Kehidupan gadis yang bernama Renata Nicholas tak jauh dari penderitaan, wajahnya yang pas-pasan serta penampilannya yang kurang menarik membuat semua orang terus merendahkannya.
Setelah orang tuanya meninggal, Renata tinggal bersama sang bibi dan sepupunya. Namun, mereka selalu tak adil padanya dan mengucilkannya. Tak pernah mendapatkan kebahagiaan membuat Renata jenuh dan memutuskan pergi dari rumah.
Disaat itu ia bertemu dengan laki-laki yang bernama Derya Hanim, seseorang yang pernah ia kagumi, akan tetapi itu bukan akhir dari segalanya, ternyata Derya hanya memanfaatkan keluguannya sebagai pelukis yang hebat.
Setelah tahu tujuan Derya, Renata kembali bangkit dan pergi dari pria itu, dan akhirnya Renata bertemu dengan Bagas Ankara, dia adalah bos Renata, pria yang diyakini bisa membantu mengubah hidupnya, baik dari segi karir maupun wajahnya. Bagas yang ingin membalas mantannya pun mengakui Renata sebagai pacarnya.
Akankah cinta tumbuh diantara mereka?
Ataukah Bagas kembali memanfaatkan Renata seperti yang dilakukan Hanim?
Siapa sosok Bagas dan Derya, pria yang sama-sama hadir dalam hidup Renata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana menikah
Hari terus berlalu. Hubungan Renata dan Bagas semakin dekat dan erat. Saling percaya dan menjaga itikad cinta yang mulai dibangun kokoh. Ucapan romantis selalu terukir menyambut setiap Renata membuka mata. Bagas terus menyajikan perlakuan lembut dan membuat Renata nyaman, tak ada alasan untuk berpaling dari pria gagah itu.
Beberapa hari Renata datang ke sebuah galeri milik pelukis terkenal. Di sana ia belajar lebih banyak lagi tentang teori melukis juga keseluruhan yang dibutuhkan jika ingin menciptakan lukisan yang sempurna.
Tentunya itu atas dukungan Bagas, Bu Nurmala dan calon mertuanya, juga paman Bagas yang mendukung hubungan mereka.
Untuk yang kesekian kali ponsel milik Renata berdering.
"Halo, Mas," sapa Renata hangat, sehangat sinar mentari yang mulai terbit.
Bagas memiringkan tubuhnya. Ia enggan untuk keluar rumah. Seminggu penuh sibuk mengurus proyek baru membuatnya sedikit lelah.
"Aku kangen," ucap Bagas dengan suara berat.
Renata melepas koper. Ia duduk di tepi ranjang. Besok adalah keberangkatannya ke Jepang bersama Bagas, dan ia menyiapkan semua bajunya yang akan di bawa ke sana.
"Kan semalam kita ketemu, masa kangen lagi," cetus Renata.
"Sayang," cicit Bagas, suaranya semakin berat, matanya kembali terpejam, namun ia masih bisa mendengar suara Renata yang ada di seberang telepon.
"Setelah pulang dari Jepang, kita menikah, ya. Aku nggak bisa kayak gini terus." Dari nada suaranya, Renata tahu jika Bagas serius, karena itu sudah diucapkan beberapa kali padanya.
"Iya, aku juga nggak mau terjadi sesuatu pada kita sebelum sah."
Mata yang tadinya terasa berat untuk dibuka itu kini membulat sempurna. Jawaban Renata mampu membangunkan semangat Bagas.
"Kamu mau?" tanya Bagas memastikan.
"He'eem…"
Andaikan mereka berada di tempat yang sama, pasti Bagas sudah memeluk Renata dengan erat. Melihat wajah yang sudah merah merona.
"Ma… Mama," teriak Bagas sembari membuka pintu kamarnya. Menghampiri Bu Amara yang sibuk menyiapkan makanan di meja makan.
"Ada apa sih, ngagetin saja."
Bu Amara nampak tenang saat menuangkan susu putih ke dalam gelas.
"Ma, Renata sudah setuju, kita akan menikah setelah pulang dari Jepang."
Aduh, kenapa harus bilang ke tante Amara sekarang sih, malu-maluin saja.
Renata bisa mendengar obrolan Bagas dengan sang mama, karena sambungan ponsel mereka belum terputus.
"Beneran?" Bu Amara yang tak kalah serius.
"Iya, Ma. Kalau nggak percaya tanya saja padanya." Bagas menyodorkan ponselnya di depan Bu Amara.
Setelah tadi berbicara dengan Bagas, kini Renata secara tidak langsung berhadapan dengan calon mertuanya.
Setelah panjang lebar menjelaskan rencananya, Bu Amara memeluk putra semata wayangnya.
