Setelah fenomena Dukhan melanda, dunia berubah drastis dengan iklim yang semakin ekstrem dan teknologi yang lumpuh. Umat manusia harus bertahan hidup di tengah panas terik dan kemarau panjang yang tak kunjung usai.
Kisah ini mengikuti perjalanan sebuah kelompok yang berjuang menghadapi kenyataan baru. Mereka mencoba menanam di tanah kering, mencari air, dan bergantung pada kebijaksanaan lama. Di tengah tantangan yang berat, muncul momen tegang, humor, dan rasa kebersamaan yang kuat.
Mencari Harapan di Tengah Kemarau adalah cerita tentang perjuangan, keimanan, dan kebersamaan dalam menghadapi ujian akhir zaman.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kegelapan Dukhon
5.1. Seruan di Kegelapan
Sudah dua hari sejak hantaman meteor mengguncang dunia. Di dalam bunker, keadaan semakin genting. Orang-orang mulai merasa lapar dan haus, sementara oksigen menipis, membuat suasana semakin pengap dan sesak. Hiruk-pikuk jeritan, tangisan, dan doa memenuhi ruangan yang gelap gulita, di mana tidak ada satu pun yang bisa melihat dengan jelas. Kegelapan total menyelimuti mereka, hanya suara dan perasaan yang dapat menjadi penuntun.
Sarah, yang sudah mulai kelelahan, melangkah perlahan-lahan di tengah ruangan yang sesak. Tangannya meraba-raba dinding, mencoba mencari jalan di antara orang-orang yang panik. Namun, tanpa sengaja, kakinya tersandung sesuatu. Dia terjatuh, merasakan tubuhnya menghantam lantai bunker yang dingin.
“Maaf!” teriak Sarah panik, meskipun dia tidak bisa melihat siapa yang dia tabrak.
Suara seorang pria yang tenang terdengar, “Tidak apa-apa.”
Sarah berhenti sejenak, mencoba mencerna ketenangan dalam suara tersebut. Di tengah kekacauan yang mencekam, di mana setiap orang tampak histeris, ada seseorang yang tetap tenang, duduk diam di tengah kekacauan ini. Meski tidak bisa melihatnya, Sarah merasa heran sekaligus penasaran.
Dengan suara lemah, dia bertanya, “Kenapa kamu bisa setenang ini? Di luar sini semua orang panik.”
Suara pria itu tetap lembut namun tegas, “Aku sedang berdzikir.”
Sarah terdiam, terkejut dengan jawabannya. Namun, sebelum dia bisa berkata lebih jauh, pria itu bangkit. Sarah merasakan gerakannya di kegelapan, seperti angin yang lembut berhembus di sekitarnya. Pria itu berdiri tegak dan mulai berseru dengan suara yang lantang, menggelegar di tengah kekacauan.
“Tolong semua diam!” suaranya memecah keheningan yang sesaat. Meskipun tidak ada yang bisa melihat dari mana suara itu berasal, orang-orang mulai berhenti berteriak, mulai mendengar.
"Tolong dengarkan saya!" lanjut pria itu dengan tegas. Suaranya seperti suara seorang pemimpin yang tidak bisa diabaikan, memaksa semua orang untuk fokus.
Orang-orang yang awalnya menangis dan meratap kini diam, tidak bisa melihat, tapi suara pria itu menjadi satu-satunya yang bisa mereka andalkan di tengah kegelapan ini. Mereka mendengarkan, berharap ada jawaban atas ketakutan mereka.
“Apakah kalian tahu apa yang sedang terjadi?” tanya pria itu. Suaranya menggema di seluruh ruangan, terdengar berat dan penuh makna.
Keheningan yang mencekam menyelimuti. Hanya napas terengah-engah dan isakan pelan yang masih terdengar di sana-sini.
“Ini bukan hanya hantaman meteor. Ini lebih dari sekadar bencana alam,” kata pria itu, suaranya semakin dalam, membuat orang-orang semakin tegang. “Ini adalah Dukhon!”
