Saat sedang menata hati karena pengkhianatan Harsa Mahendra -- kekasihnya dengan Citra -- adik tirinya. Dara Larasati dihadapi dengan kenyataan kalau Bunda akan menikah dengan Papa Harsa, artinya mereka akan menjadi saudara dan mengingat perselingkuhan Harsa dan Citra setiap bertemu dengan mereka. Kini, Dara harus berurusan dengan Pandu Aji, putra kedua keluarga Mahendra.
Perjuangan Dara karena bukan hanya kehidupannya yang direnggut oleh Citra, bahkan cintanya pun harus rela ia lepas. Namun, untuk yang satu ini ia tidak akan menyerah.
“Cinta tak harus kamu.” Dara Larasati
“Pernyataan itu hanya untuk Harsa. Bagiku cinta itu ya … kamu.” Pandu Aji Mahendra.
=====
Follow Ig : dtyas_dtyas
Saran : jangan menempuk bab untuk baca y 😘😘
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CTHK 22 ~ Bidadari
“Saya mau diculik kemana sih, bentar lagi istirahat saya selesai. Yang ada Pak Leo ngereog ke saya dipikir malas kerja."
Pandu dan Dara berada di lift khusus karyawan dan tujuan pria itu adalah lantai di mana para direksi dan manajemen berada.
“Om Pandu mau ngapain kesini?” Wajar saja Dara bertanya, karena sudah malam tentu saja aktivitas di lantai enam belas nyaris tidak ada.
“Kita temui Pak David,” jawab Pandu yang bersandar pada dinding lift menatap Dara yang berdiri lebih dekat dengan pintu dan membelakanginya. Melihat seragam yang dikenakan gadis itu yang hanya sebatas lutut dan dari belakang seperti ini membuat tubuh Dara terlihat menggoda. Sebenarnya bukan salah pakaiannya, tapi memang otak Pandu saja yang mesum seperti ejekan Dara.
“Mau ngapain ketemu pak David?” tanya Dara lagi ketika pintu lift terbuka dan mereka keluar dari sana.
“Pecat kamu.”
“Serius Om, eh Pak Pandu,” ujar Dara mulai panik. Khawatir kalau Pandu serius akan memecatnya, habis sudah perjuangannya selama beberapa tahun mengabdi di Grand Season. Alih-alih dipertahankan dan naik jabatan, Pandu malah memecatnya.
Wajah Dara yang menunjukan kekhawatiran membuat Pandu mengulum senyum. Gadis itu memang berani, tapi apa yang sudah dilakukan pada Pandu memang kesalahannya dan keputusan untuk memecatnya mungkin harus ia terima meski tidak ikhlas.
Bibir Pandu yang bungkam membuat Dara seakan tidak ada harapan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula, ditambah tersungkur. Mungkin itu perumpamaan yang tepat jika Dara benar harus angkat kaki dari Grand Season.
Mengetuk dua kali pintu ruangan david, lalu Pandu menekan handle pintu.
“Malam Pak Pandu, saya pikir belum sampai makanya saya masih fokus di sini,” sapa David lalu menjabat tangan Pandu dan mempersilahkannya duduk. Dara masih berdiri karena belum dipersilahkan duduk.
“Kamu mau berdiri terus?” tanya Pandu dan Dara beralih menatap David.
“Ah iya, silahkan duduk Dara.”
Petugas housekeeping yang diterima di ruangan David tentu saja baru kali ini, itu pun karena Pandu. Saat masih menjadi asisten Leo, Dara beberapa kali mendampingi atasannya menemui David.
“Langsung saja, silahkan sampaikan,” titah Pandu yang ditujukan pada David.
Dara menatap bergantian Pandu dan David, decakan yang keluar dari bibirnya lirih dan tidak terdengar. Segera ia menarik nafas agar tetap tenang saat mendengar keputusan dari atasannya.
“Hm, baik. Dara, mulai besok kamu tidak perlu lagi bekerja sebagai housekeeping,” ungkap David.
“Saya dipecat, Pak?” tanya Dara menyela uca David yang belum selesai bicara.
Pandu berdecak mendengar pertanyaan Dara. “Dia belum selesai bicara.”
“Penasaran, Pak.”
“Tidak, kamu tidak dipecat, tapi ….”
“Serius, Pak?” tanya Dara dengan suara agak berteriak dan sudah berdiri.
“Astaga, Dara. Duduk dan dengarkan dulu,” titah Pandu lalu menggelengkan kepalanya sedangkan David terheran-heran lalu menatap Dara dan menoleh ke arah Pandu bergantian. Tidak berani menolak permintaan pria yang mungkin saja akan menjadi pemimpin Grand Season di beberapa waktu mendatang.
Dara terkekeh lalu kembali duduk, “Maaf, silahkan dilanjutkan Pak David.”
“Jadi, mulai besok kamu bisa kembali bertugas dengan jabatan kamu sebelumnya, asisten Leo,” jelas David.
