Aydin terhenyak, dunianya seakan tiba-tiba runtuh saat seorang gadis yang bahkan dia tak tahu namanya, mengaku sedang hamil anaknya.
Semua ini berawal dari sebuah ketidak sengajaan 3 bulan yang lalu. Saat diacara pesta ulang tahun salah satu temannya, dia menghabiskan malam panas dengan seorang gadis antah brantah yang tidak dia kenal.
"Kenapa baru bilang sekarang, ini sudah 3 bulan," Aydin berdecak frustasi. Sebagai seorang dokter, dia sangat tahu resiko menggugurkan kandungan yang usianya sudah 3 bulan.
"Ya mana aku tahu kalau aku hamil," sahut gadis bernama Alula.
"Bodoh! Apa kau tak tahu jika apa yang kita lakukan malam itu, bisa menghasilkan janin?"
"Gak udah ngatain aku bodoh. Kalau Mas Dokter pinter, cepat cari solusi untuk masalah ini. Malu sama jas putihnya kalau gak bisa nyari solusi." Jawaban menyebalkan itu membuat Aydin makin fruatasi. Bisa-bisanya dia melakukan kesalahan dengan gadis ingusan yang otaknya kosong.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PERSIAPAN PERNIKAHAN
"Mbak, bengkak dibagian mata jangan sampai kelihatan ya," pinta Alula pada MUA yang tengah meriasnya. Dan permintaannya itu, langsung diangguki oleh seorang wanita yang saat ini duduk didepannya.
"Eye shadownya juga jangan terlalu bold, lipstik juga. Dibikin flawless aja, ala-ala aktris korea." MUA tersebut lagi-lagi hanya mengangguk sambil tersenyum demi bayaran. Namun dalam hati, dongkol setengah mati karena dari tadi, Alula terus ngoceh minta ini itu.
"Mbak, coba diukur lagi deh kebayanya," pinta Alula pada wanita yang sedang mengakali ukuran kebaya yang akan digunakan Alula. Karena mendadak, Alula tak beli kebaya, hanya menyewa ditempat MUA. "Takut masih kebesaran. Aku gak mau kelihatan gendut, harus pres bodi."
"Udah diukur 2 kali tadi, Mbak," jawab orang tersebut dengan nada sedikit kesal.
Setelah urusan make up dan hair do selesai, Alula segera mengenakan kebayanya. Namun karena ukuran yang terlalu pres body, perutnya malah kelihatan sedikit buncit. "Mbak, digedein dikit bisa gak ukurannya, perutku kelihatan buncit." Orang tersebut tampak membuang nafas berat. Sumpah, baru kali ini dia dapat klien super ribet kayak Alula. Udah waktunya mepet, tapi ribetnya minta ampun.
"Enggak kok, langsing gitu perutnya," ujar orang itu sedikit berbohong.
"Apa hanya perasaanku doang ya?" Alula memiringkan badan didepan cermin, melihat dari samping seperti apa penampilannya. Ah, tapi bener kok, perutnya terlihat buncit. Tapi kenapa orang itu bilang enggak? "Kelihatanlah, Mbak."
"Mbak, waktunya udah mepet, udah gak bisa lagi divermak kebayanya." Cuma nikahan dirumah doang, tapi ribet, gerutunya dalam hati.
Sementara dibawah, Mama Iren sibuk mengurusi catering. Papa Jefri, pria itu tampak berbincang dengan beberapa warga yang hari ini diminta kehadirannya sebagai saksi, termasuk Pak RT. Sedikit malu juga, karena siapapun pasti bisa menebak apa yang terjadi jika seorang anak SMA, mendadak dinikahkan. Tapi untungnya, mereka tak membahas soal itu. Mungkin demi menjaga kesopanan. Apalagi Papa Jefri termasuk warga yang disegani disini.
Dan Eliza, dia yang baru pulang kerja bingung melihat keriwehan di rumahnya. "Mau ada apa sih, Ma?" tanyanya pada Mama Iren.
"Lula mau nikah."
"Hah!" pekik Eliza sambil melotot. "Me-menikah? Kok dadakan gini?"
"Gimana lagi, orang udah hamil."
"Terus, Mama udah kenal sama lakinya?"
Mama Iren menggeleng, "Belum. Tapi Papamu sudah kenalan tadi pagi. Udah ngasih restu juga."
"Secepet itu Papa ngasih restu?" Mama Iren mengangguk. Dia juga tidak tahu pasti alasan suaminya begitu cepat merestui, entah hanya untuk menyelamatkan diri dari rasa malu, atau laki-laki itu memang pantas untuk Alula. "Mama kenal, orangnya?"
"Kata Papa kamu sih, dia dokter."
"Dokter?" Eliza mengerutkan kening.
