Ibrahim, ketua geng motor, jatuh cinta pada pandangan pertama pada Ayleen, barista cantik yang telah menolongnya.
Tak peduli meski gadis itu menjauh, dia terus mendekatinya tanpa kenal menyerah, bahkan langsung berani mengajaknya menikah.
"Kenapa kamu ingin nikah muda?" tanya Ayleen.
"Karena aku ingin punya keluarga. Ingin ada yang menanyakan kabarku dan menungguku pulang setiap hari." Jawaban Ibra membuat hati Ayleen terenyuh. Semenyedihkan itukah hidup pemuda itu. Sampai dia merasa benar-benar sendiri didunia ini.
Hubungan mereka ditentang oleh keluarga Ayleen karena Ibra dianggap berandalan tanpa masa depan.
Akankah Ibra terus berjuang mendapatkan restu keluarga Ayleen, ataukah dia akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 8
Sesampainya di kampus, Ayleen mendatangi tempat Ibra biasa nongkrong dengan gengnya. Dari jauh sudah terlihat ada Ibra diantara teman-temannya, membuat Ayleen semakin yakin untuk mendekat.
"Eh, lihat tuh." Reza menepuk bahu Ibra lalu menunjuk kearah Ayleen yang berjalan kearah mereka.
Senyum Ibra seketika mengembang melihat Ayleen berjalan kearahnya. Dia yang mulanya duduk, langsung berdiri lalu dengan tergesa-gesa, menghampiri Ayleen.
"Hai, maaf yang kemarin. Aku ada kepentingan, jadi datengnya agak telat, pas kamu udah pulang." Ibra menjelaskan kejadian semalam. Takut Ayleen salah paham dan mengiranya tidak datang.
"Tidak apa-apa." Ayleen menyodorkan paperbag yang dia bawa kearah Ibra. "Makasih karena kemarin udah minjemin aku jaket."
Ibra menerima paparbag tersebut lalu mengintip isinya sebentar.
"Permisi," pamit Ayleen lalu membalikkan badan dan melangkah pergi.
"Tunggu," Ibra mengejarnya, berhenti tepat didepan Ayleen untuk menghalangi langkahnya. "Kamu marah ya soal kemarin?"
Ayleen tersenyum sambil menggeleng. Sejujurnya dia kecewa kemarin. Tapi setelah dipikir-pikir, untuk apa dia kecewa. Ibra bukan siapa-siapanya, jadi tak seharusnya dia kecewa. Apalagi jika ingat perkataan Ayahnya tadi. Dia harus pandai-pandai cari teman bergaul, dan pemuda begajulan seperti Ibra ini, mungkin masuk kriteria yang harus dijauhi. "Permisi, Kak." Ayleen sedikit berbelok agar tetap bisa lewat. Tapi sekali lagi, Ibra menghadang jalannya.
"Kamu beneran gak marah?"
Ayleen menghela nafas berat lalu tersenyum. "Enggak," ulangnya sekali lagi. "Permisi, aku ada kelas pagi ini." Ayleen kembali melanjutkan langkah, meninggalkan Ibra yang masih merasa jika Ayleen marah padanya. Kemarin mereka sudah lumayan cair, bisa banyak ngobrol, tapi hari ini, Ayleen terkesan jaga jarak dengannya.
Dengan langkah gontai, Ibra kembali berkumpul dengan teman-temannya. Wajahnya yang terlihat kusut, membuat teman-temannya heran.
"Habis ketemu cewek, muka lo kok kayak daster mak gue," seloroh Reza. "Napa, ditolak ya Brother?" tanyanya sambil menahan tawa.
"Lo beneran mau ngedekatin tuh cewek Bro?" tanya Joko. Sejak tadi, diam-diam dia memperhatikan interaksi antara Ibra dan Ayleen.
"Emang kenapa kalau iya?" bukannya Ibra yang menjawab, malah Reza yang menanggapi. "Heran ya, lihat Ibra ngedeketin cewek, secarakan dia belok."
