Pesona Istri Titipan
Tangan Nimas bergetar hebat saat memegang benda tipis bernama testpack. Bagaimana tidak? Garis yang muncul di benda itu berjumlah dua. Semua orang tahu makna dari dua garis yang ada di benda keramat bagi wanita yang belum menikah itu.
"Nggak, nggak mungkin. Ini pasti salah, aku baru melakukannya satu kali dengan Bryan tidak mungkin aku langsung hamil. Tidak mungkin secepat itu."
Tidak terima dengan hasil testpeck yang pertama. Gadis itu kembali keluar rumah untuk membeli beberapa testpeck lagi.
Setelah berlarian ke apotek, Nimas kembali melakukan tes. Ia yakin tes yang pertama tadi tidaklah benar.
Namun, harapan tinggalah harapan. Entah sudah keberapa kali Nimas melakukan tes, hasil yang benda laknat itu keluarkan tetap sama, menunjukkan garis dua yang mengartikan bahwa gadis itu tengah hamil.
Nimas pembenturkan punggungnya ke dinding kamar mandi dan melorot ke lantai. Tangisannya pecah saat itu juga. Hidup seorang diri di perantauan, tidak ada siapapun keluarga yang berada di kota, dan sekarang ia harus hamil di luar nikah. Naas sekali nasib yang menimpa Nimas.
"Ya Tuhan. Apa yang harus aku lakukan, Ibu dan Ayah pasti akan murka jika tahu aku hamil sebelum aku menikah. Kenapa kau harus ada di rahimku? Aku khilaf sudah melakukan hubungan itu, kenapa kau harus ada di rahimku?" teriak Nimas histeris seraya memukul perutnya dengan kencang.
Sementara di luar kosnya, kekasih Nimas, Bryan baru saja tiba di halaman kos. Sudah menjadi rutinitas sehari-hari Bryan mengantar jemput kekasihnya sebelum ia berangkat ke rumah sakit untuk bertugas.
"Sayang, aku datang," teriak Bryan membuka pintu kosan kekasihnya.
Sepi. Tidak ada tanda-tanda ada Nimas di kamar. Biasanya gadis itu akan menunggu dirinya di kasur lantai yang beralaskan karpet.
"Sayang?" panggil Bryan sekali lagi.
Pria itu masuk ke dalam kamar, samar-samar ia mendengar suara isakan yang berasal dari kamar mandi. Ia pun berjalan cepat menuju ruangan yang tak besar itu.
"Sayang kamu di dalam? Ini aku, kamu kenapa nangis di sana?" tanya Bryan mengetuk pintu kamar mandi.
Tak ada sahutan, hanya tangis yang terdengar semakin jelas dan menyayat. Bryan mencoba menekan gagang pintu yang ternyata yang terkunci itu.
Jantungnya terasa melompat dari tempatnya begitu melihat Nimas yang terduduk di lantai kamar mandi seraya memukul perutnya.
"Hey, kamu kenapa? Kamu kenapa, Sayang? Apa yang terjadi?" Bryan panik, ia berusaha mencegah tangan Nimas untuk terus memukuli perutnya sendiri.
"Sayang, lihat aku! Ada apa?" Bryan kembali bertanya seraya memaksa Nimas untuk mendongakkan kepala.
Nampak wajah dan mata sembab dari gadis berusia dua puluh dua tahun itu.
"Aku hamil, Bryan. Apa yang kita lakukan malam itu membuat darah dagingmu tumbuh di rahim aku." Nimas menjawab dengan isakan.
Bagai disambar petir dua kali, Bryan terasa mati untuk beberapa detik. Nafasnya tiba-tiba memburu dengan gemuruh. Malam panjang yang terjadi satu bulan lalu ternyata membuat cairan kentalnya berubah menjadi gumpalan bernyawa.
"Kamu hamil?" tanya Brian sekali lagi dengan ada yang sangat lemah. Seakan sarapan yang ia telan tadi pagi di rumah entah hilang ke mana.
"Bagaimana nasibku, Bryan? Ayah dan ibuku di kampung pasti marah. Aku sudah mempermalukan mereka. Aku nggak mau dia lahir, Bryan. Aku mau menggugurkannya saja."
"Tidak Nimas! Jangan lakukan kesalahan yang lebih besar. Anak ini tidak salah, yang salah itu kita. Meskipun kita melakukan tanpa sadar, kita malam itu khilaf, tapi yang salah tetaplah kita. Jangan korbankan anak kita. Aku akan tanggung jawab. Kita akan menikah demi anak ini."