"Iya. Malahan kata Papa, kerjanya di rumah sakit yang sama dengan kamu." Mata Eliza membulat sempurna. Menebak-nebak siapakah gerangan pria itu.
"Mama tahu siapa namanya?"
"Tadi udah dikasih tahu, tapi lupa. Din, Din gitu pokoknya. Udin, Adin, Radin, Saifudin, atau....Ahhh Mama lupa. Pokoknya din din gitu namanya." Mungkin karena faktor U, dia jadi pelupa.
"Din din," Eliza memutar otak mengingat nama-nama dokter ditempatnya bekerja yang namanya seperti itu. Apa mungkin Dokter Rahmadin? Tapi dia sudah menikah. Dokter Jalaludin? Mustahil, sudah terlalu tua. Dokter Aydin? Ah...rasanya tidak mungkin. Dia sangat pendiam dan kata teman-temannya, gak punya pacar. Astaga, siapa sebenarnya. "Lula mana? Biar aku tanya saja sama dia."
"Jangan ngurusin Lula, mending kamu mandi, siap-siap, satu jam lagi lagi pihak laki-laki datang. Katanya bahkan mereka sudah mau otw. Cepetan mandi terus dandan, nanti temeni Mama."
"Tapikan Eliza penasaran Mah."
"Halah, nanti juga tahu. Buruan sana dandan." Bukannya segera ke kamar, Eliza malah bergeming sambil memikirkan siapa itu Din din. "Eh...malah bengong," seru Mama Iren sambil menepuk lengan Eliza.
"Jangan-jangan, Nurdin Mah. Iya Nurdin, Eliza yakin itu," wajah Eliza seketika berubah syok. "Nurdin terkenal mesum, suka godain dokter, suster, bahkan pasien. Fix, ini pasti Nurdin. Astaga Alula, kok bisa sih, sampai mau sama Nurdin," Eliza berdecak pelan.
"Emang kenapa dengan Nurdin?"
"Dia itu belum jadi dokter Mah, masih koas."
"Loh loh loh, gak bahaya tah. Papamu kok bisa-bisanya ikut ketipu juga."
"Mungkin Papa cuma mau menyelamatkan nama baik Alula. Biar anak Lula ada bapaknya."
"Iya juga sih," Mama Iren manggut-manggut. "Udah sana cepetan mandi lalu dandan." Dia mendorong Eliza menuju tangga. "Jangan mampir dulu ke kamar Lula, nanti kalian ngobrol jadinya kelamaan," peringatnya.
Eliza menaiki tangga dengan perasaan campur aduk. Bisa-bisanya Alula kena tipu daya si Nurdin. Apa adiknya itu putus asa karena gagal menggoda Willy, sampai akhirnya kena perdaya Nurdin.
Saat melewati pintu kamar Alula yang terbuka setengah, Eliza tak tahan untuk tidak masuk. Dia mengabaikan larangan Mamanya dan memilih tetap masuk.
"Masyaallah, adik Kak El cantik sekali," puji Eliza. Rasanya dia pengen nangis sekarang. Bisa-bisanya adiknya yang cantik itu mau menikah dengan Nurdin yang bisa dibilang wajahnya dibawah standar SNI.
Melihat Eliza, Lula jadi terbawa perasaan. Teringat cerita papanya tadi tentang masa lalu Eliza. "Kak," dengan mata berkaca-kaca, Alula menghampiri Eliza lalu memeluknya. "Maafin Alula ya, Kak. Maaf." Alula menahan tangisnya, takut make up nya rusak.
"Kenapa minta maaf," Eliza melepaskan pelukan Alula. Menyeka beberapa tetes air mata yang lolos dari pertahanan Alula. "Kakak gak papa kok, kamu nikah duluan. Eliza salah mengartikan permintaan maaf Alula. "Meski ada yang bilang bakal susah jodoh kalau dilangkahin adiknya, tapi Kakak sama sekali tak percaya yang seperti itu. Udah, jangan nangis."
"Alula sayang, Kakak."
"Kakak juga sayang Lula." Eliza meraih kedua tangan Alula lalu menggenggamnya. "La, kamu yakin mau nikah? Nikah itu untuk selamanya loh, seumur hidup, kamu yakin? Masih ada waktu kalau mau mundur." Membayangkan punya suami kayak Nurdin, Eliza sudah horor sendiri. Betapa nelangsanya hidup jika setiap mau tidur dan bangun, harus melihat wajah pria itu.
"Mundur? Enggaklah. Lula yakin 1000 persen mau nikah."
"Emang lo cinta sama dia, La?"
Alula mengangguk cepat, membuat Eliza langsung memejamkan mata. Sepertinya Alula sudah dipelet, makanya jatuh cinta pada Nurdin.