Impian Khanza sebagai guru Taman Kanak-kanak akhirnya terwujud. Diperjalanan karier nya sebagai guru TK, Khanza dipertemukan dengan Maura, muridnya yang selalu murung. Hal tersebut dikarenakan kurang nya kasih sayang dari seorang ibu sejak kecil serta ayah yang selalu sibuk dengan pekerjaan nya. Karena kehadiran Khanza, Maura semakin dekat dan selalu bergantung padanya. Hingga akhirnya Khanza merelakan masa depannya dan menikah dengan ayah Maura tanpa tahu pengkhianatan suaminya. Ditengah kesakitannya hadir seseorang dari masa lalu Khanza yang merupakan cinta pertamanya. Siapakah yang akan Khanza pilih, suaminya yang mulai mencintai nya atau masa lalu yang masih bertahta di hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cinta damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 33
sebelumnya...
"Uhh!" Nafas panjang keluar dari mulut Herman begitu sudah didalam lift.
"Kenapa, kamu? Nahan mules?"
Capek bos. CAPEK!!! kesal Herman dalam hati namun tidak berani dia utarakan. Gigi nya bergemeletuk di dalam mulutnya.
"Kok, diem? Jadi benar kamu kebelet?" tanya Darren tanpa berdosa sama sekali. Tidak sadar kah Darren, pagi ini membuat sekretaris pribadinya olahraga sampai nafasnya saja senin kamis.
"Iya, Bos. Tapi itu tadi. Sekarang mulesnya sudah hilang malah jadi laper." Sindirnya.
Darren hanya angguk-angguk kepala dan tak lama pintu lift terbuka dilantai yang mereka tuju.
Keduanya setelah keluar dari lift menuju ruangan masing-masing. Darren ke ruangan CEO sedang Herman tepat disebelahnya, sebagai sekretaris pribadinya. Kebetulan ruangan Darren dilalui lebih dulu sehingga Herman harus melewatinya ruangan bosnya tersebut.
"Herman, sini kamu!" Darren menyuruh sekretaris nya itu masuk keruangannya saat Herman akan ke ruangan nya sendiri.
"Sebentar, Bos." Maksud hati Herman akan menaruh bekal miliknya diruangan nya.
"Sini! Ada yang saya obrolkan sama kamu, penting!"
Dengan langkah lesu akhirnya Herman masuk keruangan bosnya. Dia langsung menempelkan bokongnya disofa yang ada diruangan tersebut dengan punggung bersandar di sandaran sofa, lelah. Sementara tas lunch box nya Herman letakkan persis disamping nya.
Darren melirik ke arah lunch box milik sekretaris nya itu. Dia mendengus, segitunya Herman memperlakukan bekal yang istrinya beri untuk nya. Seperti takut diambil orang saja.
"Ada apa, Tuan?" Tanya Herman kembali ke mode datar, penasaran dirinya dipanggil keruangan begitu tiba dikantor sampai-sampai dia belum sempat masuk keruangannya sendiri dan beristirahat walau sekedar mengambil nafas.
"Tolong kamu wakilkan saya meeting dengan pihak Cipta Pesona Building sekarang ya!"
"Saya, Tuan? Sendiri?" Herman menunjuk dirinya sendiri.
"Sendiri. Memang sama siapa lagi? si Cindy sekretaris didepan?"
"Boleh, Tuan. Daripada saya sendirian kesana sekalian bantu saya mencatat hasil meeting nanti.
"Kayak anak sekolahan aja, kamu Man, apa-apa minta ditemani." Ejek Darren.
"Gak papa, Tuan. Lumayan ada teman ngobrol kalo-kalo saya harus nunggu disana nanti." Herman lantas mengangkat bokongnya. Dia pikir pembicaraan sudah clear. Sudah tidak ada yang dibicarakan lagi. Bersamaan dengan dia mengangkat bokongnya, tangannya pula segera meraih lunch box miliknya yang ada disebelahnya.
"Ya, sudah kamu boleh berangkat sekarang."
Posisi Herman masih 90 derajat alias menungging. Tangannya sedang terulur mengambil lunch box ungu milik nyonya_nya saat Darren dengan entengnya menyuruh untuk berangkat sekarang juga.
"Maksudnya, Bos?" Herman sepertinya kurang mudeng dengan ucapan Tuan nya.
"Sekarang berangkat nya. Right Now!" Darren sampai mengulang dengan menggunakan bahasa Inggris agar sekretaris nya itu lebih paham.
Herman melihat dari jauh jam yang menempel didinding ruangan bosnya. Lalu melihat lagi ke jam dipergelangan tangannya. Sama. Paling beda hanya maksimal 2 menit saja. "Tapi ini baru jam 7, Tuan. Kan meetingnya nanti mulai pukul 9 pagi."
"Terus kenapa kalo masih jam 7?" Tanya Darren dengan kedua alis terangkat.
Masih pagi banget, Tuan. Herman bingung menjelaskan.
"Ya, sudah sana jalan!" Herman akan membuka mulut sedari tadi dia diam saja. "Takutnya nanti kejebak macet." Lanjut Darren.
Logis sih alasannya. Tapi kan jarak Agung Group dengan Cipta Pesona Building tidak terlalu jauh, paling lama dijalan 45 menitan. Batin Herman memprotes. Tidak berani omong langsung.
"Baik, Tuan." Dengan lesu dia beranjak dari ruangan bosnya. Tak lupa lunch box tadi yang sudah tidak sabar dia buka dan makan isinya dia ambil akan dibawanya.
"Loh, ngapain kamu bawa bekal segala kesana? Mau dibawa-bawa gitu selama meeting?" tanya Darren dengan nada mulai meninggi.
"Tapi, Tuan..." Saya bisa nunggu waktu meeting mulai sambil makan, Tuan. Dan makannya nanti bisa didalam mobil biar gak malu-maluin seperti Tuan takutkan. Lagi, kalimat itu hanya tertahan diujung lidah.
"Sudah sana jalan! lunch box mu itu biar disimpan disini. Nanti aja di makannya. Itu juga kalo lom basi."