Seketika orang-orang mulai bergumam di tengah kegelapan. Mereka saling bertanya-tanya dalam ketakutan, tidak bisa saling melihat, hanya bisa mendengar dan merasakan kehadiran orang lain di sekitar mereka.
“Dukhon adalah kabut atau asap yang akan datang dari arah barat dan menyelimuti seluruh dunia,” jelas pria itu, suaranya semakin kuat, menggetarkan hati mereka yang mendengarnya. “Kabut ini menutupi langit, membuat dunia menjadi gelap gulita, seperti yang kita rasakan sekarang.”
Suara gemerisik ketakutan terdengar di seluruh bunker. Orang-orang mulai menyadari bahwa kegelapan ini bukanlah sekadar akibat meteor. Ada sesuatu yang jauh lebih besar sedang terjadi.
“Kabut ini akan tinggal selama 40 hari dan 40 malam. Ia akan membuat kita merasa sesak napas, tubuh kita akan sakit, dan kita akan didera rasa takut yang luar biasa,” lanjut pria itu, suaranya tegas namun penuh kepedulian. “Tapi bagi mereka yang tidak beriman, kabut ini akan lebih dari itu. Mereka akan menjadi buta, tuli, dan lumpuh.”
Teriakan kecil terdengar di beberapa sudut bunker. Rasa takut mereka semakin besar. Dalam kegelapan yang menyesakkan ini, mereka tak bisa melihat apapun, hanya bisa merasakan kegelisahan yang menyelimuti.
“Tapi jangan panik,” suara pria itu berubah menjadi lebih lembut, lebih menenangkan. “Allah tidak meninggalkan kita begitu saja. Ada jalan keluar.”
Orang-orang menunggu, menggantungkan harapan mereka pada kata-kata pria yang tidak bisa mereka lihat, tetapi suara dan kehadirannya sudah menjadi sumber kekuatan di tengah kegelapan ini.
“Berdzikirlah,” kata pria itu, suara dzikir yang tenang mulai terucap dari bibirnya. “Bacalah dzikir ini: La Ilaha Illa Anta Subhanaka Inni Kuntu Minadzolimin. Artinya, ‘Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zalim.’”
Beberapa orang mulai mengikuti. Suara dzikir terdengar lirih, namun semakin lama semakin keras di tengah kegelapan itu, seolah-olah menjadi satu-satunya cahaya yang bisa mereka rasakan.
“Dzikir ini akan melindungi kita,” lanjut pria itu. “Selama kita terus memohon ampun kepada Allah, Insya Allah, kita akan selamat dari adzab ini.”
Perlahan-lahan, suasana di bunker mulai berubah. Tangisan dan teriakan berangsur-angsur digantikan oleh suara dzikir yang lembut namun semakin kuat. Meskipun dalam kegelapan total, harapan mulai tumbuh di dalam hati mereka.
“Bacalah juga dzikir Subhanallah Walhamdulillah Wala Ilaha Illallah Wallahu Akbar. Niatkan dalam hati kalian agar Allah mengenyangkan perut kalian yang lapar, menghilangkan dahaga, dan menenangkan hati kalian yang gundah,” kata pria itu.
Orang-orang mengikuti instruksinya, dengan suara gemetar mereka mulai berdzikir, mencoba menenangkan diri di tengah ketakutan yang membara.
“Jangan putus asa,” lanjut pria itu dengan suara yang lebih lembut namun penuh keyakinan. “Allah tidak akan membiarkan kita terlantar. Ini adalah ujian, tapi jika kita tetap beriman, Allah akan memberi kita jalan keluar.”
Kini, suasana di dalam bunker terasa berbeda. Mereka yang sebelumnya dilanda kepanikan dan histeria mulai tenang, meskipun kegelapan masih menyelimuti mereka, rasa takut sedikit demi sedikit berkurang. Dzikir mereka, meski tidak mampu mengusir kegelapan, kini menjadi cahaya dalam hati mereka, menenangkan ketakutan yang sebelumnya begitu mencekam.
