Agnia merupakan anak keluarga kaya raya. Ia akan berencana akan menikah dengan kekasihnya namun tepat di hari pertunangannya, ia malah melihat kekasihnya bermain api dengan sahabatnya sendiri.
Ia pikir status dan derajat yang sama bakal membuat semuanya bahagia. Tapi, ternyata ia jatuh pada seseorang yang bahkan tidak pernah dia pikirkan sebelumnya....
"Kehormatan mu akan terganggu jika bersama pria seperti ku!"
"Apa pentingnya kehormatan jika tak mendatangkan kebahagiaan?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy Eng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Tak lagi bisa menutupi
"Ini, indah sekali!" gumam Agnia takjub. Betapa berkilau dan mengesankannya kalung itu.
Dengan perasaan yang masih terpukau, ia mengulurkan tangannya menyentuh kalung berlian bermata ungu itu lalu memperhatikannya dengan saksama.
Alih-alih turut terpesona pada barang tersebut, Airlangga malah fokus pada ekspresi Agnia yang sudah berubah. Perempuan itu ternyata memiliki senyum yang manis jika dilihat dari dekat. Dan dia, entah mengapa seperti bisa menangkap satu kelegaan kala melihatnya.
"Sepertinya dia sudah tidak sedih lagi."
Lama Airlangga memandang wajah Agnia. Ini adalah kali pertama Airlangga memberikan penilaian lain. Tapi ia buru-buru menggelengkan kepalanya guna menggugurkan pemikiran yang tidak seharusnya itu.
"Emmm, bisa kau kembalikan kotaknya agar tidak berantakan?" ucap Agnia yang bertepatan dengan kesadaran Airlangga yang sudah kembali.
Airlangga mengangguk.
"Tentu."
Agnia sejurus kemudian berjalan menuju sebuah ruangan yang lebih terang agar bis melihat detailnya secara lebih jelas. Ia lalu membaca sebuah kertas yang memuat keterangan yang ada di sana.
Di sana tertulis benda itu merupakan berlian dengan jenis batu permata ungu yang bernama Amethyst. Batu permata ungu memiliki kisaran harga dan kualitas yang luas, tetapi umumnya dianggap memiliki nilai yang lebih tinggi daripada warna lain karena kelangkaannya.
"Kenapa benda berharga semacam itu di simpan di sini?" Airlangga bertanya setelah ia kembali.
Agnia menoleh ketika suara itu terdengar dekat. "Aku juga tidak tahu. Ayahku sudah memberitahukan ini dari dulu, tapi aku saja yang nggak ngeh. Ternyata..." tersenyum sumbang, " Ada banyak hal yang tidak aku ketahui."
Airlangga tak sengaja menatap batu berwarna ungu yang sangat indah itu. Segala yang melekat pada Agnia sungguh tidak remeh. Definisi dari orang kaya yang sebenarnya.
Dari yang semula karena hanya ingin berterimakasih sebab sudah di bayar mahal, kini Airlangga jadi kasihan betul dengan perempuan itu.
Malam harinya, Jovan berpesta bersama teman-temannya. Visya yang malam itu akan melakukan sebuah rencana sengaja merekam adegan panas mereka dan berniat mengirimkannya ke Agnia.
Tubuh tanpa balutan busana itu bergerak dan membuat keduanya bersimbah peluh. Tak hanya itu, Visya juga semakin mendramatisir kegiatan ranjang mereka agar membuat segala sesuatunya lebih menyenangkan.
"Kau lihat saja Agnia. Apa kau masih bisa berpura-pura setelah ini!"
***
Di Villa
Tengah malam, saat Agnia hendak kembali ke kamar sehabis dari dapur, ponselnya tiba-tiba bergetar. Siapa itu, padahal ia tak mengaktifkan nomor ponselnya. Rupanya itu notifikasi aplikasi chat logo kuning.
"Siapa ini? Akunnya baru!" ia bergumam sembari melihat nama asing di sana.
Tak mau ambil pusing, Agnia lalu menekan nama itu.
"Apa ini?"
Ia membuka tanda panah play lalu seketika terbelalak lah matanya demi melihat video menjijikkan yang mempertontonkan dua orang yang ia kenali.
Dadanya tiba-tiba terasa berdenyut dan jantungnya memompa lebih cepat. Seharusnya ia tak kaget apalagi shock. Namun nyatanya reaksi yang terjadi tak bisa ia tangkal. Tangannya bahkan menjadi tak kuasa hanya untuk sekedar menggenggam ponselnya. Benda pipih berharga tak murah itu jatuh bersamaan dengan sang pemilik yang kini beringsut.
Ia sudah tahu jika Jovan dan Visya berkhianat padanya. Ia juga sudah tahu kalau mereka berdua bukanlah orang baik. Tapi melihat hal itu, sungguh tak ia bayangkan bakal mengganggunya sedemikian sakit.
