"Shaka! Nimas sedang hamil anakku. Tolong nikahi dia, jaga dia seperti kau jaga orang yang kau cintai. Ada darahku yang mengalir di janin yang sedang di kandung. Terima kasih."
Itu adalah amanah terakhir dari Bryan, Kakak dari Shaka. Sejak saat itu Shaka benar-benar menjalankan amanah dari sang Kakak meskipun ia sendiri sudah memiliki kekasih yang ia pacari selama dua tahun.
Tidak mudah bagi Shaka saat sedang menjalani apa yang sudah di amanahkan oleh Bryan. Berbagai tentangan dari sang kekasih dan juga kedua orang tuanya tak bisa ia hindari.
Mampukah Shaka menjalani bahtera rumah tangga dengan wanita yang bahkan belum ia kenal? Sampai kapan Shaka kuat menjalankan amanah yang di limpahkan padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Membingungkan
"Ada yang masuk kamar sebelum Bibi, ya? Dari tadi saya tidur soalnya."
"Tadi pas Bibi antar makanan ada Bu Marissa di depan pintu. Berarti tadi Non Nimas gak ketemu sama Ibu?"
"Enggak, apa mungkin karena saya tidak mendengar ada ketukan pintu jadi Mama balik lagi, ya? Mungkin seperti itu, ya udah makasih, ya Bi."
Nimas masih meneliti kapsul yang ada di tangannya. Kepalanya benar-benar tidak bisa dibuat untuk berpikir. Bagaimana bisa kapsul yang seharusnya tertata rapi di meja dekat ranjang, bisa jatuh sampai ke tengah pintu? Jatuh? kalau jatuh kenapa hanya satu dan kenapa sejauh itu?
Merasa tidak perlu memikirkan hal itu dulu, Nimas memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Baru setelah itu ia akan mencari tahu kenapa kapsulnya bisa ada sampai di tengah pintu.
Saat sedang menikmati makanan siangnya, ponsel yang sejak tadi menjadi temannya bergetar panjang. Ia pun meraihnya. Terbit seulas senyum saat melihat siapa yang menelepon dirinya.
"Iya, Mas. Aku lagi makan, kamu udah makan?" sapa Nimas menyenderkan gawainya di bantal agar ia leluasa untuk makan.
"Iya, ini aku juga makan. Di dekat resto tempatku makan ada toko kue. Mau nggak?" Shaka memperlihatkan sepiring nasi pada istrinya.
Nimas tidak terlalu fokus pada Shaka. Matanya meneliti setiap makanan yang terpajang di meja. Entah kenapa ia begitu tertarik dengan makanan yang ada di hadapan suaminya.
"Aku nggak mau kue, aku maunya yang itu aja?" Nimas menunjuk salah satu makanan yang ia lihat di meja.
Sadar sedang memperhatikan makanan miliknya, Shaka akhirnya mengabsen satu-satu apa saja yang ia beli agar mengerti makanan yang mana yang dimaksud Nimas.
"Ikan? Kamu mau ini? Iya aku akan bungkuskan nanti, ya."
"Nggak mau, maunya yang punya kamu. Aku nggak mau yang baru," jawab Nimas cepat.
"Kamu maunya sekarang?"
"Nggak apa-apa nanti dibawa pas sekalian pulang aja. Nanti kamu bolak-balik."
"Iya, ya udah makan dulu sekarang yang ada di depan kamu, ya. Nanti ikannya aku bawa pulang. Jangan lupa vitamin yang dari dokter diminum, ya. Aku makan dulu."
Obrolan mereka selesai sampai di sana. Shaka yang pertama kali menerima keinginan dari Nimas pun tak berpikir panjang. Ia langsung membungkuskan ikan gurami asam manis yang berada di mejanya. Entahlah, ia merasa senang jika istrinya itu menginginkan sesuatu darinya.
"Kenapa dibungkus, Pak?" tanya sekretaris Shaka.
"Istriku menginginkan ikan ini, jadi aku bawa pulang saja. Kau nanti tidak apa-apa, kan balik ke kantor naik taksi dulu? Aku harus pulang mengantar ini."
"Tidak masalah, Pak. Istri Bapak sepertinya mulai menginginkan sesuatu yang aneh. Saya sampai sekarang bingung, mereka itu ngidam apa memanfaatkan kehamilan mereka agar di turuti keinginannya? Masalahnya mereka selalu membawa-bawa 'bayinya yang mau bukan aku'. Selalu seperti itu yang dikatakan oleh istri saya, Pak ketika dia hamil."
Shaka terkekeh mendengar cerita sekretarisnya. Ia akan senang jika dirinya direpotkan seperti itu oleh Nimas. Itu artinya wanita itu sudah mulai nyaman dan terbuka pada suaminya sendiri. Dan Shaka saat ini sedang menunggu waktu itu datang.
