Nai, seorang wanita yang menjadi janda diusia yang masih muda dan memiliki dua orang anak yang berusia enam tahun dan tiga tahun.
Suami tercinta meninggalkannya demi wanita lain. Tudingan dan hinaan dari para tetangga acap kali ia dengar karena kemiskinan yang ia alami.
Akankah Naii dapat bangkit dari segala keterpurukannya?
Ikuti kisah selanjutnya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti H, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia
Daffa menatap wanita yang terlihat kurus itu dari balik kerumunan. "Mengapa ia begitu sangat kurus? Ya, meskipun banyak wanita mendambakan tubuh yang langsing, tetapi tidak sekurus itu juga," guman sang pemuda lirih. "Apakah ia terlalu hidup susah dengan suaminya?"
Sesaat Ia memalingkan wajahnya. "Astaghfirullah, apa yang aku fikirkan tentangnya. Sungguh naif nya diriku memperhatikan milik orang lain," Daffa mengusap dadanya dan Ia tak ingin bermata jahat pada sesuatu yang diharamkan, apalagi wanita yang sudah menikah. Ia bergegas pergi dan menenteng keranjang belanjanya yang berisi ikan dan satur mayur lainnya.
Ia terpaksa berbelanja, sebab Bik Inah dan pak Basri pulang kampung mendadak karena orangtuanya sakit parah, dan penganti mereka juga sedang demam dan mau tidak mau Daffa harus berbelanja, sebab para santri harus makan dan terpenuhi gizinya.
Ia membawa satu mobil bak terbuka 4x4 sebagai alat yang membawa barang belanjaan dalam jumlah banyak.
Daffa harus bolak-balik mengangkut barang-barangnya dari satu para pedagang ke pedagang lainnya dan ia tidak pernah menawar harga barang dibelinya, sebab ia merasa jika keuntungan pedagang pasar itu sangatlah kecil.
Setelah menyelesaikan belanjanya. Ia mengemudikannya dan harus kembali ke pondok, sebab bahan-bahan itu harus segera dimasak oleh juru masak yang terpercaya.
Saat tiba disimpang jalan. Ia melihat Naii bersama bocah yang ditolongnya tadi sedang menunggu angkot.
Naii terlihat celingukan melihat angkot yang datang dari utara dan akan membawanya pulang ke kios. Aliyah tampak gelisah karena sudah merasakan perutnya sakit ingin buang air besar dan tampak merengek., sedangkan angkot yang mereka tunggu tak juga terlihat.
Daffa menjadi ambigu melihat kondisi tersebut. Ia ingin menolongnya, tetapi bagaimana jika ada yang melihatnya membawa wanita satu mobil dengannya, maka nama baiknya dan juga pesantren akan menjadi sorotan publik.
Daffa berada pada dilema yang sulit. Akhirnya ia menutupkan kepalanya dengan penutup jaket hoddeinya, lalu menggunakan masker dan kacamata agar Naii tak mengenalinya, dan emang sebenarnya Naik tidak mengenalnya, hanya Ia saja yang terlalu percaya diri jika wanita itu mengingat mereka pernah satu kampus.
Daffa menghentikan mobilnya disisi jalan. Ia turun dari mobil dan menanyakan apa yang terjadi. "Anaknya kenapa ya, Mbak?" tanya pemuda itu pura-pura tidak kenal.
"Oh, ini lagi sakit perut dan mau pulang tetapi angkot belum ada yang nongol," jawab Naii, lalu menarik Aliyah ke sisinya, mencoba waspada jika saja pria itu berniat lain dan ingin menculik Aliyah, ya, itu fikiran terburuk yang harus ditanamkan dalam dirinya, agar tak mudah percaya pada siapapun.
"Saya mau ke arah barat. Mungkin arah kita sama," Daffa menawarkan.
"Tidak, terimakasih," tolak Naii dengan halus. Ia tidak ingin mempercayai siapapun saat ini, apalagi pria yang tak dikenalnya.
Tak berselang lama, angkot tiba, dan Naii bergegas untuk menaikinya dan tidak memperdulikan pemuda itu yang menatapnya dengan tercengang.
Melihat angkot bergerak maju, Daffa mengemudikan mobilnya dan mengekorinya dari arah belakang dan tetap menjaga jarak aman.
Sekian menit kemudian, angkot berhenti dan Daffa menurunkan laju kecepatan mobilnya dan berhenti ditepi jalan. Ia melihat wanita itu terlihat sangat kesusahan untuk membawa barang-barang belanjaannya, bahkan harus mengamankan Aliyah agar tidak ditepi jalan.