Kegelapan tetap ada, namun harapan juga mulai tumbuh.
5.2. Ketegangan Meningkat di Tengah Dzikir
Suasana di dalam bunker mulai berubah setelah seruan ulama yang penuh keyakinan tadi. Dzikir yang semula lirih kini mulai menggema di setiap sudut ruangan, menggetarkan hati mereka yang mendengarnya. Namun, rasa lapar dan haus tetap menyiksa, dan semakin lama, oksigen yang tipis semakin terasa mencekik.
Suara napas yang berat dan terengah-engah masih terdengar di tengah dzikir. Beberapa orang mulai tersengal-sengal, suara mereka patah-patah saat mencoba mengikuti dzikir. Meski hati mereka ingin bertahan, tubuh mereka mulai menyerah. Di pojok ruangan, terdengar suara seseorang terjatuh dengan keras.
“Ada yang pingsan lagi!” teriak seseorang di tengah kegelapan, suaranya penuh kepanikan. Mereka tidak bisa melihat siapa yang pingsan, hanya bisa mendengar suara tubuh yang jatuh.
“Bantu dia! Cari air! Cari sesuatu untuk minum!” Suara orang lain terdengar mendesak, tetapi semua tahu tidak ada yang bisa mereka lakukan. Stok air sudah habis sejak sehari yang lalu, dan bunker ini terlalu gelap untuk mencari apapun. Hanya dzikir yang kini menjadi pegangan mereka.
Sarah yang duduk di sudut bunker merasakan perutnya semakin kosong, rasa lapar yang menyiksa membuat tubuhnya lemas. Dia mencoba berdzikir, mengikuti kata-kata ulama tadi, tetapi setiap suaranya keluar, rasa haus yang menyesakkan menutupi semua harapan.
“Bagaimana kita bisa bertahan seperti ini?” gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar. Di sampingnya, seorang ibu yang membawa dua anak kecil mulai menangis.
“Anak-anak saya… mereka tidak kuat… mereka lapar…,” ibu itu berbisik, suaranya penuh keputusasaan. Tangannya meraba-raba di kegelapan, mencoba menyentuh wajah anak-anaknya, memastikan mereka masih di sana, masih bernapas.
Suara-suara tangis kecil mulai terdengar lebih jelas lagi, menciptakan atmosfer tegang. Dzikir mulai terputus-putus, digantikan oleh suara kepanikan dan kegelisahan. Ketegangan di dalam bunker meningkat drastis. Di satu sisi, dzikir masih dilantunkan, tetapi di sisi lain, kenyataan bahwa mereka terjebak dalam kegelapan, tanpa makanan, air, dan udara yang cukup, mulai menghancurkan ketenangan yang baru saja terbentuk.
“Apa gunanya berdzikir kalau kita mati kelaparan di sini?” suara seorang pria yang mulai frustrasi tiba-tiba terdengar di antara dzikir. Dia terdengar marah, tidak lagi peduli pada situasi spiritual yang sedang coba dipertahankan.
Ulama yang tadi memimpin dzikir berdiri kembali, meski tidak ada yang bisa melihatnya. Suara langkah kakinya terdengar pelan di lantai bunker yang dingin.
“Jangan kehilangan iman,” ucap ulama itu dengan nada tegas, meskipun ada kegelisahan yang mulai merayap dalam suaranya. “Allah menguji kita. Jangan biarkan setan menguasai pikiran kalian. Dzikir ini adalah penghiburan dan penyelamat kita.”
“Tapi apa yang bisa kita lakukan?” balas pria yang frustrasi tadi, suaranya makin tinggi. “Ini sudah dua hari! Kita tidak bisa terus seperti ini! Kita butuh makanan, air, udara! Dzikir tidak akan membuat kita kenyang!”
