Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Rencana Clara sederhana menjatuhkan Elina dan menuduhnya. Bayangan Elina yang basah kuyup dan dipermalukan membuat senyum jahat mengembang di bibir nya. Namun, kehadiran Elizabeth mengubah segalanya.
Dengan langkah dibuat-buat, Clara mendekati tepi kolam. Dengan sedikit dorongan tersembunyi, ia jatuh terduduk, berteriak histeris.
"Elina, Kau mendorongku"Tuduh Clara.
Air muncrat ke segala arah. Elizabeth, yang menyaksikan kejadian itu, bukannya membantu, malah menyeringai. Ia sudah lama membenci Elina, menantu yang dianggapnya tidak pantas untuk anaknya, Axel. Kesempatan ini terlalu sempurna untuk dilewatkan.
"Benarkah kau melakukan ini, Elina" tanya Elizabeth, suaranya dingin dan menusuk. Ia menatap Elina dengan tatapan penuh kebencian, tanpa sedikitpun keraguan.
Elina terkejut dan bingung, menggelengkan kepala, air mata mulai menggenang.
"Tidak nyonya, aku tidak mendorongnya" namun, suaranya terdengar lemah, tak berdaya melawan kebencian Elizabeth yang membara.
Clara, dengan rambut basah dan pakaian kusut, memainkan perannya dengan sempurna. Ia terbatuk-batuk, pura-pura ketakutan.
"Tante lihat sendiri, Dia sangat jahat.
Elizabeth langsung percaya pada Clara. Ia bahkan ikut serta menuduh Elina dengan berbagai tuduhan yang dibuat-buat. Kebenciannya telah membutakan matanya.
Elina, sendirian dan tak berdaya, hanya bisa menangis. Rencana Clara berhasil, bahkan melampaui ekspektasinya, berkat bantuan tak terduga dari Elizabeth, ibu mertuanya sendiri.
Clara, basah kuyup dan masih terengah-engah, berhasil naik dari kolam. Air menetes dari rambut dan pakaiannya, namun senyum licik masih terpatri di wajahnya. Rencana pertamanya gagal, tetapi kesempatan kedua sudah ada di tangannya. Ia melihat Elina, yang masih berdiri di tepi kolam, tampak bingung dan ketakutan. Ini adalah kesempatan yang sempurna.
Dengan cepat, Clara berlari menghampiri Elina. Sebelum Elina sempat bereaksi, Clara mendorongnya dengan sekuat tenaga. Elina menjerit, tubuhnya jatuh terhuyung ke dalam air dengan keras. Air kolam bergelombang hebat, menyemburkan buih-buih putih.
Elina meronta-ronta di dalam air, panik dan ketakutan. Ia tidak bisa berenang. Kepalanya terendam beberapa kali, sebelum akhirnya ia berhasil meraih tepi kolam, terbatuk-batuk dan terengah-engah. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan matanya menunjukkan kepanikan yang luar biasa.
Clara, yang menyaksikan Elina hampir tenggelam, merasakan sedikit rasa takut dan penyesalan. Namun, rasa takut itu cepat sirna, digantikan oleh rasa puas yang jahat. Ia telah berhasil menjatuhkan Elina, dan kali ini, hampir saja Elina benar-benar celaka.
Elizabeth, yang menyaksikan seluruh kejadian itu, tercengang. Ia tidak menyangka Clara akan bertindak sejauh ini. Meskipun ia membenci Elina, ia tidak pernah membayangkan Clara akan benar-benar membahayakan nyawanya.
Clara, puas melihat Elina tersiksa seperti itu. ia melangkah menjauh dari tepi kolam. Namun, melihat Elina masih berusaha untuk naik dengan susah payah, sebuah ide jahat kembali muncul di benaknya. Dengan langkah pelan dan sengaja, Clara berjalan kembali ke tepi kolam, tepat di samping Elina yang masih mencoba untuk mengangkat badannya.
Tanpa ragu, Clara menginjak tangan Elina yang terulur ke tepi kolam. Elina menjerit keras, suara tertahan karena sebagian tubuhnya masih terendam air. Rasa sakit menusuk menjalar dari tangannya hingga ke seluruh tubuh. Cengkraman nya melemah, dan tubuhnya kembali tenggelam sebagian.
Kali ini, Elina benar-benar kehilangan kendali. Rasa sakit yang luar biasa, ditambah kepanikan karena hampir tenggelam, membuatnya kehilangan kekuatan untuk berjuang. Gelembung-gelembung udara terakhir keluar dari mulutnya, sebelum akhirnya ia tenggelam sepenuhnya di bawah permukaan air. Hanya kaki dan sebagian kecil tubuhnya yang masih terlihat di permukaan air yang tenang, seolah-olah menggambarkan betapa putus asanya Elina.
