menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33 : enaknya melibatkan allah
Suatu hari , aku bangun lebih awal dari biasanya. Hatiku dipenuhi rasa damai setelah semalam belajar sholat dengan Bu Sinta. Pagi itu, aku melihat kedua orang tua ku sudah berada di dapur, mereka sibuk menyiapkan bahan bakso untuk hari itu. Tapi, aku tahu bahwa bukan hanya bakso yang mereka siapkan; ada porsi khusus yang akan dibagikan secara gratis.
Sambil menatap punggung ayahku , aku memberanikan diri untuk bertanya, “ Ayah, kenapa sih kalian selalu bagi-bagi bakso gratis, terus kok bagi-bagi nya sebelum jualan, kenapa gak jualan dulu, terus sisanya baru di bagiin,?”
Mendengar pertanyaanku , Ayah dan Ibuku tersenyum lembut sambil mengaduk kuah bakso di panci besar. “Ehhh sayang, udah bangun. Bikin ayah kaget aja.
Biar nyantai aja sih jualannya , soalnya kalau sedekahnya di terakhirin, kadang ayah suka lupa buat sedekah. Kalau sedekahnya diawal kan enak, jadi jualannya juga bisa lebih leluasa dan ga ada beban .”
Kata-kata ayahku itu membuat aku merenung sejenak. Ayah dan ibuku menjelaskan dengan santai tapi syarat akan makna. Disaat aku menanggap bersedekah itu terkadang menjadi beban , orangtua ku malah sebaliknya. Aku pun mencoba mendekati ibuku, mencoba membantunya sebisaku, ibuku tersenyum padaku, senyuman hangat menusuk hatiku, kali ini entah kenapa senyuman ibuku begitu menyentuh hatiku. Setelah membantu sebentar, aku pun kembali ke kamar. Aku mengeluarkan buku Iqro yang diberikan oleh bu Sinta semalam, ku buka iqro tersebut lalu mulai baca halaman pertama . " Alif fathah A, Alif kasroh I, Alif dhomah U , A I U ."
Setiap kali aku membaca satu baris, air mataku menetes. Malu rasanya, disaat kedua orangtua ku taat dalam ibadahnya dan pandai dalam membaca al-qur'an , aku malah ga bisa sama sekali. Nyesel rasanya, andai saja dulu saat itu aku ga kabur bila diajak ngaji oleh kedua orangtua ku, mungkin aku bisa baca al-qur'an dengan lancar.
Aku pun berhenti sejenak, fikiranku mulai memikirkan perbuatan-perbuatan dosa yang ku lakukan dengan tanpa rasa malu. Aku beranjak dari tempat duduk ku, kulangkahkan kaki ku menuju kamar mandi, aku mencoba berwudhu seperti mana Bu Sinta ajarkan . Entah kenapa, saat aku membasuh wajahku, hatiku merasa damai, tenang . Sebuah perasaan yang menyentuh hatiku , seakan ada sesuatu yang datang padaku memberikan rasa aman dan pelukan penuh cinta. Perasaan yang sulit aku jelaskan.
Sejak Hari itu, aku mulai latihan sholat sendiri di kamar, berusaha mengikuti tata cara yang diajarkan oleh Bu Sinta. Meski terbata-bata, aku mencoba mengingat kembali setiap bacaan dan gerakan yang bu Sinta ajarkan sebelumnya. Setiap kali aku merasa kebingungan, Aku coba pejamkan mataku, membayangkan Bu Sinta membimbingku.
Malamnya, aku coba mengirim pesan pada Bu Sinta.
“Bu, hari ini Nurra coba sholat sendiri di rumah. Nurra belum berani sholat bareng ayah ibu , Nurra malu .
Oh iya bu,, tadi Nurra sedikit lupa gerakannya , Nurra pejamin mata buat inget-inget lagi ,, itu gimana ya bu? Boleh gak kalau seandainya tiba-tiba lupa gitu, Nurra pejamin mata kaya gitu ?." tulisku.
