Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tantangan Tidur Siang
Misi Rahasia Dimulai
Siang itu, matahari bersinar terik di atas atap SD Harapan Jaya. Suasana kelas 5B terasa lesu setelah sesi olahraga yang melelahkan. Keringat yang mengalir deras dan panas yang menyengat membuat murid-murid merasa mengantuk, termasuk Tomo, Arif, dan Lina. Sinar matahari yang menembus jendela kelas mereka hampir terasa membakar, seolah menuntun mereka untuk segera mencari tempat teduh dan tidur siang.
“Gila, panas banget ya,” keluh Tomo sambil mengelap keningnya yang dipenuhi keringat. Dia melihat ke arah papan tulis yang dipenuhi catatan pelajaran IPA yang baru saja ditulis Bu Murni. Huruf-huruf itu mulai terlihat kabur, seolah ingin menari-nari di depan matanya. “Ini kayaknya matahari mau bikin kita jadi daging panggang.”
Arif tertawa pelan, meskipun matanya terlihat setengah tertutup. “Kayaknya otak gue udah meleleh karena panas. Coba aja kita boleh tidur siang di sini, pasti enak banget.”
Tomo mengangguk setuju. "Bayangin aja, tidur di kelas dengan angin sepoi-sepoi dari kipas angin yang muter pelan-pelan. Itu surga."
Lina, yang duduk di depan mereka, mendengar obrolan itu dan ikut bersuara tanpa menoleh. “Eh, tidur di kelas? Ya kalau kita bisa jadi ninja, mungkin kita bisa tidur tanpa ketahuan Bu Murni.”
Mata Tomo dan Arif langsung berbinar. "Jadi ninja? Itu ide yang bagus!" seru Tomo sambil menyeringai.
“Tapi gimana caranya?” bisik Arif sambil menoleh ke belakang, memastikan Bu Murni tidak memperhatikan mereka. “Kita butuh rencana yang sempurna. Kalo ketahuan, bisa-bisa kita disuruh lari keliling lapangan lima kali!”
Lina menoleh dengan senyum licik di wajahnya. “Percaya deh sama aku. Kita cuma perlu sedikit keberanian dan strategi. Lagipula, aku yakin Bu Murni nggak bakal ngeh kalau kita bertindak dengan diam-diam.”
Dan dengan itu, mereka bertiga mulai menyusun rencana tidur siang diam-diam. Misi yang tampak sederhana ini tiba-tiba berubah menjadi tantangan tersendiri, dan mereka bertekad untuk melaksanakannya tanpa tertangkap basah.
Strategi Tidur Ninja
Rencana pertama mereka adalah menyamarkan tidur mereka sebagai aktivitas belajar. Mereka akan membuka buku pelajaran, tetapi bukan untuk membaca, melainkan sebagai pelindung agar mereka bisa tidur di baliknya. Tomo menjadi pelopor rencana ini. Dia membuka buku IPA tebal di halaman yang tidak terlalu menarik, lalu memiringkan buku tersebut agar wajahnya tertutup.
“Santai aja, pura-pura serius,” bisik Tomo pada Arif sambil menutup matanya perlahan.
Arif mengikuti jejak Tomo, tetapi karena buku IPA-nya tidak cukup besar untuk menutupi wajahnya, dia memutuskan untuk menumpuk buku-buku lain di atas meja, menciptakan benteng mini untuk menyembunyikan dirinya dari pandangan Bu Murni.
Lina memilih taktik yang sedikit berbeda. Dia menundukkan kepalanya di atas buku catatan, berpura-pura menulis, padahal dia sebenarnya sedang menutup mata. Pensil di tangannya bergerak lamban seolah dia sedang membuat catatan, namun nyatanya dia sedang menahan rasa kantuk yang makin mendalam.
Mereka semua mulai merasa nyaman dalam posisi masing-masing. Tomo mulai terhanyut dalam kantuk, mendengar suara guratan kapur Bu Murni di papan tulis yang perlahan-lahan terdengar seperti alunan musik yang meninabobokan. Arif, di sisi lain, mulai terdengar mendengkur pelan di balik bukunya.
Namun, kedamaian itu tidak bertahan lama. Suara sepatu yang keras tiba-tiba terdengar semakin dekat. Tomo yang hampir terlelap, segera terbangun dalam keadaan setengah sadar. Dia melirik ke arah Bu Murni yang sedang mendekat ke arah mereka dengan langkah cepat.
“Arif, Tomo, Lina! Kalian tidur ya di balik buku?!” suara Bu Murni yang tegas membuat jantung mereka berdetak kencang.
Tomo terlonjak dan langsung duduk tegak, wajahnya memerah. Arif juga terbangun dengan kaget, kepalanya yang bersandar pada buku jatuh ke meja dengan suara pelan. Lina mencoba menyembunyikan kantuknya, tapi matanya yang sedikit merah mengkhianati usahanya.
“Kami nggak tidur kok, Bu,” sahut Tomo dengan suara gemetar. “Kami cuma... lagi baca.”
Bu Murni menggeleng-gelengkan kepala. “Hati-hati ya, saya tahu kalian pasti ngantuk, tapi ini waktu belajar. Nggak boleh tidur di kelas.”
