Nasib memang tidak bisa di tebak. ayah pergi di saat kami masih butuh perlindungannya. Di tengah badai ekonomi yang melanda, Datang Sigit menawarkan pertolongan nya. hingga saat dia mengajakku menikah tidak ada alasan untuk menolaknya.
. pada awalnya aku pikir aku sangat beruntung bersuamikan pria itu.. dia baik, penyayang dan idak pelit.
Tapi satu yang tidak bisa aku mengerti, bayang-bayang keluarganya tidak bisa lepas dari kehidupannya walaupun dia sudah membina keluarga baru dengan ku.
Semua yang menyangkut keluarga harus di diskusikan dengan orang tuanya.
janji untuk membiayai adik-adik ku hanya omong kosong belaka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon balqis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Sementara Dokter Agam di pusingkan oleh masalah pribadinya, lain lagi dengan Sigit dan keluarganya.
Kedua wanita itu masih terbaring di atas tempat tidur. Sigit dan ayahnya sengaja menempatkan mereka di kamar yang sama agar mudah mengawasinya.
"Ini semua gara-gara ide gila mu." omel Bu Karti. Ia tak henti merintih karena tangannya yang keseleo.
"Kenapa ibu menyalahkan ku. Ini semua ide ibu. Siapa yang ingin mengetahui letak rumah tangga? ibu, kan?" jawab Rani tak mau kalah. Kalau Rani kakinya yang terkilir.
"Tapi kau yang tidak becus membawa motornya." sambut Bu Karti tak kalah keras.
"Cukup, ya..! Kalian berdua sama konyolnya." teriak Sigit. kepalanya serasa mau pecah oleh keributan yang selalu terjadi.
Kedua wanita itu terdiam.
"Kenapa pula kalian harus membuntutinya?"
"Ibu ingin tau saja, bayangkan.. May membeli sebuah rumah besar di kawasan dekat rumah kita. Ibu penasaran dong."
Sigit terdiam mendengarkan.
"Dan Mas tau, siapa yang bersama May? tentu saja dokter Agam sang pahlawannya itu. Gak nyangka banget May yang kelihatan lugu bisa menjebak pria seperti dokter Agam. aku sangat penasaran, dukun mana yang dia pakai. Bahkan mereka sudah membeli sebuah rumah itupun disaat kalian belum resmi bercerai."
kata-kata Rani membuat wajah Sigit berubah merah padam. hatinya di penuhi kemarahan dan api cemburu.
Rani masih mengoceh panjang lebar tapi Sigit sudah pergi meninggalkan mereka.
"Mas, kau mau kemana? Aku belum selesai bicara...!" teriaknya.
"Kasihan Sigit. Dia harus menderita gara-gara May..." gumam ibunya.
"Iya Bu. di saat sperti ini ibu tau apa yang dia butuhkan? Dukungan moril. Apalagi kalau itu datang dari pasangan..." ucap Rani pelan.
"Karena itu ibu berharap surat cerainya segera keluar. Kalian bisa secepatnya meresmikan hubungan. Sigit ada istri dan Tara tidak di sebut anak yatim lagi." tukas Bu Karti.
Sementara itu Sigit langsung pergi kerumah May. dia ingin minta penjelasan tentang kabar yang di terimanya dari Rani.
"Assalamualaikum..!" Dia mengetuk pintu dengan tidak sabar.
"Sigit...?" ibunya May sangat kaget melihatnya disana.
"May, ada, Bu. Saya perlu bicara penting."
"Masuk dulu. Kita bicarakan di dalam."
Sigit sangat gelisah. Dia berusaha merangkai kata dan pertanyaan yang akan dia lontarkan ke istrinya
Karena setiap berhadapan dengan May, semua yang di rencanakan nya di kepala ambyar begitu saja.
"Nak Sigit terlihat gelisah. ada sesuatu?"
"Sebenarnya ini masalah pribadi antara saya dan May. Bisakah ini meninggalkannya."
"May, sedang tidak ada dirumah."
"Dimana dia, Bu?"
Saat itu Bulan muncul. dia hanya menatap Sigit sekilas dan berlalu pergi.
"Bulan, ini ayah..." dia mengejar anaknya.
"Bulan sudah punya Om ayah sekarang." ia berkicau lucu.
"Om ayah? Siapa?"
Bulan tidak perduli dan pergi meninggalkannya.
Sigit tertunduk sangat dalam.
Anaknya sendiri sudah tidak perduli kepadanya. Malah dengan bangganya menyebut om ayah.
Rasa benci dan iri membuncah terhadap dokter Agam.
"Jangan di ambil hati ucapan Bulan, dia masih kecil." wanita bijak itu menyentuh pundaknya.
"Sebesar itu kesalahanku hingga anak ku sendiri tidak mengakui ku sebagai ayahnya." dia tergugu menatap lantai.
***
Kondisi mas Agam sudah membaik. Dia mulai agak tenang setelah menumpahkan tangisnya.aku yakin ada masalah besar yang sedang di hadapinya. Walau begitu, aku tidak bertanya alasannya menangis. , Diapun tidak bicara apapun.
Setelah menitipkannya kepada Mala aku pulang untuk ganti baju.
Sepanjang perjalanan, aku terus menebak-nebak apa yang sedang di alaminya?