Kegaduhan mulai terdengar, beberapa orang mulai bergumam setuju dengan pria itu. Namun di sisi lain, ada yang tetap mempertahankan dzikirnya meskipun suara mereka semakin lemah karena kelelahan.
“Cukup!” seru ulama itu lagi, kali ini dengan suara yang lebih keras, mencoba menenangkan kekacauan yang mulai terjadi. “Kita tidak bisa melawan takdir dengan amarah! Jangan biarkan ketakutan kalian merusak iman. Dzikir ini bukan sekadar ucapan—dzikir ini adalah kekuatan. Kekuatan yang Allah berikan untuk menenangkan hati kita dan memberi kita kekuatan bertahan.”
Suasana di bunker menjadi semakin mencekam. Suara tangisan anak-anak yang lemah, isakan beberapa orang dewasa yang tak lagi bisa menahan ketakutan, dan suara napas yang semakin berat memenuhi ruangan. Namun, di tengah semua itu, suara dzikir tetap terdengar meskipun pelan, seperti harapan terakhir yang masih bertahan di antara semua ketidakpastian.
“Dzikir ini…,” ulama itu melanjutkan, suaranya sekarang lebih lembut, penuh kesabaran, “bukan hanya untuk mengenyangkan perut kalian. Ini untuk menyelamatkan jiwa kalian. Ingat, dunia ini sementara. Apa yang terjadi di luar adalah adzab, tapi ini bukan akhir. Tetaplah kuat dalam iman, dan Allah akan menunjukkan jalan keluar.”
Di tengah kegelapan, beberapa orang mulai merasakan air mata mereka jatuh. Bukan lagi karena ketakutan semata, tetapi karena kesadaran akan kenyataan yang lebih besar. Meski mereka tidak bisa melihat apapun, mereka tahu bahwa kegelapan ini adalah ujian, ujian yang harus mereka hadapi dengan keteguhan hati. Mereka yang tadinya ragu, kini mulai kembali melantunkan dzikir dengan lebih khusyuk, berharap keajaiban akan datang di tengah kegelapan yang tak kunjung usai.
Suasana kembali tenang sejenak, meskipun rasa lapar dan haus masih terus menghantui. Mereka duduk dalam kegelapan, berdzikir dengan harapan, meski tidak ada yang tahu kapan kegelapan ini akan berakhir.
5.3. Kegelapan Menelan Harapan
Di tengah bunker yang gelap gulita, suara dzikir yang menggema mulai terdengar lebih pelan. Rasa lapar yang menyiksa semakin berat dirasakan, dan kelelahan mental perlahan mulai menggerogoti iman mereka. Meskipun dzikir terus dilantunkan oleh sebagian orang, suasana mencekam tak dapat dielakkan.
Sarah duduk di lantai yang dingin, merapatkan dirinya ke tembok bunker, mencoba menenangkan dirinya. Kepalanya terasa pusing karena kekurangan oksigen, dan perutnya semakin perih karena kelaparan. Di tengah kegelapan, dia bisa mendengar suara napas berat dan lirih di sekitarnya—tanda bahwa semua orang di dalam bunker berjuang menghadapi situasi yang semakin buruk.
Tiba-tiba, terdengar suara seorang perempuan menangis di sudut ruangan.
“Aku tidak kuat lagi… aku ingin keluar… aku ingin melihat cahaya…” isak perempuan itu, suaranya semakin histeris.
“Tenang… tenang…,” jawab seseorang dari dekatnya, mencoba menenangkannya meski suaranya sendiri terdengar putus asa. “Kita harus bertahan… mungkin bantuan akan datang…”
“Bantuan apa?!” perempuan itu mulai berteriak, suaranya gemetar. “Kita semua akan mati di sini! Aku tidak bisa bernapas! Aku lapar! Aku haus! Di luar… di luar sana ada udara segar! Aku harus keluar!” Tangannya terdengar menggaruk-garuk tembok bunker, seperti mencari jalan keluar yang tak mungkin ada.