Bugh, Fikri yang duduk disebelahnya langsung menonjok lengannya.
"Aduh, Anj_"
"Gak boleh ngomong jorok, ini kampus," potong Fikri. "Lembaga pendidikan yang diagung-agungkan. Banyak orang pengen masuk sini tapi gak bisa, lah elo, udah masuk, bukannya jadi pinter, malah makin pinter ngomong jorok."
"Lebay lo Fik. Siapapun bisa kali masuk sini," sahut Reza.
"Iya, masuk doang maksud lo, bukan kuliahkan?"
"Tumben lo pinter," seloroh Reza sambil tertawa ngakak.
Tatapan mereka kembali pada Ibra. Pria yang tampak galau itu mengambil jaket didalam paperbag lalu memakainya.
"Kalau gak salah, tuh cewek namanya Ayleen kan?" Joko kembali membahas topik semula.
"Kok lo tahu sih?" tanya Reza.
"Sini-sini." Joko menyuruh teman-temannya mendekat. Dengan wajah super serius, sok sok-an mau memberi informasi maha penting yang sangat rahasia. "Kalian tahu gak, dia anaknya siapa?"
"Anak emak sama bapaknya lah," sahut Reza enteng.
"Bego lo," Fikri mengeplak kepala Reza karena kesal. "Ya, iyalah, masa anak emak sama bapak lo. Gak cocok, lo gak jelek, masa iya dia jadi adik lo."
"Sialan lo," maki Reza sambil melotot.
"Heis, kalian ini," geram Joko. "Gue mau ngasih info penting."
"Lebih penting mana sama skripsian gue?" celetuk Reza.
"Buruan dong," Fikri tampak tak sabar. Sedangkan Ibra, dia malah biasa saja, seperti tak peduli Ayleen anak siapa. Karena menurutnya, tak ada yang perlu dikhawatirkan selama masih anak manusia, bukan anak siluman.
"Kalian tahu Bu Kinara? Dekan fakultas MIPA?"
"Ya tahulah, yang cantik itukan? Yang katanya, dia dosen paling cantik pada masanya." Kalau urusan cantik, Reza yang paling paham.
"Ayleen itu anaknya."
Bukannya syok atau apa, mereka malah plonga-plongo, otaknya masih loading.
"Ayleen anaknya Bu Kinara," Joko makin memperjelas.
"What!" Pekik mereka bersama, kecuali Ibra. Dia tampak tak terlalu ambil pusing. Dan sekarang, tatapan mereka langsung tertuju pada Ibra.
"Ngapain ngeliatin gue kayak gitu?" tanya Ibra heran.
"Lebih baik lo mundur teratur, mundur alon-alon," ujar Reza.
"Emang kenapa? Gue gak penah ada masalah kok sama Bu Nara. Kenal juga enggak, cuma pernah ngelihat mukanya doang, itupun paling sekali," ujar Ibra santai.
"Gila nih anak," Reza geleng-geleng. "Trek record lo itu buruk di kampus ini, yakin Bu Nara gak tahu?"
"Emang dia tahu?" Ibra tak yakin karena Bu Nara dekan fakultas MIPA, sedangkan saat ini, dia kuliah di fakultas ekonomi.
"Ya mungkin sekarang gak tahu. Tapi saat lo deket dengan anaknya, dia pasti nyari tahu. Dan gampang banget buat dia tahu siapa lo. Udah deh, mundur aja Bra. Noh, si Putri malu ngejar-ngejar elo. Mending sama dia." Ungkap Fikri panjang lebar. Sejujurnya dia kasiha pada Putri yang terus mengejar Ibra tanpa kenal kata menyerah.
"Eh, kok lo tahu sih Jok?" tanya Ibra penasaran. Takut jika cuma dikibulin sama teman-temannya saja.
"Ya tahulah. Orang kami tinggal se komplek."
"Oh..." mereka reflek manggut-manggut.