Bryan membawa kekasihnya ke dalam dekapan hangatnya. Jalan ini tentu saja tidak mudah. Ia pasti akan mendapatkan amukan dari kedua orang tua Nimas dan juga kedua orang tuanya. Tapi jalan satu-satunya adalah bertanggung jawab dan menikahi kekasihnya itu.
"Ya udah ayo kita keluar kamar mandi. Kamu istirahat aja, ya nggak usah kerja. Aku pulang dulu, aku harus ngomong sama orang tuaku. Habis itu kita pulang kampung. Kita minta restu sama kedua orang tua kamu juga. Mungkin ini terlihat menyeramkan dan akan terasa sulit, tapi ini untuk kebaikan kita."
"Kamu nggak lagi bohong sama aku, kan? Kamu akan kembali dengan membawa tanggung jawab?"
"Nggak Sayang, nggak. Aku nggak akan pernah ingkar janji. Ya udah aku balik, ya. Aku akan segera kembali. Akan aku bawa kandungan kamu periksa ke dokter. Jangan di pukuli lagi perutnya."
Cup
Satu kecupan kecil mendarat mulus di kening gadis kecilnya itu. Bryan kembali pulang setelah tahu kabar yang entah bagaimana ia menjelaskan, bahagia atau buruk, semua bercampur menjadi satu dan Bryan tak bisa memisahkan kedua rasa itu.
Namun, dalam hati kecil Bryan ia ragu untuk mengantongi restu dengan cepat dan lancar. Kedua orang tuanya yang memandang orang lain begitu rendah membuat ia khawatir soal restu dan respon mereka saat tahu anak sulungnya menghamili gadis dari desa.
Bryan mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi dan setengah melamun. Pikirannya terbelah entah menjadi berapa bagian.
Pikirannya kembali fokus ketika tiba-tiba mobil di depannya yang dari arah berlawanan melaju dengan ugal-ugalan. Bryan menginjak rem dengan kuat, tapi sayangnya tabrakan tetap saja tak bisa dihindari. Mobil Bryan justru tertabrak oleh truk bermuatan besar di belakangnya.
Truk yang melaju cukup kencang membuat mobil Bryan terseret ke depan beberapa meter. Bryan mendadak linglung, ia sempat memutar setirnya ke arah pinggir jalan namun dorongan truk dari belakang cukup kencang sehingga Bryan terlempar keluar mobil.
Pyaaarr!
"Astaga, ada apa ini? Kenapa tiba-tiba foto Bryan jatuh?" gumam Bu Marissa memungut bingkai foto Bryan saat wisuda.
Wanita yang melahirkan Bryan tiga puluh tahun itu memungut kaca yang berserakan di lantai. Pikiran dan hatinya mendadak tak enak. Beliau memikirkan anak sulungnya yang baru saja berangkat bekerja.
"Ada apa, Ma? Apa yang jatuh?" tanya Pak Malik, Ayah Bryan.
"Foto Bryan. Perasaan Mama nggak enak, Pa. Kata orang tua zaman dulu kalau ada foto yang jatuh tanpa sebab, kan ada apa-apa sama pemilik foto. Mama kok jadi kepikiran Bryan, Pa."
"Mama percaya kok sama mitos. Semua yang terjadi itu ada penyebabnya. Ya mana bisa foto itu jatuh tanpa sebab. Mungkin ada cicak yang lewat dan nyenggol foto sampai jatuh. Ada-ada aja. Mikir yang baik-baik, terkadang sesuatu bisa terjadi juga karena hasil pemikiran kita. Ya udah, Papa kerja dulu. Jangan dipungut itu kacanya, kayak nggak punya pembantu aja!" sungut Pak Malik berlalu dari hadapan istrinya.
Tak berselang lama, dering ponsel rumah berdering ingin segara di raih. Bu Marissa meninggalkan pecahan kaca itu dan menghampiri telepon kabel yang berisik itu.
"Iya halo dengan kediaman keluarga Narendra, ada yang bisa saya bantu?"
"Apa?" pekik Bu Marissa tekejut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 118 Episodes
Comments
Ahmad Nashrullah
aneh,,,,,berzina,,,,meninggalkan aib n anak tak bernadab ke dirinya mo metong malah meninggalkan wasiat g genah,,,,,anehhhh
2024-09-19
0
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-03-08
0
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-03-08
0