Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 33
Karena sudah memiliki izin, Lia lantas menuliskan berita secara realita dan meminta agar redaksi papa-nya menerbitkan berita yang selain untuk membantu keluarga Raisa, ini juga akan memberikan keuntungan bagi tim mereka.
"Tapi kamu harus janji, ya Li. Jangan sebarkan berita kehamilan Raisa." pinta Tante Yanti terakhir sebelum kami menutup kesepakatan. Lia mengangguk pasti dan tidak ada keraguan sedikit pun.
Rabu kelabu, majalah dan koran She Tearch mulai dijual ke pasaran, surat kabar tentang hilangnya anak pengusaha terkenal hilang di awal kabut oleh seorang lelaki yang kemungkinannya anak dari seorang konglomerat yang selalu menumbangkan sebagian hartanya pada yayasan panti jompo. Ini sangat memalukan, bagaimana mungkin orang yang terkenal sedekahnya memiliki kemelut masalah keluarga yang sama sekali tidak baik. Meski sudah dituliskan hanya sebagai terduga, tapi masyarakat memang lekas tergiring opini membuat publik terus bereaksi lewat Instagram resmi miliki pak Handoko dan Bu Maya.
Jauh di sana seorang pria muda tersenyum simpul, ia puas dengan berita yang sedang viral. Tidak hanya di koran dan majalah, di sosial media juga bertebaran soal anak konglomerat membawa kabur anak gadis seorang pengusaha. Tidak diketahui motifnya namun saat ini berada dalam pencarian. Laki-laki tersebut puas dengan judul berita yang dibacanya.
POV : keluarga Dewa
Setelah tersebar luas, berita tentang dugaan anak bungsu Handoko membawa kabur seorang anak gadis yang dirawat di rumah sakit, nyonya besar ketar-ketir. Ia takut kelakuan cucunya membawa efek buruk bagi bisnis besar mereka.
"Tapi mana mungkin?" busuk nyonya besar membenak.
"Bu, kali ini aku Handoko minta tolong. Di mana Dewa berada, atau semuanya akan bertambah kacau."
Mendengar ucapan pak Handoko, nyonya besar kelimpungan. Ia berusaha terlihat tenang tapi sorot matanya menjelaskan bahwa ada sesuatu yang belum ia ungkap.
"Mana mungkin cucuku melakukan itu." Belanya dengan suara bergetar.
"Mana mungkin bagaiman, bukan kah keberadaan Dewa itu atas aturan ibu." desak pak Handoko.
"Maksud kamu apa Ko?" nyonya besar masih berpura-pura bodoh.
"Sejak kapan ibu bisa mengoperasikan android?" mendengar pertanyaan pak Handoko yang terkesan menekan dan memaksa pengakuan, perempuan yang berbobot g buh sekitar 75 kilo gram itu mulai bergetar, dengkulnya bergoyang. Apa lagi yang harus ia katakan untuk menyembunyikan kebusukannya.
"Atau Handoko lapor polisi saja sekalian. Sudah lah, Handoko pasrah jika memang harus hancur, mungkin sudah saatnya." nyonya besar yang serakah dan takut kekuasaannya hancur lebur akhirnya menahan pak Handoko.
"Jangan begitu Ko, tidak baik menyerapah. Ucapan adalah doa," katanya memohon.
"Kalau tidak mau, ayo akui Bu. Di mana anak sialan itu?" teriak pak Handoko sudah tidak tahan oleh sikap ibu mertuanya.
"Ibu, tidak tau. Benar-benar tidak tau." ia masih mempertahankan kebohongannya.
"Logikanya, Bu. Dewa itu cucuk kesayangan ibu, mana mungkin ibu masih bisa tenang setelah kepergian Dewa, kecuali ibu sendiri yang menyembunyikan dia. Bu, ini harga diri dia harus keluar untuk klarifikasi atau mengakui. Itu saja!" penuturan pak Handoko membungkam nenek berusia renta yang sangat menyayangi Dewa lebih dari cucu lainnya. "Ibu mau jujur sekarang atau aku yang mengiyakan pada wartawan kalau memang anakku lah yang membawa kabur anak pengusaha itu?!"