Airlangga yang kebetulan lewat usai dari menelpon seseorang terkejut saat mendengar isakan. Ia berlari dan melihat ponsel yang tergeletak di lantai.
"Agnia!"
Airlangga berteriak berlari ke arah Agnia yang kini menangis.
"Ada apa?" tanya Airlangga panik.
Agnia hanya mampu menunjuk ke arah ponselnya. Melihat benda itu, ia mengambil lalu seketika mengumpat sebelum akhirnya mematikan rekaman menjijikkan itu.
"Kenapa kau harus menangis. Sadarlah, ayo jangan begini!" Airlangga mencoba membangunkan Agnia yang kini tampak tak berdaya.
"Bagiamana aku harus bersikap sekarang? Mustahil aku terus bersikap seperti ini? Kenapa aku harus pernah mencintaimu laki-laki seperti dia!"
Airlangga terpaksa memeluk Agnia yang jelas saat ini butuh seseorang untuk meluapkan kesedihan. Tubuh Agnia yang bergetar hebat dapat Airlangga rasakan begitu memilukan . Ia tahu bagaimana perasaan seorang Agnia.
"Menangis lah. Itu akan membuat mu lega!" ucap laki-laki tampan itu sembari akhirnya mengusap punggung Agnia karena rasa kasihan.
Agnia yang mendengar hal itu lantas mendongak. Ia lalu meraba pipi Airlangga dengan air mata berlinang. "Haruskah, aku juga membalas mereka sekarang? Maukah kau melakukan hal itu denganku?"
Airlangga terkejut mendengar perkataan ngawur Agnia. Wanita payah ini sungguh terlihat putus asa dan malah mau menjadikannya alat?
"Kau sedang emosi. Jangan mengatakan apapun saat emosi!"
"Kenapa, apa aku tidak menarik? Kau tidak berselera dengan ku?"
Airlangga mendecak karena bisa-bisanya Agnia malah mengajaknya ribut.
"Aku di bayar untuk mengamankan mu. Bukan untuk hal lain!"
"Aku bisa membayar berapapun yang kau mau!"
Maka Airlangga terdiam. Agnia juga terdiam. Mereka berdua terdiam dengan mata yang saling menatap. Tak tersirat makna apapun selain makna ketidakberdayaan dari sorot mata Agnia yang terpancar jelas.
Ia tahu, Agnia pasti sedang terbakar api kemarahan. Oleh karena itu ucapannya terlalu ngawur untuk di dengar. Dan Airlangga sebaiknya memang haruslah cukup menjadi diam.
"Jangan lemah Agnia. Kita belum mengambil buku itu!"
"Kau benar!" Agnia seketika seperti teringat dengan satu hal. "Aku tidak bisa lagi berpura-pura Airlangga. Kita harus secepatnya menemukan buku itu. Kau harus mengambilnya!"
Dini hari itu juga, entah mengapa saat melihat Agnia yang menangis pilu membuat Airlangga seperti terbakar. Ia melesatkan mobilnya menuju kediaman Jovan saat ia yakin jika pria itu pasti masih dan sedang enak-enak dengan selingkuhannya itu.
Ia sudah menugaskan beberapa orang di villa untuk berjaga, dan meminta Zidan untuk ikut dengannya. Sebenarnya, sejak ia tahu jika brankas Jovan di kunci dengan sandi jari, ia sudah mengupayakan membuat sebuah alat untuk membuka benda itu.
Jangan di tanya seberapa cerdas seorang Airlangga. Ia bukanlah orang yang bisa di anggap sepele.
Saat berada di hotel beberapa waktu lalu, ia berhasil memindai sidik jari Jovan dari sendok yang sempat pria itu gunakan. Zidan dengan cepat meretas semua cctv. Ia berpacu dengan waktu. Jangan sampai matahari terbit sebelum mereka menyelesaikan tugas ini.
Ada banyak pembantu yang riwa-riwi di jam semalam itu. Dan sialnya Airlangga tak sengaja melihat dua orang yang sepertinya merupak pekerja di sana asyik menggenjot satu sama lain.
"Rumah ini sungguh terkutuk. Pembantu dan majikan sungguh tidak ada bedanya!" gumamnya usai mengumpat dan membuka Zidan ingin tertawa.
Mereka mengendap-endap dan masuk. Beberapa waktu kemudian, mereka tiba di depan brankas yang tempo hari sudah Airlangga satroni. Dengan cermat dan hati-hati, Airlangga yang di bantu Zidan menempelkan sebuah alat yang sudah mereka rancang sedemikan rupa.
Dan usai menempelkannya,
TIT!
Pintu itu terbuka. Keduanya saling menatap dan tersenyum senang. Tapi sejurus kemudian,
CEKLEK!