Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Zahra dan Farid terdiam di kursi tunggu pasien. Pikiran mereka kalut. Bagaimana tidak, anak dan ibu mereka mengalami musibah di hari itu semua.
Jika pikiran Zahra kosong, berbeda dengan Farid yang justru masih saja menyalahkan Nur. Menurutnya jika tidak karena sang istri yang pergi dan membuatnya kepikiran semua mungkin tidak terjadi.
Entah dari mana lelaki itu menyambungkan kasus kecelakaan anak dan orang tuanya dengan masalah Nur.
Namun karena Farid memang tak menyukai Nur, jadilah dirinya memerlukan kambing hitam untuk disalahkan.
"Bu Wati ini lucu, kemarin marah-marah sama kakaknya mbak Zahra gara-gara Cici jatuh, padahal selama ini dia yang kalau jagain cucunya enggak pernah benar," ucap salah satu tetangga mereka yang masih bisa didengar oleh Zahra dan Farid.
"Iya. Terus tau enggak? Kemarin kakaknya mbak Zahra tuh sampai difitnah sama si Lina. Mungkin itu akhinya kakaknya mbak Zahra pergi."
"Eh ... Denger ngga bu, Mbak Lina itu kan jatuh di kamar mandi abis itu, kata tetangganya, mbak Lina ampe meraung-raung minta maaf sambil nyebut kakaknya mbak Zahra, katanya dia ngerasa kena karma karena mau nerima sogokan dari bu Wati supaya mau fitnah kakaknya mbak Zahra. Ih ngeri ya."
Meski ketiga wanita itu berbicara dengan sedikit berbisik, tapi masih terdengar oleh Zahra dan Farid.
Betapa terkejutnya Zahra saat tahu kalau demi bisa mengusir sang kakak dari rumahnya, ibu mertuanya bahkan bisa melakukan hak keji itu pada sang kakak.
Zahra sampai merinding dengan apa yang keluarganya lakukan pada sang kakak.
"Sepertinya Bu Wati kena azab sama kaya yang bu Lina katakan waktu itu, makanya sekarang mereka kan ngga temenan lagi, karena Bu Lina pernah ngomong gitu ke Bu Wati."
Merasa ucapan ibu-ibu itu semakin jauh menjelekkan nama sang ibu, Farid lantas bangkit berdiri.
Dia hendak menegur para ibu-ibu yang telah membantu anak dan ibunya.
"Maaf ya bu, tolong jangan memfitnah ibu saya. Ibu saya bukan orang seperti itu—"
"Alah mas, emang kenyataannya kaya gitu! Nih mas lihat video saat Bu Lina sama Bu Wati berantem!"
Salah satu dari mereka lantas memberikan ponselnya yang berisi rekaman pertengkaran Wati dengan Lina.
Disana wanita yang umurnya jauh lebih muda dari Wati itu melempar uang kearah wajah wati sambil mengatakan jika dirinya ingin bertemu dengan Nur dan meminta maaf.
Namun Wati menolak dan mengancam Lina agar tak macam-macam. Apalagi memberitahu anak dan menantunya.
Zahra yang tadi ikut menonton kembali jatuh terduduk dengan lemas.
Farid sendiri menggeleng tak percaya. Meski dirinya tahu kalau sang ibu tak menyukai kakak iparnya, yang dia pikirkan adalah sekarang nama baik ibu dan keluarganya bisa tercoreng karena video itu.
"Ini pasti mengada-ngada. Jangan fitnah!"
"Mas-mas udah dikasih bukti masih aja ngelak. Mungkin ini balasan buat Bu Wati. Maaf ya mas, bu Wati itu bahkan sering jelek-jelekin mbak Zahra dan kakanya, jadinya kena tulah tuh!"
"Cukup! Sebaiknya kalian semua pergi!" usir Farid tak terima.
"Yeee ... Udah di tolongin bukannya terima kasih malah marah. Ingat mas, nasehatin ibunya. Coba suruh tobat dan minta maaf!"
Merasa kesal karena diusir oleh Farid mereka semua memilih berlalu dan hanya berpamitan pada zahra.
"Dasar, ibu-ibu tukang gosip! Biar busuk mulut mereka," maki Farid kesal.
Zahra tak punya tenaga untuk membalas ucapan sang suami.