Tak lama, Bu Sinta membalas, “ Alhamdulillah, gpp kok , sholatnya tetep sah . Kalau kamu masih malu , gpp kok sholat sendirian, ibu juga dulu gitu kok . Malah ibu sampe kunci kamar ibu, saking malu nya kalau ketauan sama mamah papah. Semangat ya Ra, kalau ada apa-apa jangan sungkan tanya ke ibu yah.”
Aku pun tersenyum membaca jawaban dari bu Sinta, aku kemudian melihat kearah pintu, takut ayah ibuku melihat. Aku pun segera mengunci pintu kamarku kemudian kembali duduk membaca iqro , dilanjut buku panduan sholat dan membaca juz ama .
Setiap hari aku sering menyempatkan diri datang ke kantor Bu Sinta, setiap sore setelah kuliah, aku pasti mengunjungi Bu Sinta untuk belajar mengaji dan memahami dasar-dasar Islam. Setiap kali aku bertemu Bu Sinta, aku merasakan perasaan yang tenang dan hangat, seperti ada sesuatu yang mengalir di dalam hatiku.
Suatu sore, setelah menyelesaikan latihan membaca Al-Qur’an, Bu Sinta menatapku dengan senyum penuh makna. “Nurra, kamu tahu gak , kenapa ibu antusias banget saat kamu minta diajarin ngaji ."
Aku pun menggelengkan kepalaku sambil menatapnya.
"Itu karena ibu tuh sama kaya kamu . Dulu sampe Umur 24 tahun ibu ga bisa baca al-qur'an, sama sekali . Bener-bener ga bisa, waktu ibu sekolah dulu, setiap kali ada ujian baca al-qur'an , ibu pasti kabur saking takutnya, takut di ketawain . Makanya, begitu ibu liat kamu, ibu jadi inget lagi momen dimana ibu dulu .”
Mendengar ucapan Bu Sinta, entah kenapa hatiku bergetar, air mataku seakan menetes . Bu Sinta kala itu memelukku dengan hangat, perasaan yang sama seperti saat ibuku memeluk ku. Aku pun mendengarkan setiap kalimat yang ia sampaikan, apa yang Bu Sinta ucapkan membuat hatiku damai. “Makasih banyak ya bu, Nurra bahagia banget bisa ketemu Ibu, ngajarin Nurra ngaji , mau nemenin Nurra padahal ibu lagi sibuk kerja.”
Bu Sinta meraih tangan Nurra, menepuknya pelan. “Sama-sama sayang, ibu seneng bisa bantu kamu, kamu yang semangat yah, ga ada kata terlambat kok buat belajar, gausah buru-buru pengen langsung bisa dan lancar, kadang proses belajar itulah yang paling berharga, bukan hasilnya. Semoga kita bisa terus istiqamah yah.” ucap Bu Sinta sambil membelai kepalaku
Momen pelukan itu berhenti sejenak, suara adzan maghrib terdengar dari masjid terdekat. Kami saling menatap, lalu saling tersenyum seaakan mengerti apa yang harus dilakukan, kami pun segera bersiap untuk sholat maghrib bersama.
Usai sholat, suasana tenang memenuhi hatiku. Aku merasa seperti menemukan kedamaian yang selama ini tak pernah aku rasakan. Seusai berdoa, aku menoleh ke arah Bu Sinta.
“Bu, apa Nurra boleh terus nemuin ibu kesini ?” tanyaku sambil menatapnya.
Bu Sinta tersenyum lembut. “ Boleh dong sayang, kapan pun kamu ada waktu, kamu boleh temui ibu, kalau perlu ibu yang kerumah buat temani kamu belajar. Ibu ingin Setiap orang bisa merasakan kasih sayang Allah sama seperti yang ibu rasakan, lagian nih yah, kalau hitung hitungan matematika, seandainya ibu meninggal nanti, ibu ga mungkin bisa masuk syurga karena pahala ibu, dosa ibu sama kebaikan yang ibu lakuin itu ga sebanding. Jadi satu-satu nya cara biar ibu lolos dari siksaan api neraka, ya cuma ngarepin kasih sayang allah . Ibu berharap, apa yang ibu ajarin ke kamu bisa jadi pertimbangan allah buat ga masukin ibu ke neraka..hihihiiii , buat ibu sih, yang terpenting gimana caranya ibu bisa bermanfaat buat orang lain, itu aja. Bisa liat orang lain bahagia, itu sudah cukup bikin ibu bahagia.”
