Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua puluh sembilan
Siang kali ini cukup berbeda dibanding siang biasanya. Halo Bandung dan Matahari nampak malu untuk hadir di langit yang biru. Dan seakan merasa langit mendukung keadaannya, maka di sinilah Raden berada. Menikmati madunya angin di pantai teratas bangunan Bina Jaya.
Jika orang-orang berkata kelas sebelas memiliki markas yaitu taman belakang sekolah, maka kelas dua belas memiliki markas di lantai teratas bangunan sekolah atau lebih tepatnya rooftop.
Jam pelajaran di kelas Raden terus menerus kosong dan membuat laki-laki itu sendiri berada di sini ditemani dengan beberapa batang aku miliknya. Ia tidak sendiri, ada Raihan dan beberapa temannya yang sama-sama keluar dari kelas bersamanya sejak jam istirahat pertama selesai tadi.
Kedua mata Raden perlahan bergerak memperhatikan Raihan yang memilih menutup mata dan terlihat menikmati keadaan mereka saat ini. Sejujurnya, pada suatu hal yang ingin kalian ketahui dari bibir Raihan, tapi entah kenapa rasanya sulit sekali untuk sekedar menanyakan hal itu.
"Kania tiap pagi berangkat bareng Laras mulu, dia nginep di tempatnya Laras kah, Han?"
Ah, syukurlah. Salah satu teman itu cukup mengerti kegelisahannya saat ini. Ia belum mengatakan pada temannya itu jika ia penasaran pada Raihan dengan masalah yang sama. Berarti ini hanya sebuah kebetulan yang perlu ia syukuri.
Raihan berdeham." Tau,," balasnya acuh.
Mendengarnya baik Raka dan juga Raden sama-sama menghela napasnya. Bagi mereka, untuk mendengar Raihan perhatian sedikit saja pada Kania adalah hal yang langka, bahkan seluruh orang-orang di sekolahnya juga tahu hal itu.
"Lo gak tau, Den?" Raka seketika melempar pertanyaan itu padanya.
"Hah?" Raden bingung, ia mengangguk ragu. " tau," balasnya berusaha untuk terdengar santai.
"Dari kapan?" Raka kembali bertanya.
"Gak usah di bahas " Raihan seketika menyela.
Raden berdeham pelan." Bokap Lo gak nyariin Kania?" tanyanya yang kasar akhirnya ikut meluapkan rasa penasarannya.
Perlahan Raihan membuka matanya, menatap Raden malas sebelum mengangkat bahunya acuh dan kembali menutup matanya. Perlakuan yang membuat Raden kembali berdesis dalam hatinya. Apa segitu tidak pedulinya Raihan terhadap kabar adiknya sendiri?
----
" Kania, tolong bantu saya ambil buku dari perpustakaan ya. Nak!"
Perintah pria tua berkacamata itu membuat Kania mendesah pelan di tempatnya sebelum pada akhirnya bangkit dari kursinya dan menuruti kemauan guru bahasa Indonesia itu.
Jujur saja, berada di dekat Sania sama sekali tidak membuat Kania nyaman. Apalagi mengingat bagaimana adu mulut yang terjadi minggu lalu. Bukankah jawabannya waktu itu seperti mengibarkan bendera perang?
"Kania," panggilan pelan Sania berhasil membuatnya mengurungkan niat untuk meninggalkan gadis itu. Perlahan sosok Sania muncul di sampingnya, hanya makan langkahnya dengan sebuah senyuman lebar yang membuatnya sebal sendiri.
"Menurut lo kado ulang tahun yang bagus buat Karel apa ya?"
Maksudnya apa nih? Dia mau pamer ceritanya?! Kania membatin tidak suka. Bahkan tatapannya yang malas seketika berubah menjadi tatapan ganas yang seakan siap untuk menikah Sania karena sedang berusaha pamer padanya.
"Ya lo tanya orangnya langsung lah!" Balas Kania terdengar acuh.
"Bukan kali aja lo punya ide, soalnya gue nggak tahu-"
"Lo yang pacaran Kenapa gue yang disuruh mikir?" Ujar Kania sinis.
"Kan nanya-"
"Gue nggak suka ditanya sama lo!" Bukannya kembali menyela cepat. Maaf, ia tidak akan membiarkan Sania melancarkan aksi pamer-pamer padanya.
Penolakannya yang signifikan itu berhasil membuat Sania menutup mulutnya. Ia menyesal karena harus menurut pada suruhan guru bahasa Indonesia itu tadi. Bisa berusahanya Kania untuk bersikap biasa saja, ia akan tetap merasa kesal jika Sania tidak tahu batas seperti barusan. Lagi pula dia juga tahu, bahwa Senin sadar akan perasaannya pada Karel. Lalu mengapa gadis itu sengaja sekali mengajak bicara tentang Karel?
"Dulu waktu sekolah dasar Karel suka banget apapun yang berkaitan sama super Hero gitu sih,," Sania kembali bersuara pelan.
Ini orang mulutnya minta gue jahit kali ya. Gerutu Kania mulai geram.
"Apa gue beliin-"
"Beli aja beli!" Kania menyela jengkel." Buat apa si nanya-nanya gue?"
Sania mencebik." Kan gue pengen tau pendapat Lo,," balasnya sendu." Tapi kayaknya apa aja yang gue kasih, dia bakal suka nggak sih?" tanya ya belum menyerah.