Dara langsung berdiri dan berteriak. “Yes, yes, yes.”
Pandu menatap tidak percaya kalau Dara yang dikenal kasar dan berani bisa bertingkah norak seperti itu. “Hahh,” dessahnya karena Dara malah terlihat semakin menggemaskan.
“Hei, hentikan!” Dara terdiam masih dengan posisi berdiri. “Kalau aku dengar lagi kamu membuat masalah, tidak ada lagi kebijaksanaan.”
“Siap Pak, setelah ini saya akan bekerja dengan baik dan sepenuh hati.” Pandu beranjak dan pamit pada David. Begitu pun Dara dan berkali-kali mengatakan terima kasih.
Mulut Dara terus bersenandung, padahal mereka masih berada di lift. Pandu menatapnya dari samping karena berdiri bersisian.
“Seharusnya kamu berterima kasih padaku, bukan pada David.”
Dara menoleh dan tersenyum manis bahkan mengerlingkan matanya. “Terima kasih Om Pandu, eh Bapak Pandu Aji. Lain kali jangan menyebalkan ya, bisa-bisa tragedi malam itu kejadian lagi.”
Pintu lift terbuka dan mereka berada di area khusus pegawai. Pandu berjalan menuju pintu ke arah lobby, arah yang berbeda dengan Dara.
“Om Pandu,” panggil gadis itu membuat Pandu menoleh. “Makasih ya, lain kali aku traktir deh. Bye, om ganteng,” tutur Dara lalu terkekeh, melambaikan tangan dan berbalik dan melangkah setengah berlari.
Pandu tersenyum, tatapannya masih tertuju melihat punggung gadis itu yang perlahan menjauh. Masih sama seperti sebelumnya, jantungnya berdebar tidak biasa.
“Ada apa denganku, walaupun jatuh cinta mengapa harus begini. seperti abege saja,” gumam Pandu lalu merogoh saku jasnya karena ponselnya bergetar.
“Halo,” ujarnya. “Di mana?” tanya Pandu dengan raut wajah serius. “Aku segera ke sana.”
***
Dara menguap saat memasuki kamar kost. Sudah jam sebelas malam dan ia enggan pulang ke kediaman Mahendra, apalagi besok diminta Leo untuk datang dengan shift pagi. Ternyata Pandu juga mengirimkan pesan menyarankan agar dia pulang ke kosan.
Bukan tanpa sebab, maksud Pandu agar Dara tidak bertemu dengan Harsa di rumah. Jaya masuk rumah sakit dan ia akan sibuk, entahlah dengan Surya dan Kemala. Tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan terutama Dara dengan Harsa, maka Pandu melarang gadis itu untuk pulang.
“Halo, Bun.”
“Kamu di mana?”
“Kosan, baru nyampe.”
“Opa Jaya masuk rumah sakit, Bunda ada di sini. Citra di rumah sendirian, baiknya kamu pulang dan temani dia.”
“Bun, CItra sudah dewasa dan di sana banyak orang. Lagian ya Bun, belum tentu dia takut apalagi senang aku pulang untuk temani dia. Ngantuk pula aku,” tutur Dara menolak permintaan Kemala.
“Tapi Ra ….”
“Percaya deh Bun. Bisa jadi dia malah nyusul Bunda ke rumah sakit.”
Tidak lama obrolan pun berakhir. Dara hanya mencuci muka dan berganti pakaian, lalu menyetel alarm agar tidak kesiangan. Sudah hampir terlelap saat ponselnya berdering.
“Halo,” sapa Dara tanpa melihat siapa yang menghubungi.
“Kamu di mana?” tanya Pandu di ujung sana.
“Hm, di hatimu,” jawab Dara sekenanya antara sadar dan tidak. Jawaban Dara membuat Pandu tersenyum dan hatinya menghangat. Ingin sekali dia segera menemui gadis itu lalu … memeluknya.
“Tidurlah, besok kamu harus pertanggungjawabkan kalimat tadi.”
“Ini juga lagi mimpi,” sahut Dara lalu kembali terlelap.
Sementara di rumah sakit. Pandu sudah memastikan kondisi Jaya sudah lebih baik, ada Surya dan Kemala menemani di dalam kamar perawatan. Wajahnya masih mengulas senyum setelah menghubungi Dara.
“Mas Pandu.”
“Ck, baru saja bicara dengan bidadari sekarang ketemu nenek sihir,” gumam Pandu menatap Citra yang menghampirinya.
\=\=\=\=\=
Pembaca : kapan ke KUA, om?
Pandu : gimana author aja 😂
bener 2 meresahkanb dara fdan pandu
terbucin bucinlah kamu..
pegalan katacdisetiap kalimatmya teratur dan ini udah penulis profeaional banget , aku suka npvel seperti ini simple yo the point dan tak bertele tele..aku suka🥰🥰💪