Sarah mencoba menutup telinganya, berusaha memfokuskan pikirannya pada dzikir yang perlahan-lahan terhenti di sekelilingnya. Namun, semakin lama, semakin banyak suara yang mulai muncul—keluhan, tangisan, dan rasa putus asa mulai mengambil alih.
“Kita tidak bisa terus seperti ini…,” suara pria yang tadi marah di tengah dzikir kini terdengar lagi, kali ini lebih putus asa. “Jika kita tetap di sini, kita semua akan mati… kita harus melakukan sesuatu.”
Ulama yang tadi memimpin dzikir mencoba berbicara lagi, meski suaranya terdengar lebih lelah dari sebelumnya. “Sabar… sabar, saudaraku… ini ujian… jangan biarkan rasa takut mengalahkan iman kita…”
“Tapi kita manusia! Kita butuh makan! Kita butuh minum!” teriak pria itu. “Dzikir tidak akan menyelamatkan kita dari kelaparan!”
Suasana di dalam bunker kembali tegang. Orang-orang mulai bergerak di kegelapan, tubuh mereka yang lemah saling bertumbukan saat mereka mencoba mencari ruang lebih. Beberapa mencoba mendekati pintu bunker, berharap ada cara untuk keluar, tetapi kegelapan total membuat mereka tersandung dan terjatuh.
Sarah meraba-raba di sekitarnya, mencari seseorang yang bisa diajak bicara. Saat tangannya menyentuh lengan seseorang, dia segera berbisik, “Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa keluar, bukan?”
Orang di sebelahnya, seorang pria muda dengan suara gemetar, menjawab pelan, “Aku… aku tidak tahu. Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Bagaimana bisa kita terjebak di sini tanpa harapan?”
“Harapan belum hilang,” jawab ulama itu lagi, meski suaranya semakin pelan. “Ingatlah pada Allah. Cobaan ini akan berakhir jika kita bertahan dengan iman.”
Namun, semakin banyak orang yang mulai kehilangan harapan. Seseorang mencoba menendang pintu bunker, berusaha memecahkannya, tetapi tidak ada gunanya. Pintu itu terbuat dari baja tebal, dirancang untuk menahan segala bahaya di luar. Tindakan tersebut hanya memicu lebih banyak kepanikan.
“Kita akan kehabisan udara! Oksigen semakin tipis!” seru seseorang di ujung bunker, menambah kecemasan yang sudah tak terkendali. Suasana mulai kacau. Beberapa orang saling dorong dalam kegelapan, mencoba mencari tempat lebih dekat ke pintu, seolah-olah di sana ada sedikit lebih banyak udara.
Sarah mencoba berdiri, tubuhnya goyah karena lemas. Saat dia bergerak, dia merasakan kakinya menyandung seseorang yang tergeletak di lantai.
“Maaf, maaf…,” bisiknya cepat, takut telah menyakiti orang itu. Namun, tak ada jawaban. Jantungnya berdegup kencang. Apakah orang itu sudah tidak sadarkan diri?
Sarah melangkah mundur perlahan, mencari tempat untuk duduk kembali. Ketakutannya semakin membesar. Suasana di dalam bunker semakin terasa mencekam, dan dia tahu bahwa jika mereka tidak segera menemukan solusi, situasi ini akan berubah menjadi bencana.
Beberapa orang mulai mendekat ke arah ulama, mendengarkan lebih dekat meski kegelapan menyelimuti semuanya. Suara dzikir mulai terdengar lagi, meskipun jauh lebih lemah. Sarah mencoba mengikutinya, mengulang-ulang dalam hatinya kalimat-kalimat dzikir yang diajarkan ulama itu.
Namun, di tengah dzikir tersebut, suara-suara kepanikan masih mendominasi. Tangisan, erangan, dan keluhan terus bergema di sekelilingnya. Dan di luar, dunia tetap dalam kegelapan, tercekik oleh kabut tebal dan panas yang disebabkan oleh hantaman meteor.
