Di sebuah kota yang tampak tenang, Alvin menjalani hidup dengan rutinitas yang seolah-olah sempurna. Seorang pria berusia awal empat puluhan, ia memiliki pekerjaan yang mapan, rumah yang nyaman. Bersama Sarah, istrinya yang telah menemaninya selama 15 tahun, mereka dikaruniai tiga anak: Namun, di balik dinding rumah mereka yang tampak kokoh, tersimpan rahasia yang menghancurkan. Alvin tahu bahwa Chessa bukan darah dagingnya. Sarah, yang pernah menjadi cinta sejatinya, telah berkhianat. Sebagai gantinya, Alvin pun mengubur kesetiaannya dan mulai mencari pelarian di tempat lain. Namun, hidup punya cara sendiri untuk membalikkan keadaan. Sebuah pertemuan tak terduga dengan Meyra, guru TK anak bungsunya, membawa getaran yang belum pernah Alvin rasakan sejak lama. Di balik senyumnya yang lembut, Meyra menyimpan cerita duka. Suaminya, Baim, adalah pria yang hanya memanfaatkan kebaikan hatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aufklarung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Rey duduk dengan tenang di meja makan, menyusuri permukaan kayu yang halus dengan jarinya, matanya fokus pada piring kosong di depannya. Namun, pikirannya terbang jauh ke luar sana, membayangkan kampus yang ramai di Singapura. Ia merasa ada sesuatu yang besar yang ingin ia raih, sesuatu yang lebih dari sekadar pendidikan. Rey ingin melangkah lebih jauh, mengejar cita-citanya, dan Singapura adalah tempat yang tepat untuk mewujudkannya.
“Mom, aku ingin kuliah di Singapura, apakah boleh?” tanya Rey dengan suara yang agak ragu, namun penuh harapan. Ia menatap ibunya, Meyra, yang sedang menghidangkan makanan, dan kemudian beralih ke ayahnya, Alvin, yang sedang duduk di kursi depan.
Alvin menatap Rey dengan penuh perhatian, terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah cerah. Tanpa berpikir panjang, ia menjawab dengan antusiasme yang jelas: “Ide bagus, Son! Itu adalah pilihan yang tepat. Papi mendukungmu sepenuhnya. Singapura punya universitas yang bagus, dan kamu pasti bisa beradaptasi dengan baik di sana.”
Rey tersenyum lebar, merasa lega mendengar dukungan dari papinya. Namun, saat matanya beralih ke ibunya, ia melihat ekspresi wajah Meyra yang sedikit berbeda. Ibunya, yang biasanya ceria dan penuh perhatian, kini terlihat sedikit termenung.
Meyra menundukkan wajahnya sejenak, seolah mencerna kata-kata Rey yang baru saja keluar. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, ia mengangkat wajahnya dan dengan suara yang lembut berkata, “Mommy senang sekali, Rey. Mommy hanya merasa... anak laki-laki mommy ini sudah mau kuliah.” Suaranya terdengar lembut, namun ada sedikit kesedihan yang tersembunyi di balik kata-katanya.
Rey merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati ibunya. Ia berdiri dan mendekat, meraih tangan Meyra dengan penuh perhatian. “Mom, kenapa mommy sedih? Apa mommy tidak suka aku kuliah di sana?” tanya Rey, matanya menunjukkan rasa khawatir.
Meyra menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Bukan begitu, Rey,” jawabnya dengan pelan, “Mommy hanya merasa, anak mommy yang dulu kecil dan selalu ada di rumah, kini sudah besar dan siap untuk menempuh perjalanan hidup yang jauh dari rumah. Rasanya… sedikit berat, tapi mommy tahu ini adalah langkah yang tepat untukmu.”
Rey memeluk ibunya erat, menyadari betapa besar perasaan ibunya. “Mom, aku akan sering menghubungi mommy dan papi. Aku janji akan selalu pulang kalau ada waktu libur. Aku tidak akan pernah lupa rumah ini, dan kalian berdua.”
Alvin yang melihat momen itu tersenyum hangat. “Mommy tahu, sayang. Papi juga tahu. Kami bangga padamu, Rey,” katanya, mengusap kepala Rey dengan penuh kasih sayang.
Meyra tersenyum, meski ada air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Kami akan selalu mendukungmu, Rey, walau hati ini berat melepaskanmu. Tapi mommy percaya, ini adalah jalan yang harus kamu tempuh.”
Rheana yang selama ini mendengarkan percakapan dengan penuh perhatian, akhirnya tidak bisa menahan diri. “Nanti kalau Kak Rey kuliah di sana, kita mengunjungi Kak Rey, ya, Mom?” tanya Rheana dengan wajah ceria dan penuh harap.