"Kalau dipikir secara logika memang tidak masuk akal. Mana mungkin seorang janin atau bayi yang belum tahu dunia luar menginginkan hal yang dari luar. Ya itulah wanita, mereka memang terlalu rumit untuk dipahami kalau kita nggak ngerti. Tapi kalau kita berusaha untuk mengerti, berusaha untuk peka sama dia, mudah kok ngebahagiain mereka. Mereka itu bahagia dengan hal-hal yang sederhana, nggak perlu yang mewah. Mungkin nggak semua wanita seperti itu, tapi kebanyakan dari mereka mencintai hal-hal yang sederhana."
Sang sekretaris membenarkan ucapan atasannya. Selesai menyelesaikan makan siang, mereka pergi ke tempat tujuan masing-masing. Shaka pulang ke rumah sedangkan sekretarisnya kembali ke kantor lebih dulu.
***
Selesai makan, Nimas kembali menimang-nimang kapsul yang diberikan oleh asisten rumah tangganya tadi. Lama ia berada di posisi seperti itu, namun di detik berikutnya terbesit di kepalanya untuk mengambil kotak obat yang berisi kapsul yang sama. Menuangkannya satu ke telapak tangan dan membandingkan kapsul yang jika dilihat dengan teliti tidak memiliki kesamaan.
"Kok beda?" Nimas meneliti lebih dekat, kedua bola matanya sampai menyipit demi untuk melihat perbedaan yang jelas.
"Iya ini beda. Kok bisa sih?" Nimas semakin bingung.
"Aku nggak tahu obat yang mana yang benar? Aku tunggu Shaka aja lah dari pada aku minum vitamin yang salah."
Sementara dilantai bawah, Shaka baru saja tiba dan masuk ke dalam rumah. Ia berpapasan dengan sang Ibu saat hendak menaiki anak tangga yang paling bawah.
"Tumben jam segini pulang? Mau makan di rumah?"
"Nggak, bawain Nimas makanan. Di pengen ikan."
Tak ada lagi percakapan setelah itu, karena Shaka memilih untuk segera melanjutkan langkahnya.
"Aku pulang," sapa Shaka membuka pintu kamar. "Ikan yang kamu minta." Shaka menyodorkan kantong kresek yang berisi sekotak ikan yang sisa tadi siang.
"Kan aii bilang nanti aja pas pulang nggak apa-apa. Kenapa kamu harus repot seperti ini?"
"Nggak repot, kan buat istri sendiri. Makan sekarang? Aku ambilkan nasi kalau iya."
Mata Shaka lalu tak sengaja menatap telapak tangan Nimas yang terdapat dua kapsul yang sama.
"Mau minum vitamin? Kok langsung dua?"
Mendapat pertanyaan seperti itu membuat Nimas menundukkan kepalanya menatap dua kapsul yang terpajang di telapak tangan.
"Oh ini, coba telapak tangan kamu, aku minta."
Shaka melipat keningnya bingung, tapi ia tetap melakukan permintaan istrinya. Sejurus kemudian dua kapsul berwarna sama itu berpindah tangan ke tangan Shaka.
"Coba deh kamu teliti itu kapsulnya. Kapsul ini beda, Mas."
Shaka membolak-balikkan dua kapsul itu, melihat setiap sisi sudut dan juga mengukur apakah panjang kapsul itu sama, besar kapsul itu berbeda atau tidak. Setelah beberapa saat berkutat dengan kapsul itu, Shaka kembali menatap ke arah istrinya.
"Ini maksudnya gimana, aku nggak paham. Ini vitamin kamu semua? Kok beda? Kapsul kamu cuman satu, kan?"
Mengalirlah cerita Nimas setelah ia bangun tidur tadi. Tentu saja ada part yang ia tinggalkan, ia tak menyinggung soal Bu Marissa yang bertemu dengan Bibi di depan kamarnya. Ia khawatir jika terjadi kesalahan pahaman dan malah timbul fitnah yang justru akan memperkeruh suasana.
"Kamu yakin nggak ada yang masuk kamar selain Bibi?"
"Aku, kan tidur. Aku merasa nggak ada yang ketuk pintu sebelum Bibi. Aku bingung aja, Mas. Aku nggak ingat kapsul yang mana yang kemarin aku minum. Kalau memang kapsul yang ini, kenapa hanya satu dan ada di pintu kamar kita. Apa maksudnya?"
"Sini vitaminnya, biar aku bawa ke dokter yang menangani kamu pas pendarahan. Belum kamu minum, kan?"
Nimas menggeleng.