Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Hanya Milikku
"Zalina ...."
Sean menghela napas panjang, hingga selesai memotong kuku kakinya sang istri masih diam membisu. Mulutnya sudah berbusa mengucapkan kata maaf, tapi masih tetap dianggap tidak ada oleh Zalina hingga pria itu merebut paksa potongan kuku yang selalu menjadi alat untuk mengabaikan Sean.
"Balikin, kuku kelingkingnya belum rapi."
Tanpa menatap, bibirnya masih maju seperti tadi dengan suara dingin yang membuat Sean tertampar berkali-kali. Jiwa Sean yang terbiasa membuat masalah tanpa sadar melempar pemotong kuku itu ke kolong meja rias Zalina. Cukup jauh memang, dan hal itu sontak membuat Zalina semakin kesal dan beranjak dari tempat tidur meninggalkan Sean yang kini masih menatapnya.
"Mau kemana? Kita belum selesai bicara, Na."
"Apa? Mas cukup renungi kesalahannya apa, jangan banyak tanya!!"
Istrinya tetap tidak peduli, Sean pikir sang istri menjauh hanya untuk mengambil pemotong kuku yang telanjur Sean lempar ke kolong meja itu. Nyatanya, Zalina justru keluar kamar hingga Sean beranjak dan mengikuti langkah sang istri, bahaya jika sampai Mina tahu keduanya cekcok hanya karena masalah sepele.
"Zalina kembali!!"
Nyatanya kesabaran Sean masih seperti dahulu, tipis. Melihat Zalina terus mengabaikannya dan kini hendak menuruni anak tangga, pria itu berlari dan membawa paksa Zalina masuk ke kamar.
Sempat berteriak, Zalina terkejut kala tangan kekar Sean melingkar di pinggangnya. Mungkin Mina mendengar suaranya yang semakin panik kala Sean justru membawanya bak karung beras.
Tiba di kamar, tanpa pikir panjang Sean menghempaskan tubuh Zalina ke atas ranjang. Pertama kali pria itu melakukan hal demikian, Zalina yang tadi sempat kesal mendadak bergetar kala Sean menarik pergelangan kakinya hingga posisinya pas di tengah-tengah.
"Mas jangan macam-macam ya ... aku bisa mengadukan perbuatan Mas barusan ke Abi dan mas Agam."
"Adukan saja, mereka pasti membelaku. Kau lupa apa yang abi katakan sebelum melepas kita berdua? Zalina, apapun masalah kalian selesaikan secara terbuka dan cukup berdua, jangan sampai orang lain mengetahui masalah kalian, termasuk Abi sekalipun ... lupa?"
Dia bicara santai sekali, Sean merangkak naik ke atas tempat tidur hingga membuat Zalina mulai was-was dan menutup kakinya rapat-rapat. Menjadi teman tidur Sean berbulan-bulan jelas paham makna tatapannya, tatapan penuh damba yang selalu Sean tujukan padanya sebelum melakukan penyatuan.
"Sayang sudah selesai?"
Selesai? Pertanyaan Sean sungguh membuat hatinya bengkak. Marah saja belum usai dan dia sudah bertanya lain hal. Meski tahu sama sekali tidak akan bisa menghindar, Zalina masih memilih bungkam dan mengabaikan Sean yang mulai mengecup lehernya.
"Diam berarti iya, sudah, 'kan?"
"Belum," jawab Zalina yang membuat Sean kini menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Zalina.
"Belum juga? Kenapa lama sekali, Na?"
"Mas, aku masih marah ... bisa-bisanya kamu begini? Habis bentak-bentak aku setelahnya kamu begini. Jangan egois jadi suami, bukan cuma Mas yang bisa mar_ aaah." Celotehan Zalina terhenti kala jemari Sean menelusup lapangan tempurnya, entah kapan Sean memulai hingga tanpa sadar tangan Sean sudah bergerak sejauh itu.
"Bentak? Mas tidak pernah membentakmu, mas begitu karena khawatir, Na ... Zean dulu pernah patah kaki karena kecelakaan lalu lintas, salah jika khawatir sama istri sendiri? Tidak, 'kan?" tanya Sean menatap lekat wajah Zalina yang kini tengah berusaha menahan agar desa-han kedua kali tidak lolos dari bibirnya.