Yang ada dipikirannya saat ini hanya, apa yang terjadi kini mungkin adalah teguran atau bahkan mungkin balasan atas apa yang dia lakukan terhadap sang kakak.
Zahra tak menampik dirinya bahkan sempat kesal dan kecewa karena sang kakak menyebabkan putrinya cedera.
.
.
Bety tersenyum lebar kala menemui Yanti saat membawa Nur kembali.
"Saya tepat janji kan Bu? Nah, mbak Nur bisa melanjutkan pekerjaannya sekarang."
"Lama amat sih! Untung aja suami saya pulang malam hari ini. Kamu selesaikan pekerjaan rumah sampai jam sembilan. Kerjakan dengan cepat, saya mau keluar, jaga rumah baik-baik. Awas jangan mencuri!" ancamnya.
"Wah Bu Rw mau shopping y?" tanya Bety mencari muka.
"Iya dong, suami saya minta saya belanja sekaligus ke salon, memangnya kamu! Makanya cari suami tuh yang punya pekerjaan enak, biar bisa jadi ratu," balas Yanti yang jutru menghina Bety.
Bety merasa menyesal karena telah bertanya, jika tahu akan mendapat balasan seperti ini, lebih baik dirinya pulang saja sejak tadi.
Nur mengerjakan pekerjaan rumah Yanti seperti biasa. Kini rumah itu tampak sedikit lebih baik. Selama bekerja beberapa hari, Nur tidak pernah melihat anggota keluarga Yanti.
Entah itu suami atau anak mereka. Lagi pula tak ada satu foto pun di rumah itu, jadi Nur tak tahu setampan apa suami Yanti hingga wanita gempal itu selalu memuji suaminya setinggi langit.
Perasaan Nur mendadak tak enak. Ingin menghubungi kedua anaknya tapi nomornya masih tidak aktif. Entah dirinya yang diblokir atau mereka mengganti nomor telepon.
Dia hanya berdoa semoga keluarganya baik-baik saja.
Karena pikiran Nur sedang tak fokus, dia tak menyadari jika ada seseorang yang menatapnya dengan lekat dari arah pintu penghubung dapur.
Nur lantas berlalu menuju ruang menyetrika dan masih tak menyadari keberadaan orang itu.
Higga saat Nur akan berbalik, betapa terkejutnya dia saat melihat seorang pria paruh baya dengan perut buncit dan kepala bagian depan yang hampir botak berdiri menatapnya dengan lekat.
Bukan itu saja yang membuat wajah Nur pias, tapi tatapan lapar lelaki itu padanya jelas membuat dirinya ketakutan.
"Akhirnya aku bisa lihat kamu juga, sejak kemarin aku selalu penasaran sama kamu manis."
Lelaki itu menatap Nur dari ujung kepala hingga ujung kaki. Bahkan seperti anjing kelaparan, lelaki itu seperti meneguk liurnya sendiri.
"Agak kumel, tapi ngga papa," ucapnya menilai.
Nur makin beringsut ke tembok. Sungguh dia ingin berteriak saat itu, tapi entah kenapa lidahnya kelu. Meski bukan seorang gadis, menghadapi kejadian yang akan melecehkan dirinya jelas saja Nur merasa ngeri.
"Si-siapa Anda? Jangan masuk sembarangan!" ucap Nur dengan suara bergetar.
Lelaki itu justru menyeringai dan membuatnya semakin mengerikan.
"Ayo manis, kudengar kamu seorang janda! Pasti kamu sangat merindukan sentuhan lelaki bukan? Tenang saja, kalau kamu mampu memuaskanku akan aku berikan apa pun yang kamu mau. Hanya saja—" ucap lelaki itu terpotong sembari mendekati Nur yang sudah terpojok.
"Pergi! Tolong jangan ganggu saya. Kalau enggak, saya akan berteriak!" ancam Nur.
Lelaki itu tak terpengaruh, saat Nur bersiap hendak berteriak, tiba-tiba saja lelaki itu membekap mulutnya.
Nur memberontak, semakin Nur memberontak lelaki itu semakin beringas. Dia mengoyak kaus Nur hingga sobek.
Air mata Nur berderai. Sekuat tenaga dirinya melawan tapi tetap kalah tenaga. Hingga akhirnya suara pekikan dari arah pintu membuat kejadian buruk yang hampir menimpanya terhenti seketika.
.
.
.
Lanjut