"Lu mau sekalian gue beliin aja nggak hadiahnya buat Karel?" Kania seketika bersuara.
"Emang Lo mau?" Sania membalas antusias.
Kania mengangguk semangat." Kalau sampai Karel suka sama kadonya, berarti lu tahu kan,,," ia menggantung kalimatnya." Gue lebih tahu selera dia dibandingkan Lo!" Ucapnya tajam sebelum memilih untuk melangkahkan kakinya lebih cepat dibandingkan Sania. Ah, gadis itu benar-benar suka sekali mencari masalah dengannya.
"Karel!"
Nama itu seketika mengudara ketika Kania menemukan sosok jangkung yang baru saja keluar dari perpustakaan. Emang jodoh, batinnya bersuara.
Langkahnya kembali dia percepat untuk menghampiri laki-laki yang sudah menatap juga ke arahnya.
Kania tersenyum lebar." Abis ngapain -"
"San!"
Sialan!
Gara baru saja menyebut nama Sania dan mengacuhkannya begitu saja. Malu.
Kania berdesis. Kenapa sulit sekali membuat Karel melihat keberadaannya.
"Mau ngapain?" Karel bertanya dengan ramah.
Bayangkan, betapa sakit hatinya Kania. Di hadapan Sania, Karel bisa bersikap lemah lembut. Sedangkan di hadapannya, laki-laki itu sudah seperti iblis yang siap menguji iman.
"Ambil buku."
"Berat gak?"
Sania mengangguk." Enam paket."
"Aku aja yang bawa."
Mendengar kalimat terakhir itu Kania seketika membulatkan matanya jengah. Kurang ajar!
Seakan kehadiran yang semakin tidak dianggap, Sania dan juga Karel melewatinya kembali, memasuki perpustakaan tanpa kata padanya, Bahkan ia seperti nyamuk dalam hubungan mereka sekarang.
"Sini, berat!"
Kania mencibir ketika Karel dengan baiknya mengambil semua buku paket hasil petunjuk Sania. Bahkan laki-laki itu tersenyum, iya benar, sekarang laki-laki itu tersenyum lebar.
"Bawa, Kan!" Karel seketika berseru ketika menemukan dirinya yang malah berdiam diri sembari memperhatikan dua orang di hadapannya itu.
Jujur saja, ingin hati menolak. Tapi jika sudah perintah Karel, apa yang Kania boleh buat selain menurut.
"Berat, Rel!" Keluh Karel serius. Ini masalahnya Karel menyuruhnya membawa beban yang sama dengannya, bagaimana ia tidak semakin merasa jengkel?
"Lemah!"
"Idih!" Cibir Kania tidak terima." Lo mau bantuin bawa setengahnya apa nggak?!" Tanyanya seolah memaksa, ia kemudian beralih pada Sania." Nih bawa setengah-setengah Lo sama gue-"
"Sini kasih gue aja setengahnya!" Karel seketika bersuara.
"Tangan Sania masih kosong tuh!" Kania menolak." Bawa lah, San!" Perintahnya ulang.
"Gak usah! Sini gue aja!"
"Nyebelin banget ya lo!" Ucap Kania jengkel.
"Cepet, sebelum gue berubah pikiran!" desis Karel.
"Udah, sini, Kania." Sania seketika menyahut pelan.
"Enggak!" Karel kembali menolak." Aku aja-"
"Aku?!"
Ah, tolonglah. Kania benci sekali keadaan ini.
"Udah! Lo bawa setengahnya tuh!" Karel seketika mengambil paksa setengah barang yang berada di tangannya.
"Rel!" Kania kembali memanggil Karel dan juga Sania yang sudah lebih dulu melewatinya.
"Apaan lagi?"
Tanpa kata, Kania menaruh semua buku paket yang tersisa di tangannya sembarangan di lantai. Ia kemudian tersenyum lebar pada Karel." Lo bawa aja semuanya, gue mau ngerokok!" ucapnya pasti sebelum melangkah pasti meninggalkan Sania, buku paket dan juga Karel yang ikut terperangah akan ulahnya.
"Kania-"
"Tangan gue terlalu lemah untuk bawa beban!" Ia menyahut sebelum menghilang di pintu utama perpustakaan.
Kalau Sania saja bisa menyuruh Karel. Mengapa Kania tidak bisa?
Dan jika Karel benar-benar mengira ia akan merokok, maka laki-laki itu salah besar. Ia akan kembali ke kelas dan membuat Karel kembali mendidih karena ulahnya.
"Permisi, pak." Kania bersuara setelah tangannya mengetuk pelan pintu kelasnya.
"Bukunya mana, Kania?" Guru bahasa Indonesia itu bertanya.
"Ada yang mau bantu, pak. Jadi saya balik lagi aja ke kelas." Ia membalas tanpa rahuu. Langkahnya kembali pasti menuju tempat duduknya. Ia melebarkan senyumannya ketika Laras menatapnya seolah bertanya apa maksud dari perkataannya barusan.
"Permisi, pak."
Ini dia yang Kania tunggu. Karena tepat ketika kaki Karel memasuki kelasnya, kedua mata laki-laki itu langsung terarah kepadanya dan saat itu juga ia tersenyum lebar. Tenang, Karel. Kania tidak bisa kamu bodohi.