Meyra menoleh ke arah Rheana, tersenyum lebar, dan menjawab, “Tentu saja, sayang. Mommy dan papi pasti akan mengunjungi Kak Rey di sana.” Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun hatinya masih berat karena melihat anaknya bersiap untuk meninggalkan rumah.
Alvin, yang semakin merasa bangga dengan keputusan Rey, langsung melanjutkan pembicaraan, “Pastilah, kita akan sering mengunjungimu, Rey. Lagipula, siapa yang nggak mau jalan-jalan ke Singapura? Tapi, apakah papi perlu membeli satu apartemen di sana untuk tempat tinggalmu?”
Rey sedikit terkejut dengan pertanyaan papinya, namun ia segera menjawab dengan tegas, “Gak perlu, Papi. Rey hanya 4 tahun di sana, nanti setelah selesai kuliah, Rey akan pulang untuk bekerja di perusahaan Papi.”
Alvin menatap Rey dengan ekspresi serius, tapi juga penuh rasa bangga. “Dirimu mau kerja di tempat papi?” tanya Alvin, seolah tidak percaya bahwa anaknya ingin bergabung dengan perusahaannya.
Rey mengangkat alis, merasa sedikit bingung dengan pertanyaan tersebut. “Apa tidak boleh, Papi?” tanyanya kembali, menunggu penjelasan.
Alvin tersenyum lebar, menyandarkan tubuhnya di kursi sambil memandang Meyra dengan penuh cinta. “Kalau bisa, dirimu saja yang memegang perusahaan papi, Rey. Papi ingin menikmati masa tua dengan mommy, menghabiskan waktu bersama tanpa harus terlalu memikirkan pekerjaan. Tapi, tentu saja, semuanya terserah padamu.”
Rey terdiam sejenak, mencerna kata-kata papinya. Ia merasa terhormat dan sangat bersyukur memiliki orang tua yang begitu mendukung dan mempercayainya. Namun, ia juga tahu bahwa tugas besar menantinya di masa depan. “Terima kasih, Papi. Rey akan berusaha sebaik mungkin. Tapi, untuk sekarang, Rey fokus dulu pada kuliah dan belajar. Kalau sudah saatnya, Rey akan siap mengambil tanggung jawab itu.”
Meyra yang mendengarkan percakapan mereka, merasa haru. Ia melihat anak-anaknya tumbuh menjadi pribadi yang matang dan penuh visi, sementara ia dan Alvin hanya bisa mendukung dari belakang. “Kami selalu mendukungmu, Rey, apapun yang kamu pilih,” kata Meyra, menenangkan hatinya yang sedikit cemas.
Rey tersenyum lebar, merasakan dukungan tanpa syarat dari kedua orang tuanya. “Aku berjanji akan membuat kalian bangga,” ucap Rey dengan penuh keyakinan.
Alvin mengangguk, lalu dengan suara yang lebih ringan berkata, “Kami sudah bangga padamu, Rey, bahkan sebelum kamu melakukan apapun. Yang penting, kamu bahagia dan sukses.”
Rheana yang mendengarkan percakapan itu, merasa semakin semangat untuk belajar. “Nanti kalau Kak Rey jadi CEO, aku mau jadi asisten Kak Rey deh!” canda Rheana dengan senyum lebar, membuat suasana menjadi lebih ceria.
Alvin tertawa kecil, “Tentu, asalkan kamu rajin belajar dan membantu Kak Rey, ya!”
Di tengah obrolan penuh kasih itu, Rey merasa hatinya semakin mantap. Keputusan besar untuk kuliah di Singapura kini terasa lebih mudah, karena ia tahu bahwa dukungan keluarga akan selalu menyertainya, apapun jalan yang ia pilih.
Halo, Pembaca Setia! ✨
Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita ini. Dukungan kalian sangat berarti dan membantu saya untuk terus berkarya!
Jika kalian menikmati cerita ini, ada beberapa cara untuk mendukung saya:
🌟 Beri Komentar & Like – Komentar kalian memberikan semangat dan inspirasi bagi saya untuk terus menulis!
🌟 Tambahkan ke Perpustakaan – Dengan menambahkannya ke perpustakaan, kalian membantu meningkatkan popularitas cerita ini.
🌟 Bagikan ke Teman – Cerita ini akan semakin berkembang jika lebih banyak orang tahu!
🌟 Berikan Hadiah atau Tip – Jika kalian ingin mendukung lebih jauh, hadiah dari kalian akan membantu saya secara langsung dan mendorong saya untuk lebih produktif.
✨ Dukungan sekecil apapun berarti besar dan bisa membantu cerita ini mencapai lebih banyak pembaca. Mari kita lanjutkan perjalanan cerita ini bersama-sama! ✨
Salam Hangat dari saya😘😘