Sequel Belenggu Cinta Pria Bayaran.
Dikhianati sang kekasih dan melihat dengan mata kepalanya sendiri wanita yang dia cintai tengah bercinta dengan pria yang tak lain sahabatnya sendiri membuat Mikhail Abercio merasa gagal menjadi laki-laki. Sakit, dendam dan kekacauan dalam batinnya membuat pribadi Mikhail Abercio berubah 180 derajat bahkan sang Mama sudah angkat tangan.
Hingga, semua berubah ketika takdir mempertemukannya dengan gadis belia yang merupakan mahasiswi magang di kantornya. Valenzia Arthaneda, gadis cantik yang baru merasakan sakitnya menjadi dewasa tak punya pilihan lain ketika Mikhail menuntutnya ganti rugi hanya karena hal sepele.
"1 Miliar atau tidur denganku? Kau punya waktu dua hari untuk berpikir." -Mikhail Abercio
----
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18 - Sang Presdir
Panik, Valenzia tak lagi fokus dengan ucapan selamat tidur dari Mikhail. Sahabatnya tengah terjebak dalam kesulitan, cepat-cepat dia masuk dan tanpa dia sadari Mikhail ikut masuk.
"Bapak ngapain? Pulang sana," pinta Valenzia di antara panik yang sama-sama membuatnya hampit gila.
"Memangnya kamu bisa buka pintunya?"
"Ya tapi kan ..."
"Zia bisa buruan nggak?!! Aku lemes lama-lama di sini!" Belum selesai Zia bicara, teriakan Erika kembali menggema.
"Jangan banyak bicara, temanmu bisa kehabisan napas, Zia."
Tanpa pikir panjang Mikhail mencoba membuka pintunya, sedikit sulit namun Mikhail belum mengeluarkan seluruh tenaganya. Hingga pria itu mundur beberapa langkah dan dia akan mendobrak pintu itu secara paksa.
"Mundur," titah Mikhail dengan suara tegasnya, terdengar amat berbeda dengan cara dia bicara pada Zia.
"Kamu minta tolong siapa, Zia? Anaknya pak RT ya?"
"Nggak penting, Erika!! Udah munduran dikit pintunya mau didobrak." Valenzia setengah berteriak, saat-saat seperti ini dia masih sempat memikirkan anak pak RT.
Satu ... dua ... ti
BRAK
Valenzia menganga, pintu sekeras itu bisa rusak bahkan hampir lepas. Padahal dia tidak melihat usaha Mikhail yang begitu berlebih, bisa dipastikan pria ini memang bukan orang sembarangan.
"Erika? Baik-baik aja kan?" Sempat terkagum sesaat, dia lupa jika sahabatnya butuh bantuan. Segera dia melengkah masuk ke kamar mandi itu, dan penampakan Erika sungguh diluar dugaan.
Rambutnya sampai kering, matanya memerah dan bisa dipastikan dia sudah lama berada di sana. Berlalu keluar dengan sisa tenaganya yang ada, hanya menggunakan handuk di atas lutut dan memperlihatkan belahan dadanya.
"Udah lama? Kenapa ga minta tolong tetangga, Rika? Kalau aku pulangnya kayak biasa gimana coba?" Valenzia tak habis pikir kala menatap wajah pucat sahabatnya, beruntung saja dia tidak terlambat pulang.
"Tetangga yang mana? Ngaco, kita sendirian di sini jangan ngarang deh."
Bukan ngarang, tapi memang dia tidak mengetahuinya sama sekali. Dengan langkah pelan karena gemetar Zia tetap setia membantunya. Hingga lemasnya tergantikan kaget luat biasa yang membuat tenaganya seakan kembali terisi kala melihat pria tampan tengah berdiri di sana.
"Astaga?! Zia!!"
Erika bersembunyi di balik punggung Zia, ternyata dia masih mempunyai malu walau sedikit. Tidak pernah dia duga pria yang kini dia tatap adalah seorang Mikhail Abercio, sang presdir yang tadi sore membuatnya ciut.