Mendengar ucapan Bu Sinta, aku mulai teringat dengan semua yang di lakukan kedua orangtua ku. Aku baru mengerti, rupanya ayah dan ibuku sedang menjalankan sekaligus mengajarkan aku tentang nilai-nilai keislaman tanpa membawa nama-nama agama. Cara ayahku mengajarkan keislaman rupanya sangat halus membuat aku tak sadar bila apa yang ayah dan ibuku lakukan ternyata penuh dengan syarat nilai-nilai keislaman. Aku pun kembali menangis, aku baru menyadari bila orangtua ku sebetulnya sedang mengajariku secara perlahan.
Malam itu, aku pulang dengan perasaan yang berbeda. Ada rasa kagum yang mendalam kepada Bu Sinta, sosok yang sabar dan penuh kasih dalam setiap langkah hidupnya. Di perjalanan pulang, aku berjanji pada diriku sendiri, aku ingin menjadi seperti Bu Sinta dan juga kedua orangtua ku orang yang bisa memberi manfaat dan kasih sayang kepada orang lain tanpa harus menyakiti apalagi menggurui.
Hari demi hari, kehidupanku pun mulai berubah. Aku semakin rutin melaksanakan sholat dan mencoba menerapkan nilai-nilai Islam dalam keseharianku. Setiap pagi sebelum kuliah, aku menyempatkan diri buat bantu kedua orang tuaku menyiapkan bakso yang akan dibagikan. Aku semakin sadar bahwa ternyata perbuatan sederhana seperti ini adalah bentuk ibadah, bentuk kasih sayang yang ingin ia bagikan kepada dunia sekaligus meneruskan jejak sosok idolanya yang sudah lebih dulu mencontohkannya disaat beliau masih hidup.
Di suatu pagi, sekitar pukul 03.10 , aku terbangun untuk mengambil air minum, tanpa sengaja aku melihat orang tua ku sedang duduk di ruangan khusus, bermunajat pada Allah. Diam-diam aku coba mendekat, mengamati wajah-wajah teduh orang tuanya. Suara lirih doa mereka mengalirkan ketenangan ke dalam hatinya.
Ketika ayah dan ibuku selesai, ibuku menoleh dan melihatku berdiri di ambang pintu. Ibuku tersenyum lembut, memanggilku. “ Kok ngintip, kepo yah, sini-sini, dudu di sini sama ibu.”
Tanpa ragu, aku pun melangkah masuk, duduk di samping ibuku. Malam itu, untuk pertama kalinya, kami bertiga duduk bersama dalam hening, berdoa dan merasakan kehadiran Allah di tengah keluarga mereka. Meski hanya duduk tanpa berkata-kata, aku merasakan kehangatan yang yang berbeda, rasa nyaman yang belum pernah aku rasakan selama aku tinggal bareng kedua orangtua ku. Saat itu entah kenapa, aku jadi semakin yakin bahwa hidup melibatkan allah adalah pilihan yang tepat.
Seiring berjalannya waktu, aku tak hanya belajar dari Bu Sinta , aku juga coba memberanikan diri belajar pada ayah dan ibuku, aku mulai menemukan arti kehidupan yang lebih dalam. Perjalananku mencari jalan pertaubatan ternyata disambut dengan hangat dan lembut, jalan yang ku tempuh sangatlah mudah , seakan allah hadir langsung di dalam hatiku untuk membimbingku jadi lebih baik lagi ,kini aku mulai menemukan sesuatu yang sangat berharga dihidupku.