Waktu seolah berhenti. Mereka semua terjebak di sini, di dalam bunker, tanpa bisa mengetahui apa yang terjadi di luar, tanpa bisa melihat cahaya matahari, tanpa bisa mendengar apa-apa selain suara putus asa dan kegelapan yang menyelimuti mereka.
5.4. Mengisi Kegelapan dengan Iman
Di tengah suasana yang semakin mencekam, ulama yang memimpin dzikir berdiri tegak di tengah bunker dengan penuh keyakinan. Suara erangan dan tangisan di sekelilingnya semakin keras, dan ulama tersebut merasa penting untuk memberikan arahan yang tegas.
Dengan suara penuh intensitas, ulama itu berteriak, “Kalian dzikirnya kurang sungguh-sungguh! Hati kalian perlu disucikan kembali!”
Kepanikan di bunker semakin meningkat, dengan beberapa orang yang merasa tersentak oleh teguran tersebut. Mereka merasa cemas dan berusaha menenangkan diri di tengah kegelapan yang mencekam.
“Tolong semua diam!” teriak ulama dengan suara menggelegar. “Ikuti saya baca syahadat dua kali! ‘Asyhadu an laa ilaaha illallaahu, wa asyhaduanna muhammadar rasuulullah!’”
Meskipun dalam kegelapan total, suara ulama memandu mereka untuk berdzikir. Sarah, yang duduk di sudut bunker, merasa gentar tetapi berusaha mengikuti instruksi ulama. Suara dzikir ulama semakin jelas di tengah kekacauan, dan semakin banyak orang yang bergabung dalam dzikir tersebut.
“Syahadat ini untuk memulai kembali iman kita yang mungkin sudah hilang terbawa emosi!” lanjut ulama itu dengan penuh keyakinan. “Sekarang, setelah membaca syahadat, duduklah dengan tenang! Ikuti saya baca dzikir ‘Subhanallah Walhamdulillah Wala Ilaha Illallah Wallahu Akbar!’”
Suara dzikir ulama mengisi kegelapan di bunker, menciptakan ritme yang memberikan rasa tenang di tengah kekacauan. Meskipun banyak orang masih merasakan ketidaknyamanan dan kelelahan, mereka berusaha mengikuti dzikir dengan sungguh-sungguh.
Sarah merasakan perubahan perlahan-lahan. Perutnya, yang tadinya terasa perih karena kelaparan, mulai terasa lebih nyaman. Meskipun rasa haus belum sepenuhnya hilang, dia merasakan perbaikan dalam pernapasannya. Hidungnya yang tadinya sesak kini terasa lebih lega, dan dia bisa menarik napas dengan lebih baik.
Seorang pria di dekat Sarah, yang merasa sedikit lebih baik, berbisik kepada ulama. “Sungguh ajaib, saya merasa sedikit lebih baik. Apakah ini yang disebut mukjizat?”
Ulama itu menjawab dengan lembut, “Ingatlah bahwa iman dan doa memiliki kekuatan besar. Allah yang Maha Kuasa mendengar setiap doa kita. Teruslah berdzikir, dan Insya Allah kita akan diberikan kekuatan untuk melewati cobaan ini.”
Dengan kesabaran dan dzikir yang terus berlanjut, suasana di dalam bunker perlahan mulai stabil. Perut yang tadinya sangat lapar sekarang terasa lebih terisi. Meskipun rasa lemas dan lesu masih ada, pernapasan yang tadinya sesak kini terasa lebih lega. Suara dzikir semakin membaur dengan hiruk-pikuk di dalam bunker, menciptakan sebuah ritme yang memberikan harapan di tengah kegelapan.
Namun, meskipun ada kemajuan kecil ini, kegelapan Dukhon yang menyelimuti dunia luar belum menunjukkan tanda-tanda akan segera berakhir. Di dalam bunker, mereka tahu bahwa perjuangan ini baru saja dimulai. Dengan iman yang terus dijaga dan dzikir yang terus dibaca, mereka berharap agar Allah memberikan mereka kekuatan dan jalan keluar dari bencana ini.