"Terima kasih bantuannya, Pak ... mari saya antar ke depan."
Zia melangkah dan menarik tangan Mikhail segera, pria itu tak berontak dan mengikuti langkah Valenzia. Sementara Erika yang berada di dalam masih bingung kenapa bisa pria itu bersama Zia.
Ketika Zia kembali masuk, jelas saja Erika sudah tak bisa menahan rasa penasarannya.
"Sini kamu, kenapa bisa pak Mikhail datang ke sini?"
Secepat itu, orangnya bahkan belum jauh dan Erika sudah bertanya sekuat itu. Telinga Valenzia sakit rasanya, tak hanya itu dia juga mempertanyakan perkara jaket kulit yang dia pakai.
"Ketemu di jalan, aku nggak punya uang buat ongkos ... jadi pak Mikhail anter." Dia membela diri lebih dulu, tak ingin kecurigaan Erika sejak tadi sore kian menjadi saat ini.
"Kamu nggak bohong kan, Zi?"
Zia menggeleng, kemudian berlalu ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Meski pintu itu rusak tetap saja dia harus mandi malam ini, Zia tidak ingin tidur dalam keadaan kotor begitu
-
.
.
.
Pagi-pagi sekali kediaman Ibra sudah dibuat panas lantaran pertengkaran kedua putranya. Mikhail yang pantang ditentang dan Syakil yang tidak mau dikekang. Dengan alasan sudah dewasa dan berhak memilih jalan hidupnya, Syakil berontak untuk pertama kalinya.
"Mikhail cukup!!" Kanaya berlari menghampiri putranya, jika sudah begini amarah Mikhail memang lebih gila dari Ibra.
"Dia pembangkang, Ma!!"
"Kakak ngaca!! Berapa banyak Mama nangis karena ulahmu yang persis setan itu."
Di balik punggung Kanaya dia bicara tanpa sedikitpun rasa takut. Hanya karena ketahuan menonton video dewasa, Mikhail semarah itu dan menghancurkan ponsel Syakil seenaknya.
"Syakil stop, Mama belum memintamu bicara ... Mikhail, kenapa tega mukul adik kamu sampe berdarah begini?!" Kanaya menuntut penjelasan, karena memang kejadian itu sangat cepat dan Mikhail terlihat baik-baik saja kala diminta membangunkan Syakil beberapa saat lalu.
"Syakil nonton bokeeep, Ma!" jawabnya masih berapi-api dengan tatapan tajamnya.
Sejak dulu Mikhail selalu melarang, hal-hal begitu selalu dia awasi dan tidak ingin Syakil ketergantungan nantinya. Meski pada akhirnya dia kecolongan karena semakin berkurangnya perhatian untuk Syakil.
"Cuma nonton!! Sementara Kakak praktek!!" pungkas Syakil tak terima, menurutnya dia sudah dewasa dan tidak ada salahnya dia menikmati itu.
"Jaga mulutmu!! Aku melarangmu karena tau efeknya, Syakil!! Paham setan." Mikhail menekan setiap kalimat dalam ucapannya. Dia memang buruk, akan tetapi bukan berarti dia menginginkan adiknya seperti dia juga.
"STOP!! Kalian berdua sama-sama setan!!"
Kanaya kehilangan kesabaran pada akhirnya, kedua putranya terdiam dan kini Kanaya menatapnya bergantian.
"Intropeksi diri masing-masing, kalian sudah dewasa!! Terutama kamu Mikhail." Kanaya berlalu tanpa peduli dengan Ibra yang kini baru saja hendak masuk ke kamar mereka.
"Kenapa berhenti? Lanjutkan sampai salah satunya masuk IGD."
Cara marah paling ampuh, tanpa perlu mengeluarkan banyak tenaga dan keduanya akan tunduk dan tak berani berulah. Senakal-nakalnya Mikhail di luar, jika sang Papa sudah begini menjawab sepatah kata pun dia tidak berani.
Tbc