"Jangan, jangan Handoko. Ibu akan telepon Dewa sekarang juga untuk klarifikasi semuanya, ibu yakin orang yang menculik perempuan murahan itu bukan lah Dewa." ia bergegas membalikkan tubuh, diterima oleh asisten rumah yang selalu setia menemaninya, ia memberi kode agar asisten segera mengambilkan gawai pribadi di laci lemari hias di kamarnya. Asisten segera mengerti dan berjalan cepat agar suasana tidak semakin keruh.
Layar ponsel disentuh pelan, telepon. Disambungkan, dan Dewa mengangkat. Sengaja sudah di speaker oleh pak Handoko tadi. Bahkan nomor baru Dewa sana hanya nyonya besar yang tahu.
[Hallo nek, aku tadinya mau telepon. Bagaimana ini,,m tadi aku liat di IG, berita tentang kaburnya Raisa sudah menyebar. Aku tidak membawa perempuan murahan itu nek!" dengan bahasa yang sangat kasar, ucapan Dewa membuat pak Handoko semakin geram dan emosinya tidak stabil namun ditahan oleh Bu Maya. Ia diminta untuk tidak bicara sedikit pun nih ngga Dewa mengakui kesalahannya, kebetulan kakak kedua Dewa sudah memasang perekam di dekat handphone tersebut.
"Lantas di mana dia?" nyonya besar masih bertanya.
"Aku jujur nek, aku tidak tau, buat apa aku mengajaknya kabur kalau aku sendiri tidak siap menikah! Nek, tolong aku, aku tidak mau dituntut. Keluarga Raisa juga, buka orang sembarangan." rengek Dewa ketakutan.
"Pulang kau bodoh, aku harus bicara denganmu. Kalau tidak, aku pasrah bagaimana isi berita tentangmu itu!" teriak pak Handoko, ia sudah tidak bisa kontrol lagi, gawai yang dibawa nyonya besar langsung dicabutnya dari tangan kiri ibu mertua.
"Papa," suara kaget Dewa tak terelakkan.
"Pokoknya pulang, kalau tidak, akan kulaporkan ke polisi kau!" gertak pak Handoko sekali lagi.
"Tapi Dewa gak bawa Raisa pa, Dewa berani sumpah. Papa cari aja di sini kalau tidak percaya."
"Pokoknya pulang!" Dewa menciut, ia tidak bisa membantah lagi meski sebetulnya nyonya besar ingin melarang, tapi kemarahan pak Handoko tidak dapat ditolerir. Dewa segera menutup telepon, dia mulai kebingungan antara harus keluar dari persembunyian atau tetap berada di sana. Sekarang ia merasa seperti buah simalakama, keluar harus klarifikasi tapi akan ketahuan pihak Raisa, atau tetap sembunyi tapi dituduh membawa kabur Raisa.
"Perempuan itu sangat menyusahkan. Andai kemarin dia langsung mau aku ajak ke rumah sakit, mungkin kondisinya tidak akan serumit ini." ujarnya berbicara sendiri. Apa lagi sekarang ini pak Handoko sudah tahu bahwa ia disembunyikan oleh nyonya besar membuat dirinya tidak akan hidup tenang, pak Handoko juga tidak akan segan untuk memukul Dewa andai ia pulang ke rumah.
Setelah dihubungin papa-nya langsung, Dewa tidak lantas pulang, selama dua hari ini ia memikirkan secara matang dan penuh hati-hati, ia takut langkahnya justru menyelakainya. Ia tidak boleh gegabah, karena ini sudah berurusan langsung dengan Handoko, papa-nya sendiri, yang artinya keselamatan nyawanya belum tentu terjamin ketika nanti sampai ke rumah. Ia sadar didikan papa-nya sangat tegas dan kejam, setiap kesalahan akan ada konsekuensi atau hukuman yang setimpal, mungkin saja dalam kasus ini, nenek yang selalu ada di garda terdepan baginya tidak akan bisa menolong dan membela karena kemarahan pak Handoko sudah sangat memuncak dan tidak bisa diampuni. Jika memaksa entah kebutaan apa yang akan diperbuat oleh pak Handoko. Karena selain kecewa terhadap anak bungsunya, ia juga sakit hati atas kebohongan mertuanya.