"Ta-tapi tadi Mas ben ... bentak, kalau tidak bentak kenapa suaranya naik satu oktaf," ucap Zalina bergetar dan menahan tangan Sean agar sejenak menyingkir dari bawah perutnya.
"Maaf, mas khilaf, Na."
Zalina memang tidak sekuat itu dengan sentuhan Sean. Sekalipun dia mencoba agar pria itu berhenti, tapi tubuhnya seolah berkhianat dan menunggu Sean berbuat lebih dalam lagi.
"Kenapa jadi gampangan begini, tolak, Zalina tolak!!"
Zalina tengah mengutuk dirinya sendiri yang bahkan tidak mampu menolak ketika Sean melahap bibirnya dengan serius. Luma-tan penuh tuntutan dengan harapan Zalina akan membalas terus Sean berikan hingga napasnya tersengal.
"Sudah selesai, 'kan? Jangan jawab belum, mas sudah membuktikannya," bisik Sean usai mengakhiri pagutannya, senyum tipis terlihat begitu nyata di wajah tampan Sean yang kini tengah berkuasa di atas tubuhnya.
Anggukan Zalina adalah lampu hijau dari istrinya. Jelas Sean tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk segera mengeksekusi sang istri. Hampir sepuluh hari dia puasa, mana mungkin Sean sanggup menunggu hingga selepas Isya.
Bercinta usai pertengkaran memang lebih menantang, meski istrinya tetap cemberut, Sean sama sekali tidak peduli. Akhirnya juga Zalina mende-sah dengan hentakan pelan yang dia berikan.
Awalnya niat Sean tidak begini, tapi karena sebal akibat Zalina abaikan bahkan mengancam akan mengadu, pria itu memilih jalan pintas yang membuatnya tidak akan keluar dalam waktu dekat.
Bahaya jika terus marah dan diam bak tugu ibu kota, Sean tidak sekuat itu diabaikan. Lenguhan dan erangan kini menggantikan perdebatan dan permintan maaf Sean yang tadinya sedikit memanas.
Menyaksikan tubuh Zalina yang bergelinjang hebat adalah bagian favorit bagi Sean. Wajah istrinya yang memerah dan napas yang tersengal-sengal menunjukkan jika dia pemenang sesungguhnya.
"Kau jangan bermimpi, Irham ... dia benar-benar milikku sekarang."
Sean membatin sebelum kemudian membuat kepala Zalina menengadah ke atas kala kembali menghujam miliknya lebih dalam lagi. Hanya Sean yang akan merasakan bagaimana kehangatan lorong sempit itu memijat miliknya hingga menjalarkan panas ke ubun-ubun.
"Mas Sean."
"Iya, Sayang ... lepaskan lagi, aku hanya milikmu, Na."
Sean merengkuh erat tubuh Zalina yang kini terus menegang kala mencapai puncak kesekian kalinya. Semakin dia mengingat bagaimana Irham yang menguntit setiap hari, semakin Sean menggila di atas tubuh Zalina hingga di bibir sang istri hanya terucap namanya.
"Hanya aku yang bisa membuatmu bahagia, Zalina." Sean meracau sebelum kemudian tubuhnya ambruk di atas sang istri.
.
.
Keduanya saling menatap sesaat, Sean tertawa sumbang kala Zalina memutar bola matanya malas. Mungkin menyesal, tapi terserah Sean tidak begitu peduli.
"Sayang masih marah?" tanya Sean tersenyum tipis seraya mengusap bibir basah Zalina dengan ibu jari.
"Dasar licik." Zalina mencebikkan bibir seraya menatap kesal Sean yang kini tersenyum tanpa dosa.
"Masih? Kalau masih akan kuulang lagi ... pinggangku masih kuat dua jam ke-depan."
"Tadi katanya sakit, dasar pembohong."
"Ah iya, tapi tidak terlalu sakit sekarang ... sakit karena jarang bergerak, sepuluh hari tidak olahraga jadi sedikit kaku," jawabnya santai hingga membuat tangan Zalina mendarat sempurna di keningnya.
.
.
- To Be Continue -