Ketiganya tertunduk malu. Misi mereka gagal total, tapi setidaknya mereka belum dihukum. Dengan pasrah, mereka kembali mencoba untuk fokus pada pelajaran, meskipun rasa kantuk semakin kuat menarik mereka kembali ke alam mimpi.
Rencana Alternatif
“Aduh, gimana ini? Kita gagal lagi,” keluh Arif sambil menggaruk kepala. “Aku hampir aja bisa tidur nyenyak.”
Tomo tampak frustrasi, tapi Lina terlihat tidak mau menyerah begitu saja. Dia mengangkat tangannya, seolah menemukan ide jenius. “Gimana kalau kita coba di toilet? Nggak mungkin kan Bu Murni ngecek toilet? Kita bisa tidur di bilik toilet dengan aman.”
Tomo dan Arif berpikir sejenak. “Hmm... mungkin itu bisa berhasil,” kata Tomo, meskipun ia merasa sedikit ragu. “Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai ada yang curiga.”
Rencana mereka segera dimulai. Tomo menjadi yang pertama meminta izin ke toilet. Dia melangkah keluar kelas dengan tenang, mencoba bersikap normal. Sesampainya di toilet, dia membuka salah satu bilik, duduk di atas kloset, dan bersandar ke dinding dengan nyaman. Matanya perlahan mulai terpejam.
Tak lama kemudian, Arif menyusul. Dia memilih bilik sebelah Tomo dan segera duduk di posisi yang sama. Lina menjadi yang terakhir masuk ke toilet. Mereka bertiga sekarang berada di dalam bilik masing-masing, dengan niat tidur siang di tempat yang sempit itu.
Awalnya, rencana ini tampak berjalan mulus. Tomo bahkan mulai mendengar suara dengkuran pelan dari bilik sebelah. Namun, suasana damai itu terganggu ketika pintu toilet terbuka dan seorang siswa lain masuk.
“Hei, kenapa ada sepatu di bawah pintu?” tanya siswa itu dengan heran. Dia melihat ada sepatu Arif yang tampak mencuat dari bawah pintu bilik.
Tomo langsung terjaga. Ia merasa panik, namun berusaha tetap tenang. Namun, siswa itu segera keluar dari toilet dan berlari kembali ke kelas sambil berteriak, “Bu Murni! Ada yang tidur di toilet!”
Tomo dan Arif langsung keluar dari bilik mereka dengan cepat, wajah mereka dipenuhi kepanikan. Mereka bertiga dengan sigap kembali ke kelas sebelum Bu Murni sempat datang. Mereka duduk kembali di tempat masing-masing, mencoba bersikap seolah tidak ada yang terjadi.
“Hampir aja ketahuan,” bisik Arif dengan napas terengah-engah.
“Rencana ini benar-benar payah,” tambah Lina dengan nada kecewa. “Aku nggak pernah nyangka bakal ketahuan cuma karena sepatu.”
**Bagian 4: Percobaan Terakhir (Perpanjangan)**
Dengan dua kegagalan beruntun, Tomo, Arif, dan Lina mulai kehilangan harapan. Mereka benar-benar butuh tidur siang, tapi sepertinya semua rencana mereka selalu gagal. Namun, Arif tiba-tiba mendapatkan ide yang tidak kalah aneh dari sebelumnya.
“Gimana kalau kita pura-pura jadi patung?” usul Arif dengan wajah serius. “Kita duduk tegak, nggak bergerak sama sekali, dan tidur dalam posisi duduk. Kalau kita nggak bergerak, Bu Murni nggak bakal tahu kalau kita tidur.”
Tomo mengernyitkan dahi. “Itu mungkin ide paling aneh yang pernah aku dengar... tapi ya udahlah, kita coba aja.”
Mereka pun bersiap-siap melaksanakan rencana patung hidup. Tomo, Arif, dan Lina duduk tegak di bangku mereka, mata mereka setengah tertutup, mencoba terlihat seperti murid yang sangat fokus pada pelajaran. Mereka benar-benar berusaha untuk tidak bergerak, seolah-olah mereka memang patung yang ditempatkan di dalam kelas.
Namun, setelah beberapa menit, Tomo merasa matanya semakin berat. Kepalanya mulai terayun ke depan. Dia mencoba menahannya, tapi pada akhirnya kepalanya jatuh ke meja dengan bunyi gedebuk yang cukup keras.
Arif juga mulai kehilangan keseimbangan. Dia terhuyung ke samping, nyaris jatuh dari bangkunya, dan Lina hampir menjatuhkan buku catatannya karena tertidur sambil memegang pensil.
Bu Murni yang sedang mengajar di depan kelas akhirnya melihat keanehan ini. Dia mendekat dengan senyum simpul di wajahnya. “Kalian mau jadi patung ya? Lucu sekali. Tapi, kalau kalian benar-benar mau tidur siang, tunggu saja sampai di rumah.”
Mereka bertiga langsung tersadar, tertawa malu-malu. Semua usaha mereka untuk tidur siang diam-diam ternyata sia-sia, dan sekarang mereka merasa lebih konyol dari sebelumnya.