Nara Stephana, pengacara cemerlang yang muak pada dunia nyata. Perjodohan yang memenjarakan kebebasannya hanya menambah luka di hatinya. Dia melarikan diri pada sebuah rumah tua—dan takdirnya berubah saat ia menemukan lemari antik yang menyimpan gaun bak milik seorang ratu.
Saat gaun itu membalut tubuhnya, dunia seakan berhenti bernafas, menyeretnya ke kerajaan bayangan yang berdiri di atas pijakan rahasia dan intrik. Sebagai penasihat, Nara tak gentar melawan hukum-hukum kuno yang bagaikan rantai berkarat mengekang rakyatnya. Namun, di tengah pertempuran logika, ia terseret dalam pusaran persaingan dua pangeran. Salah satu dari mereka, dengan identitas yang tersembunyi di balik topeng, menyalakan bara di hatinya yang dingin.
Di antara bayangan yang membisikkan keabadian dan cahaya yang menawarkan kebebasan, Nara harus memilih. Apakah ia akan kembali ke dunia nyata yang mengiris jiwanya, atau berjuang untuk cinta dan takhta yang menjadikannya utuh?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zenun smith, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanggapan Baily
Di kamar seorang Ratu yang penuh dengan aroma wangi lavender, Ratu Baily duduk di kursi ukiran kayu mahoni. Wajahnya anggun seperti biasanya, tetapi sorot matanya tampak memancarkan sesuatu yang lebih dalam. Di hadapannya, berdiri Elira pelayan setianya yang selalu siap mendengarkan segala keluh kesah dan renungan Sang Ratu.
"Elira," suara Baily terdengar lembut, tetapi tegas, "apa pendapatmu tentang Nara hari ini di pengadilan?"
Si pelayan dengan kepala tertunduk sopan, menjawab pelan, "Hamba rasa dia luar biasa, Yang Mulia. Keberanian dan kecerdasannya sungguh tidak biasa bagi seorang wanita seumurannya. Dia seperti ancaman."
Baily mengangguk perlahan, matanya menatap ke arah jendela tempat bulan sabit menggantung di langit malam. "Aku merasakan hal yang sama. Ada sesuatu dalam dirinya yang berbeda. Saat dia berdiri di depan para bangsawan tadi mempertahankan pendapatnya tanpa gentar, aku bisa melihat integritas sejati."
Elira tersenyum kecil. "Hamba juga terkesan dengan caranya menjaga martabat. Dia tidak hanya berani, tetapi juga tahu kapan harus berbicara dan kapan harus diam. Ketenangannya sangat luar biasa."
Baily menoleh kembali pada Elira, wajahnya serius. "Aku memiliki firasat tentang Nara, Elira. Suatu hari nanti, dia akan membuat sesuatu yang mengegerkan istana ini. Sesuatu yang besar. Aku tidak tahu apa itu, tetapi aku bisa merasakannya."
Elira mengernyit, sedikit penasaran. "Apakah Yang Mulia merasa itu sesuatu yang baik atau buruk?"
"Itu yang tidak bisa kupastikan," jawab Baily sambil menghela napas. "Tetapi aku tahu dia memiliki potensi besar. Lebih besar dari apa yang terlihat sekarang. Dia seperti angin yang diam-diam membawa badai."
Obrolan mereka terhenti ketika suara ketukan di pintu menggema. Salah satu pengawal masuk dengan hormat, membungkuk dalam-dalam. "Yang Mulia Ratu, Yang Mulia Raja telah tiba, ingin bertemu dengan anda."
Baily menegakkan punggungnya, seakan menghapus semua keraguan yang sempat muncul. Ratu Baily menganguk tipis, diikuti kedatangan Raja Veghour beberapa detik setelahnya.
Elira dengan cepat mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang bagi Raja Veghour. Tidak lama kemudian, sosok tinggi dengan jubah kerajaan berwarna merah gelap melangkah masuk. Tatapannya penuh wibawa, tetapi ada kehangatan dalam caranya menatap Ratu Baily.
Ratu Baily menunduk, memberi hormat saat Raja Veghour melangkah masuk ke dalam kamarnya. Malam yang sunyi seperti memberi ruang bagi percakapan mereka, hanya diiringi gemerisik tirai yang tertiup angin ringan. Dengan gerakan penuh keromantisan, Veghour mengangkat dagu Baily, mempertemukan tatapan mereka.