5.5. Dalam Kegelapan, Mencari Harapan
Di dalam bunker, suasana tetap mencekam. Meskipun dzikir telah memberikan sedikit kenyamanan, rasa lapar, haus, dan kelelahan masih menyelimuti setiap orang. Ketidakpastian dan keputusasaan terasa kuat di tengah kegelapan yang menyelimuti mereka.
Sarah, meraba-raba dalam kegelapan sambil berusaha mencari seseorang yang bisa dia ajak bicara untuk mengalihkan pikirannya dari rasa lapar yang menggerogoti perutnya. Setelah beberapa saat, dia menemukan Maria, seorang ibu muda yang tampaknya cemas.
“Maria?” Sarah memanggil sambil meraba-raba tangan Maria dalam gelap. “Bagaimana keadaan anak-anakmu?”
Maria menjawab dengan suara lemah, “Mereka masih tidur, tapi aku sangat khawatir. Mereka belum makan dalam waktu yang lama, dan aku takut mereka akan terbangun dalam keadaan lemah.”
Sarah merasa hatinya tergerak mendengar kekhawatiran Maria. “Kita semua merasakan hal yang sama. Rasa lapar dan haus menggerogoti kita, tetapi aku percaya bahwa dengan doa dan dzikir, kita bisa melewati ini. Ulama mengatakan bahwa Allah akan membantu kita jika kita bersungguh-sungguh dalam doa kita.”
Maria menghela napas, “Aku berharap begitu. Tapi, bagaimana kita bisa bertahan lebih lama lagi tanpa makanan atau air?”
Sarah meraba-raba tangan Maria dengan lembut, “Kita harus tetap kuat. Jika kita bersabar dan terus berdoa, mungkin ada jalan keluar dari situasi ini. Aku yakin Allah tidak akan meninggalkan kita dalam kesulitan ini.”
Di sisi lain bunker, beberapa pria mulai berkumpul dan berdiskusi tentang cara bertahan hidup. Ali, seorang pemuda yang sebelumnya tenang, memimpin diskusi dengan suara tegas, meskipun dalam kegelapan, mereka hanya bisa meraba dan mendengar.
“Kita perlu memikirkan cara untuk mengelola persediaan yang ada,” kata Ali. “Jika kita terus-menerus panik, kita tidak akan bisa berpikir jernih.”
Seorang pria lain, Hasan, menimpali, “Bagaimana jika kita memeriksa setiap sudut bunker? Mungkin ada persediaan yang belum kita temukan.”
Ali mengangguk dalam kegelapan, “Itu ide yang bagus. Tapi kita harus hati-hati. Kita tidak tahu apa yang ada di luar dan kita tidak bisa bergerak terlalu banyak karena keterbatasan ruang.”
Di sudut bunker, Ahmad, seorang pria tua yang sudah lelah, bergumam kepada dirinya sendiri. “Kegelapan ini terasa seperti ujian besar. Apakah kita akan bertahan hidup dan keluar dari sini?”
Aisha, seorang wanita yang mendengarnya, mencoba memberikan semangat dengan meraba-raba mendekati Ahmad. “Kita harus percaya bahwa ada harapan. Allah akan menunjukkan jalan jika kita tidak menyerah. Kita harus saling mendukung.”
Dengan setiap detik yang berlalu, kegelapan di bunker semakin mencekam. Meskipun rasa lapar dan kelelahan masih mendominasi, usaha untuk saling mendukung dan berdoa memberikan sedikit kenyamanan di tengah situasi yang sulit ini. Masing-masing orang berusaha sekuat tenaga untuk bertahan, berharap bahwa kegelapan ini akan segera berakhir.
Sementara itu, di luar bunker, debu dan asap masih menyelimuti bumi, dan kegelapan Dukhon terus menguasai langit. Para penghuni bunker hanya bisa menunggu dan berharap bahwa doa dan iman mereka akan membawa mereka keluar dari bencana ini.