" Menikah dengan siapa?! om pamungkas?!!" suara Ratih meninggi, di tatapnya semua anggota keluarganya dengan rasa tak percaya.
" Pamungkas adalah pilihan terbaik untukmu nduk.." suara papanya penuh keyakinan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sudahi
Adi naik ke atas tangga dengan langkah hati hati.
Melihat kakaknya naik ke atas tangga Pamungkas melepaskan pelukannya.
" Tingkah kalian seperti tidak ada tata krama saja, malam malam ribut! apa yang kalian ributkan?!" bentak Adi saat sampai di lantai atas dan berhadapan dengan kedua anaknya.
" Kau juga Pam! malah ikut rame!" Adi memandangi adiknya lalu kembali lagi pada kedua anaknya.
" Kau memukul adikmu?" tanya Adi pada Hendra saat melihat Ratih terus memegangi pipinya.
Hendra diam tak menjawab,
" Mas.. aku bisa jelaskan.." Pamungkas ingin bicara, namun Ratih buru buru memotongnya.
" Tidak pah?!" sela Ratih cepat,
" aku dan mas Hendra hanya bercanda saja, tapi om mengira mas Hendra serius, jadi om marah..?" jelas Ratih,
" yang benar Ratih? papa tidak suka ada kekerasan di dalam rumah?!"
" sungguh pa.. ini hanya salah faham??" Ratih meyakinkan papanya.
Pamungkas tidak ikut sarapan pagi ini, ia buru buru pergi kerumah yang ia beli satu setengah tahun yang lalu.
Setelah kejadian semalam, tentunya ia tidak mungkin lagi tinggal,
meski kakaknya memaksanya untuk tetap tinggal disana.
Pamungkas Memarkirkan mobil yang ia pinjam dari kakaknya ke dalam halaman rumah bercat putih itu.
Tak ada pagar, pagar yang lama roboh dan belum di pasang kembali.
" Pak Pamungkas? pripun kabare?( bagaimana kabarnya?)" tanya bapak bapak yang di tugaskan Pamungkas untuk merawat rumahnya setahun setengah ini.
" Sae ( baik) pak Agus.. bapak sehat?"
Pamungkas menyalami pak Agus,
" Alhamdulillah.. sehat, sudah saya bersihkan.. tinggal pasang sprei dan lainnya.."
" walah.. saya hanya mampir, nanti sore saya sudah kembali ke tempat kerja saya.." Pamungkas masuk ke dalam rumah yang bangunannya cukup klasik itu.
Modelnya seperti rumah lama, sedikit mirip bangunan belanda,
kaca jendelanya lebar lebar, pintunya besar,
terdiri dari tiga kamar tidur,
dua kamar mandi yang letaknya berdampingan, satu dapur yang cukup luas seperti dapur dapur orang jaman dulu,
dan tentu saja satu ruang tamu dan satu ruang keluarga.
" Ini cat setahun yang lalu ya pak?" tanya Pamungkas,
" benar pak.. apa perlu saya cat ulang?"
" ah, nanti saja.. kalau surat pindah saya sudah turun, sekalian cari tukang untuk merubah beberapa bagian rumah,
seperti dapur.. terlalu luas jadinya seram,
kita pergunakan untuk ruang makan saja setengahnya, jadi kita sekat dan buat rak rak kecil," ujar Pamungkas,
" oh, nggih pak.." pak Agus mengangguk angguk saja.
Pamungkas masuk ke kamar depan, kamar yang paling luas, bahkan dua tempat tidurpun bisa masuk.
Jendelanya yang besar itu benar benar membuat pemandangan di luar terlihat sangat jelas.
" Pak.. kalau pulang lagi, saya belikan tanaman ya, kalau kosong begini kurang nyaman.. karena rumah ini banyak jendelanya.."
" baik, pak.. anu maaf, kemarin istri saya sempat usul, mau di tanami lavender di sekeliling rumah, apa boleh pak?" ijin pak Agus,
" Lavender? yang unggu itu?"
" nggih.. sama serai pak, tapi serai hanya di halaman belakang saja, sama empon empon lainnya..?"
" empon empon? bumbu pak?"
" nggih mas.."
" buat apa pak.. ndak usah nambah nambahi pekerjaan njenengan?"
" tidak apa apa.. istri saya yang mau tanam kok pak, lagi pula berguna kalau istri bapak nanti masak?"
Pamungkas tertawa,
" belum ada istri pak saya ini.." ujarnya,
" ya siapa tau nanti.."
" hahahahaa.. Pamungkas tertawa, namun di dalam tawanya muncul bayangan Ratih sekelebat, itu membuat tawanya terhenti seketika.
" Ya sudah tanam saja apa yang menurut bapak baik di tanam.. saya percayakan pada bapak.." ujar Pamungkas.
" Pak.. tolong panggil tukang pagar ya pak, saya mau yang tengahnya pakai kayu.." ujar Pamungkas lagi,
" oh, nggih pak.."