"Ratu ku" sapanya lembut, "aku berharap tidak mengganggumu malam ini." Ujar Raja Veghour dengan penuh kelembutan.
"Tentu tidak, Yang Mulia," jawab Ratu Baily dengan senyum tipis. Tetapi dalam hatinya, ia tahu pertemuan ini akan membawa diskusi yang tidak kalah penting dari obrolannya dengan Elira tadi.
Di dalam pikiran Ratu Baily, nama Nara kembali muncul seolah menjadi bayangan yang tidak bisa diabaikan. Sesuatu besar memang sedang menanti, tetapi apa dan kapan, hanya waktu yang akan memberi jawaban.
Elira bergegas undur diri, keluar dari kamar tersebut.
“Baily,” ujarnya, suaranya bagai ombak tenang yang menyapu pasir pantai, “apa pendapatmu tentang Nara? Apakah ia berhasil membuktikan kebenaran yang ia yakini tadi?”
Baily menarik napas panjang, seakan hendak merangkai kata-kata yang paling tepat.
"Yang Mulia," ujarnya. Suaranya lembut tetapi penuh keyakinan. "Nara telah melakukan apa yang menurutku hanya sedikit orang yang berani lakukan di hadapan pengadilan tadi. Dia berbicara tanpa ragu, meskipun ia tahu sebagian besar orang di ruangan itu tidak berpihak padanya."
Raja Veghour tersenyum samar.
"Keberaniannya memang luar biasa. Tapi apakah menurutmu itu cukup untuk membuat para bangsawan menerima kebenaran yang ia katakan?"
Baily mengangguk pelan. "Nara tidak hanya berbicara. Dia pasti menunjukkan bukti, menyusun argumen, dan yang terpenting, dia tetap tenang meskipun dipojokkan. Itu adalah cara terbaik untuk membuktikan kebenaran.”
Veghour menyandarkan punggungnya, tangan kirinya menyentuh dagu sambil merenung. "Tapi dunia istana tidak sesederhana itu. Bangsawan lebih sering menilai siapa yang berbicara, bukan apa yang dikatakan. Apakah kamu tidak khawatir keberaniannya akan menjadi bumerang?”
Baily tersenyum, kali ini lebih dalam. "Aku khawatir, tentu saja. Tapi aku juga percaya, Nara bukan hanya wanita muda yang berani, tetapi dia juga baik."
"Kamu yakin sekali," gumam Raja Veghour sambil menatap ke arah lain. "Apakah ada sesuatu tentang dia yang membuatmu tidak tenang?"
Baily terdiam, mencoba mencerna maksud Raja Veghour alias suaminya. Kalimat Raja Veghour mengandung keraguan. Apakah saat ini, suami yang dicintainya dan juga mencintainya tersebut telah mengalami keraguan padanya?
...****...
Di kamar megah Nara.
"Lagi buntu banget, sumpah." Gumam Nara, Dia akhirnya memutuskan tidur, berharap bangun di dunia nyata, ia bisa mencari inspirasi di sana.
Nara memejamkan mata, mencoba memanggil rasa kantuk yang enggan mendekat. Dia memejamkan mata cukup lama, hingga rasanya nafas cukup teratur.
Ia membuka matanya lagi. Saat pandangannya menyapu kamar--ternyata Nara masih di kamar kerajaan .
Ia duduk, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. “Lha kok masih di sini sih.” Gumamnya, suaranya bergetar antara frustrasi dan kebingungan. Sekarang, bahkan tidur pun ia tidak bisa melakukannya. Jantungnya berdegup kencang.
Nara memutuskan untuk bangkit dari ranjang. Ia berjalan ke jendela besar yang menghadap taman istana. Udara malam menyegarkan wajahnya, tapi tidak pikiran yang kusut. Ternyata, dia tidak bisa tidur malam ini.
Perlahan, sebuah kesadaran menyelinap masuk. Dia belum benar-benar tidur pulas. Matanya yang setengah terbuka tadi tak pernah benar-benar terpejam. Hanya tubuhnya yang beristirahat, tapi pikirannya tetap waspada.
Ia menggeleng pelan dan tersenyum pahit. “Bahkan untuk tidur saja nggak bisa,” katanya pada dirinya sendiri. Dalam keheningan malam, ia menyadari bahwa perjuangannya melawan rasa lelah dan kebingungan belum usai.
"Aaaaa... gue nggak bisa tidur!!"
Tanpa Nara sadari, jeritannya itu terdengar oleh Arven.
.
.
Bersambung.