Clara, yang menyaksikan Elina tenggelam tanpa bantuan, merasakan sedikit ketakutan. Namun, rasa takut itu segera sirna, digantikan oleh kepanikan yang lebih besar. Ia tidak bermaksud membunuh Elina, hanya ingin membuatnya menderita. Tetapi sekarang, Elina benar-benar dalam bahaya.
Elizabeth, yang menyaksikan semua kejadian mengerikan ini, terpaku di tempat. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja dilihatnya. Clara, gadis yang ia inginkan sebagai menantunya, telah melakukan hal yang mengerikan. Keheningan mencekam, hanya suara air yang beriak pelan yang memecah kesunyian. Elizabeth harus segera bertindak sebelum terlambat.
Di tengah situasi yang mengerikan, tiba-tiba Axel muncul. Ia baru saja selesai berolahraga dan melihat kerumunan orang di tepi kolam. Dengan langkah cepat ia mendekati kerumunan itu dan apa yang dilihatnya membuat hatinya bergetar. Elina terpuruk di dalam kolam berjuang untuk tetap hidup.
Meskipun Axel tidak menyukai Elina.terutama setelah semua yang terjadi di antara mereka,ia tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan Elina tenggelam. Dalam benaknya, ia mengingat semua alasan mengapa ia masih membutuhkan Elina di sisinya. Jika Elina hilang, siapa yang akan menghalangi Clara untuk mendekatinya. Ia tidak ingin Clara mengklaim dirinya, dan itulah yang mendorongnya untuk bertindak.
Tanpa ragu, Axel melompat ke dalam kolam. air dingin menyambutnya, tetapi ia tidak peduli. Ia berenang cepat menuju Elina, yang tubuhnya mulai lemah.
"Elina" teriaknya, suaranya tegas namun dingin.
"Bertahanlah"kata Axel.
Axel meraih Elina dan menariknya ke permukaan. Meskipun sikapnya tetap dingin, ia merasakan ketegangan di dadanya saat melihat Elina berjuang untuk bernapas. Dengan satu gerakan, ia menarik Elina ke tepi kolam dan meletakkannya di tanah yang keras. Ia tidak meluangkan waktu untuk bertanya atau menunjukkan rasa simpati. Sebaliknya, ia segera melakukan yang terbaik untuk membantunya.
"Bernafas lah, Jangan menyerah" serunya, sambil mencoba menepuk nepuk punggungnya untuk mengeluarkan air dari tenggorokannya. Dalam pikirannya, Axel berjuang dengan perasaannya sendiri. Meskipun ia tidak pernah menyukai Elina, ia tidak ingin melihatnya mati. Keberadaan Elina penting baginya, bukan hanya sebagai seorang istri, tetapi juga untuk menjaga Clara tetap menjauh.
Elizabeth yang menyaksikan Axel menyelamatkan Elina merasa terkejut. Dia tidak menyangka Axel akan bertindak. Dalam hatinya, dia merasa campur aduk. Meskipun ia membenci Elina, melihat Axel berjuang untuk menyelamatkannya memberi sedikit harapan. Namun, ia juga merasakan kekhawatiran. Bagaimana jika Axel mulai melihat Elina dengan cara yang berbeda setelah ini.
Setelah beberapa saat, Elina mulai batuk dan mengeluarkan air dari paru-parunya. Axel tetap di sampingnya, menatapnya dengan dingin, tetapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ia telah mengambil langkah yang benar. Namun, ketegangan di antara mereka tetap ada, dan masa depan hubungan mereka masih penuh dengan ketidakpastian.
Clara berdiri di tepi kolam, matanya menyala dengan kemarahan saat melihat Axel berusaha menyelamatkan Elina. Rasa cemburu dan frustrasi berkecamuk dalam dirinya. Ia tidak bisa mempercayai apa yang dilihatnya. Seharusnya, perhatian Axel seharusnya ditujukan padanya, bukan pada Elina yang dianggapnya sebagai musuh.
“Kenapa dia lebih penting?” Clara bergumam pada dirinya sendiri, suaranya penuh dengan kepahitan. Ia merasa terabaikan, seolah semua usaha dan rencananya untuk menjatuhkan Elina menjadi sia-sia. Clara tidak menyangka bahwa Axel akan bertindak secepat ini, dan lebih buruk lagi, dengan begitu banyak perhatian untuk Elina.
Saat Axel membanting tubuh Elina ke tepi kolam dan berusaha mengeluarkan air dari paru-parunya, Clara merasa hatinya semakin tertekan.
"Aku juga yang jatuh ke dalam kolam itu" teriaknya, berusaha menarik perhatian Axel, tetapi suaranya seolah hilang dalam hiruk-pikuk situasi.
"Aku butuh bantuan juga"
.
.
.
Like komen dan favorit
See you
Lanjut yah 😊