Ia terlihat sangat cekatan, menggendong sang bocah dan menenteng satu kantong kresek besar dan meletakkannya menjauh dari jalanan lintas, kemudian ia mengulanginya kembali dengan dua kantong kresek besar yang tadi diletakkannya ditepi jalan.
Daffa mengemudikan mobilnya kembali dan sembari melirik dimana Naii tinggal, dan terlihat wanita itu memasuki sebuah kios.
"Ternyata dia tinggal disana," gumannya lirih, lalu melajukan mobilnya dan menghilang dijalanan.
*****
Waktu memperlihatkan pukul sembilan malam. Seorang pria berpakaian serba putih duduk disebuah ruangan dengan tatapan sendu. Tampak ada beban fikiran yang sedang ia rasakan.
Pria itu sering dipanggil dengan sebutan buya Yahya. Ia adalah pemilik pondok pesantren sekaligus ayah dari Daffa.
Tampak pemuda itu berjalan dengan begitu gagah dan berwiba menuju ruangan keluarga. Didinding ruangan itu terdapat ukiran kaligrafi yang terpahat dari kayu jati. Tampak begitu indah dengan nilai seni yang cukup tinggi.
Pemuda itu duduk disisi kanan sang Abi yang terlihat lama menunggunya. "Assallammualaikum, Ya Abi," sapanya lembut, lalu menyalim punggung tangan pria yang sangat dihormatinya.
"Waalaikum salam. duduklah, ada yang ingin Abi tanyakan padamu," ucap Pria berusia enam puluh tahun itu, tetapi garis ketampanan dan kegagahannya masih sangat terlihat jelas.
Daffa duduk dengan hati penuh debaran. Sebab sang Abi tak pernah memanggilnya berdua seperti ini.
Terlihat wanita cantik yang telah dimakan usia berjalan memasuki ruangan dengan membawa nampan berisi dua buah teh hangat dengan camilan crakers keju sebagai pelengkapnya.
Ia mentanya diatas meja, lalu iku duduk dikursi depan dengan menghadap keduanya.
"Daffa," panggil Yahya dengan suara yang sangt lembut, namun terdengar sangat bijaksana.
"Ya, Abi,"
"Usiamu sudah sangat dewasa. Usia 30 tahun sudah merupakan usia matang untuk membina rumah tangga," ucap Yahya dengan tenang, namun penuh penekanan.
Deeeeegh...
Jantung pemuda itu seakan terhenti. Ia tahu arah pembicaraan ini sedang menuju kemana. Tetapi ia tidak ingin dipaksa, hatinya masih belum dapat menerima cinta lain, setelah cinta dalam diamnya selama ini telah tersingkirkan dengan mendapati wanita itu sudah memiliki suami.
Satu kesalahan yang ia lakukan saat itu adalah menyembunyikan perasaannya tanpa ingin mengungkapkannya.
"Kemarin Buya Shohir datang kepada Abi. Ia ingin mengeratkan tali silaturahmi dengan memintamu melakukan ta'aruf kepada puterinya yang baru saja lulus dari universita Al Azhar Kairo-Mesir,"
Daffa semakin meyakini jika ini adalah salah satu cara sang Abi untuk mendesaknya menikah.
Pemuda itu menarik nafas dengan berat. Ia sangat sulit untuk mengungkapkan keinginan hatinya, dan juga takut melukai perasaan sang Abi.
"Beri Daffa waktu, Bi," akhirnya ia mengungkapkan isi hatinya, meskipun ini secara tidak langsung adalah sebuah kata bantahan yang ia kemas dalam penolakan secara halus.
"Apalagi yang kamu tunggu, Nak. Lihatlah kakak-kakamu. Mereka sudah lama berkeluarga dan memiliki anak yang lucu dan shaleh. Apakah kamu tidak ingin berkeluarga? Itu menyalahi kodrat manusia," Umi Kalsum menyela.
Daffa semakin kelabakan. Ia harus mengatakan apa pada sang Abi. "Apakah aku tidak dapat diberi kesempatan untuk memilih pasanganku," tanya Daffa lirih. Ia sepertinya kehabisan kata. Pilihan yang mana? Sedangkan tambatan hati saja ia tak punya.
"Cobalah berta'aruf saja terlebih dahulu. Siapa tahu kamu akan menyukainya. Orangnya sangat cantik dan juga seorang hafizah, ini pasti akan me jadi pasangan yang sangat bagus untuk kamu," Yahya semakin mempengaruhi.
Daffa semakin dilema. Haruskah ia mengatakan kepada sang Abi jika ada satu cinta terlarang didalam hatinya.