Sampai di rumah aku langsung masuk begitu saja tanpa melihat keadaan. Aku langsung duduk di kursi dan berkata pada diri sendiri.
"Kasihan sekali mas Agam. Sakit tidak ada yang urus. Keluarganya jauh lagi.."
"Kau dari rumahnya?"
Aku begitu kaget mendengar suara mas Sigit.
saat aku menoleh, disana ada ibu dan mas Sigit yang sedang duduk di lantai. Matanya masih basah bekas menangis .
Aku masih terpana tidak tau apa yang harus aku katakan.
"Jadi benar berita itu?" tanyanya lagi.
"Berita apa? Dan untuk apa mas datang kesini?"
Setelah terdiam sejenak.
"Aku mau memastikan berita yang aku dengar. Sudah sejauh itu hubunganmu dengannya. Padahal kita belum resmi bercerai. kau tega sekali, May. kau paksa agar aku menceraikan mu."
aku mendengus kesal sampai ibu meni gagalkan kami bicara berdua saja.
"Itu lagi yang di bahas. Lalu menurut mas Sigit bagaimna?" aku balik bertanya. Bosan rasanya memberinya penjelasan.
"Aku tidak tau, tapi aku berharap semuanya bohong. Bagaimanapun aku masih mencintai mu. hatiku sakit mendengar kedekatan mu dengan dokter itu."
Aku kembali teringat mas Agam yang menangis sambil memeluk pinggangku.
Mungkin saja penyebabnya kedekatan ku dengannya telah sampai ke istrinya, istrinya marah lalu mereka bertengkar. Yah, pasti itu yang terjadi. Jadi untuk meredam masalah yang lebih parah lagi. aku harus membuat mas Agam berhenti mendekati ku.
"Percaya atau tidak, aku dan dokter Agam tidak ada hubungan apapun. tentang rumah yang baru ku beli itu pun bohong. Itu hanya untuk memberi pelajaran ibu dan Rani."
Mata mas Sigit melebar sempurna mendengar penjelasan ku.
"Jadi...?" dia menatapku tak percaya.
"Dia sudah berkeluarga. aku tidak mungkin merusak rumah tangga orang."
Entah apa pertimbangan ku harus menceritakan ini pada mas Sigit. Tapi yang jelas mas Sigit terlihat sangat bahagia.
"Terima kasih, May. Aku lega mendengarnya." dia langsung hendak memeluk ku.
"Ini bukan seperti yang mas Kira." aku mendorong tubuhnya yang besar.
Dia merasa heran
"Aku memang tidak ada hubungan dengan siapapun. Itu bukan berarti kita bisa berdamai. Ingat, proses perceraian kira sedang berlangsung." ucapku sengit.
Dia tidak tau bahwa aku melakukan ini dengan terpaksa. Hatiku terluka karena harus menjauh dari mas Agam.
"Tapi aku masih mencintai mu. Dan aku yakin kau juga sama. Karena di antara kita masih ada Bulan." dia terus bicara dengan wajah sumringah.
"Berhenti berkhayal..! Sampai kapanpun aku tidak mau balik lagi padamu, Mas."
"Aku tau saat ini kau sedang marah. Tidak apa-apa kau tidak mengakuinya. yang penting sekarang aku tau. Kau dan dokter itu tidak ada hubungan. Ini saja sudah membuatku senang." ucapnya tersenyum.
Dengan apalagi aku harus jelaskan. Rupanya rencanaku menjadi bumerang pada diriku sendiri. Jangan sampai dia berharap terlalu tinggi.
Rasanya ingin segera menanda tangani surat cerai dan melemparnya ke wajahnya agar dia terbangun dari mimpinya itu.
Di saat itu ponselku berbunyi. Ternyata mas Agam yang menelpon.
"Iya, Mas. ada apa apa?'"
"Tidak apa-apa, aku sudah baikan. Cuma ingin mengucapkan terima kasih."
"Ooh, syukurlah. Saya pikir sakit lagi." Mas Sigit yang berdiri di sampingku tidak tahan mendengarnya. Dia merampas ponselku.
"May, mau istirahat, tolong jangan di ganggu lagi. Semoga lekas sembuh, ya!" dia memutuskan panggilan dan memberikannya kepadaku.
Aku benar-benar marah oleh caranya. entah apa yang di pikirkan mas Agam di sana.
"Tidak sopan..!" ucapku sengit. di baikin lama-lama dia ngelunjak juga.
"Aku tidak suka dia masih mengganggu mu."
Sungutnya dengan kesal.
"Ibu urusan ku dengannya. Jangan turut campur dengan hidupku lagi."
"Tapi aku masih suami mu. Aku berhak lho ikut campur."
"Suami yang sebentar lagi akan menjadi mantan." rantang ku keras.
"Asal kau ingat. Kau yang mau bercerai. Bukan aku. apapun keputusan pengadilan, aku tetap menganggap mu istri ku. Hanya istri ku...! Bahkan aku berharap surat cerai itu tidak pernah terbit."
Gila, mas Sigit memang sudah gila.
kalau tau akan seperti ini, lebih baik di cap pelakor saja, tapi masih bisa dekat dengan mas Agam. Daripada harus menghadapi orang sakit jiwa seperti dia.