" nanti datang ke orangnya, kirim contoh fotonya ke saya,
biar pasangnya pas saya pulang nanti saja..",
lagi lagi pak Agus hanya mengangguk.
Sesampainya dirumah Hendra menemui Pamungkas di kamarnya,
raut wajah Hendra masih muram seperti semalam.
" Akan ku lupakan kejadian kemarin om, asal om dan Ratih berjanji menyudahi hubungan kalian," Hendra berdiri di samping Pamungkas yang sibuk memasukkan dompet dan barang barang kecil lainnya ke dalam tasnya.
Pamungkas menatap Hendra lalu tersenyum,
" sudah kukatakan aku bisa menjelaskan semuanya, tapi kau tidak mau mendengarkan..
aku dan adikmu tidak dalam suatu hubungan tertentu,
akulah yang tidak bisa mengendalikan diriku,
sebagai om aku memang sudah bersalah..
kau jangan takut, karena perasaanku hanyalah bertepuk sebelah tangan..
Ratih datang ke kamarku kemarin malam karena ingin menegaskan kepadaku bahwa ia tak ingin menjalin hubungan yang lebih,
aku dan Ratih tidak seperti yang kau bayangkan, aku juga tau batasan,
mana mungkin aku melakukan hal tidak senonoh dirumah ini,"
jelas Pamungkas.
" Kau sudah salah sangka pada adikmu, sudah seharusnya kau meminta maaf karena sudah menyakitinya," imbuh Pamungkas.
" Bagaimana bisa om?" tanya Hendra,
" maksudmu?"
" om bagiku luar biasa, om yang merubah pola pikirku, tapi kenapa om sekarang begini?",
Pamungkas diam, ia ingin menjelaskan, tapi dirasa akan percuma karena kekecewaan Hendra cukup besar padanya.
" Om bilang akan menikah dengan seseorang, tapi kenapa om malah bertindak seperti itu pada Ratih?
om lupa? kami berdua momongan om?" sorot kekecewaan terlihat jelas pada sorot mata Hendra.
" Pastinya banyak perempuan yang lebih lebih dari Ratih di luar sana, apa karena Ratih sekarang janda om, jadi om berani begitu pada Ratih?"
" Diam!" Pamungkas tiba tiba berdiri,
" kalau kau tidak tau apa apa jangan menebak nebak!" tegas Pamungkas dengan suara meninggi,
raut wajahnya penuh kemarahan.
" Apa aku begitu rendah di matamu Hendra?! sehingga kau tega menuduhku mempermainkan keponakanku sendiri?!,
Ratih janda atau bukan tidak ada bedanya untukku!
apa yang kurasakan tidak perlu kujelaskan!
tapi jangan sekali kali bicara seakan akan aku merendahkan Ratih hanya karena statusnya!" Pamungkas yang sabar itu tiba tiba terlihat menakutkan di mata Hendra.
Seketika nyali Hendra ciut, ia tak lagi berani bicara.
" Aku tidak akan mendekati Ratih lagi, jadi tenanglah, sekarang pergilah! tidak perlu kau mengantarku!" tegas Pamungkas mengusir Hendra dari kamarnya.
Mendengar itu Hendra buru buru keluar dari kamar Pamungkas,
ia takut lengan yang berotot itu memukulnya.
Waktunya Pamungkas berangkat ke bandara,
ia sengaja memesan taksi online, karena pasti tidak nyaman jika ia harus satu mobil dengan Hendra.
" Aku berangkat ya mbak, mas..?" pamit Pamungkas mencium tangan Adi dan Ana.
" Kenapa tidak diantar Hendra saja?" tanya Adi,
" tidak usaha mas, aku masih ada perlu sebelum ke bandara, nanti malah merepotkan Hendra" jawab Pamungkas cepat.
Di luar sudah terdengar suara sopir taksi online yang mengetuk pagar.
" Aku berangkat dulu, kalian sehat sehat sampai aku kembali.." Pamungkas berjalan keluar,
ia sempat terhenti di depan pagar, dan menoleh ke arah jendela kamar Ratih.
Jendela itu terbuka, dan Ratih berdiri disana.
Keduanya saling menatap,
Namun tak lama setelah itu Ratih yang matanya penuh keraguan itu menutup jendela, sehingga Pamungkas tak mampu lagi menangkap sosoknya.
Pamungkas tertunduk, ia membeku cukup lama di depan pagar.
" Sudah siap pak?" panggil si sopir taksi online,
" iya, mari berangkat.." sahut Pamungkas setelah mampu menguasai perasaannya.
emang kamu pikir si ratih itu ga punya hati apa.....
luka karna dikhianati sama org terdekat itu susah sembuhnya, kamu malah ngerecokin si ratih mulu
slading online juga nih
istri rasa ponakan itu perlu pemahaman yang besar 😆😆