah hari ini.
Naii menerimanya, Lalu meminumnya dengan sekali tegukan hingga kandas. "Makasih, Sayang," ucapnya, lalu memberikan gelas kosong kepada sang putera sholehnya.
Naii menselunjurkan kakinya yang terasa sangat penat. Rasanya ia ingin menyerah saja, tetapi melihat buah hatinya yang begitu sangat perhatian, membuatnya kembali bersemangat.
"Ibu sudah makan?" tanyanya, sembari memijat pundak sang ibu," Naii menggelengkan kepalanya. Rasanya perutnya saat ini sangat perih, membuat ia meringis menahan sakit.
Ahnaf cepat tanggap, lalu mengambil seporsi nasi panas dari magicom dengan sepotong tahu goreng yang dimasak oleh sang ibu setelah subuh tadi.
"Makanlah, Bu," pintanya, lalu tangan mungilnya dengan menyendokkan nasi dan berusaha menyuapin sang ibu.
Naii menatap puteranya yang membuat rasa lelahnya hilang seketika.
*****
"Bu, Ahnaf pergi ke sekolah," ucap bocah berusia 6 tahun yang kini sudah berseragam merah putih, ia sudah dapat masuk Sekolah Dasar karena saat pendaftaran ia sudah dapat baca tulis dan diterima dengan mudah.
"Iya, Sayang. Ini uang jajan kamu," Naiiengulurkan selembar uang dua ribu rupiah.
"Tidak usah, Bu. Ahnaf sudah sarapam nasi goreng, pasti kuat," tolaknya.
"Sudah, jangan nolak," Naii memasukkan selembar uang tersebut kedalam saku Ahnaf. "Makasih, Bu," ucapnya dengan senyum termanisnya, lalu menyalim sang ibu, dan memakai sepatunya yang tampak mengalami robekan diujung sepatu karena saat itu sepatunya dibeli dipasar loak dengan harga sangat murah. Lalu ia akan beranjak pergi.
Aliyah baru saja terbangun dan tampak rambutnya yang acak-acakkan dan wajah kusutnya.
"Tatak mau mana?" tanyanya dengan wajah manjanya.
"Kakak mau sekolah, Liyah nanti ikut ibu mulung ya," ucap Naii dengan selembut mungkin. Bocah berusia tiga tahun itu hanya dapat menganggukkan kepalanya.
"Kakak berangkat ke sekolah ya, dik," ucapnya dan melambaikan tangannya pada Aliyah.
Bocah perempuan itu menganggukkan kepalanya dengan lemah, dan mencoba tersenyum datar, sembari menatap sang kakak yang berlari untuk menuju sekolahnya.
Setelah melihat tubuh kakaknya menghilang diujung gang, ia menoleh ke arah sang ibu.
"Bu, mamam," ucapnya.
"Iya, mandi dulu, ya. Setelah mamam kita berangkat mulung, ya" ucap Naii dengan selembut mungkin.
Aliyah kembali menganggukkan kepalanya, lalu menuju kamar mandi, dan membersihkan dirinya.
Sementara itu, Naii mempersiapkan segala peralatan yang akan dibawa mereka untuk pergi memulung.
******
Naii dan Aliyah menyusuri jalanan untuk mengumpulkan botol bekas dan apa saja yang mereka dapatkan yang laku untuk dijual. Tak jarang Aliyah berlari kegirangan saat menemukan botol-botol kosong itu dan memungutnya, lalu memberikannya kepada sang ibu.
Hari ini Naii terlihat berbeda sedikit dari biasanya. Ia mengenakan daster yang sedikit berwarna cerah dan juga polesan lipstik yang sangat tipis dibibirnya yang berasal dari pemberian Mbak Fhitry.
Hal itu sempat menjadi perhatian dari Aliyah pagi tadi saat sebelum berangkat bekerja yang mana ia juga meminta lipstik pada bibirnya. Sebab bocah itu tidak pernah melihat sang ibu mengenakan benda tersebut.
"Ibu tantik," celoteh sang bocah saat melihat Naii pertama kalinya berdandan, dan hal tersebut membuat senyum mengembang dibibir Naii saat puterinya mengatakan hal itu dengan nada gemasnya. Mungkinkah karena sibuknya ia mencari nafkah hingga lupa pada dirinya sendiri.
"Bu, ini Liyah dapat manyak," ucapnya bangga pada beberapa botol kosong air mineral yang berhasil dikumpulkannya.
"Anak pinter," puni Naii, lalu menerima botol-botol tersebut.
Saat bersamaan, Ahanf melintas menyusri jalanan sepulang sekolah dengan beberapa teman sebayanya. "Ibu," teriaknya saat melihat sang ibu bersama adiknya sedang memulung.
Melihat Ahnaf memanggilnya, Naii menghentikan langkahnya dan melambaikan tangannya.pada Ahnaf, agar tidak menyeberang jalanan.
"Pemulung itu ibu kamu,Naf?" tanya salah seorang teman sekelasnya.
Ahnaf mengangguk cepat. "Iya itu, ibuku," jawabnya sembari tersenyum
"Jadi pekerjaan ibumu pemulung? Sangat menjijikkan. Berarti kamu anak pemulung?" ucapnya nada merendahkan.
"Iya, emangnya salah jika mulung?" ucap Ahnaf sembari menatap sahabatnya tersebut.
"Ih, aku gak mau temenan lagi sama kamu, anak pemulung tapi satu gengk sama kita," ucap bocah yang merupakan anak dari Maya dengan nada merendahkan
Seketika Ahnaf menatap.sahabatnya dengan tatapan tak suka. "Jangan hina ibuku. Memulung bukan berarti membuatnya hina!" Ahnaf mencoba mengingatkan sahabatnya itu.
"Ih, sana kamu, kita gak mau temenan sama kamu," ucap seorang lainnya, lalu bersama-sana meninggalkan Ahnaf yang masih terperangah akan ucapan sahabatnya.
Lalu mereka berjalan meninggalkan Ahnaf dengan segala cibiran yang menyakitkan hati.
Ahnaf berusaha untuk diam, tetapi ia memiliki dendam pada mereka yang mencoba menghina ibunya.
Ia tak menghiraukan mereka yang meninggalkannya, ia memilih untuk menuju ke arah sang ibu dan juga Aliyah.
Ia tak mengindahkan larangan sang ibu yang melarangnya agar jangan menyeberangi jalan.
Tetapi rasa ingin membantu sang ibu lebih kuat. Ia berlari untuk meyeberangi jalan, hingga akhirnya,
Ciiiiittt.... Buuuuuuum...
Sebuah mobil menghantam tubuh mungilnya.