"Akhirnya kamu menemukan perempuan yang benar-benar baik dan tulus mencintaimu. Jaga Renata dengan baik, jadikan dia wanita yang beruntung seperti papa yang sangat menyayangi mama." Air mata jatuh membasahi pipi Bu Amara. Ia merasa terharu melihat kebahagiaan anaknya. Juga teringat pesan-pesan suaminya sebelum meninggal dunia.
"Pasti, Ma. Tidak hanya Renata, tapi Bagas juga akan menyayangi mama selamanya."
"Kamu berapa hari di Jepang? Mama pasti merindukanmu dan Renata."
"Satu minggu. Setelah itu aku langsung mengurus pernikahan."
"Biar mama dan tante Nurmala saja yang urus. Kamu jangan pikirkan itu semua. Pasti paman juga pulang."
Di sisi lain
Renata terus mendekap benda pipihnya. Ternyata keputusan untuk menikah membawa kebahagian untuk bu Amara, dan pastinya untuk bu Nurmala juga.
Turun dari ranjang dan keluar kamar. Weekend memang membosankan, tapi Renata juga tak ingin mengganggu Bagas yang mengurai rasa lelahnya hari ini, belum lagi besok akan pergi lagi menemaninya.
"Bu, aku mau keluar sebentar, boleh, ya?" ucap Renata memohon.
"Boleh dong, sama Bagas, kan," tebak Bu Nurmala.
"Tidak, Bu. Mas Bagas capek, kasihan dia, aku cuma mau beli keperluan di supermarket, takutnya nanti ngerepotin mas Bagas."
"Ya sudah, jangan lama-lama."
Renata membeli beberapa cemilan ringan dan juga kebutuhan lainya. Meskipun itu sebenarnya tak perlu dibeli, tetap saja ingin membawanya.
Beberapa coklat dan keripik pun sudah memenuhi troli yang didorong.
"Sepertinya sudah terlalu banyak," gumam Renata memeriksa beberapa makanan yang dibeli.
Namun masih ada satu lagi yang ingin diambil, dan itu sangat penting mengingat dirinya yang saat ini datang bulan.
Renata mendongak menatap sesuatu ada di barisan paling atas, matanya menoleh ke kanan kiri, menatap beberapa pengunjung yang memilih-milih produk. Terpaksa Renata menjinjit dan mengangkat satu tangannya.
Huh
Menghela napas panjang.
"Susahnya jadi orang yang terlalu pendek." Mengeluh pada diri sendiri.
"Seandainya mas Bagas ikut, pasti aku tidak akan kesusahan."
Renata mencoba melompat untuk bisa meraih benda itu. Namun nihil, tangannya pun belum bisa menyentuh benda yang diinginkan.
"Terakhir, kalau masih nggak sampai, aku nggak jadi beli," ancamnya pada benda mati.
Renata memejamkan matanya. Sama seperti tadi, menjinjit dengan satu tangan diangkat, sedangkan tangan yang lainnya berpegangan untuk menyeimbangkan tubuh.
Disaat berjuang dengan penuh harap, akhirnya benda itu jatuh ke tangannya.
Ini beneran? Hati Renata berbunga-bunga bisa mengambil sesuatu di tempat yang tinggi tanpa bantuan orang lain, pikirnya.
Seketika Renata melonjak kegirangan dan tertawa puas. Namun, tawa itu langsung meredup saat melihat seseorang yang mematung di belakangnya.
"Mas Derya, ngapain mas di sini?" Menggeser tubuh Derya, memastikan jika pria itu tidak bersama dengan Sena.
"Bantuin kamu." Derya menunjuk pembalut yang ada di tangan Renata.
"Jadi tadi mas Derya yang ambilin?"
Renata tersenyum malu, pasti Derya sudah menyaksikan tingkah absurdnya tadi.
"Sejak kapan Mas ada di sini?" tanya Renata menyelidik.
"Barengan pas kamu masuk, aku turun dari mobil."
"Kamu belanja banyak banget?"
Derya menatap satu persatu barang belanjaan Renata.
"Iya, lagi pingin ngemil saja."
"Re, aku mau bicara sama kamu, sebentar saja, ini tentang lukisan kamu yang pernah menang waktu itu."
Renata menundukkan kepala. Lagi-lagi kehadiran Derya membawanya pada masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam.
"Tidak apa-apa, Mas. Anggap saja mas yang memenangkan perlombaan itu.
"Tapi, Re __"
"Besok aku akan ikut lomba di Jepang bersama mas Bagas. Jika kamu merasa bersalah, cukup doakan aku supaya bisa memenangkan perlombaan itu, meskipun kemungkinannya sangat tipis."
"Jadi kamu ikut lomba juga, kebetulan sekali, aku juga. Kapan kamu berangkat?"
"Besok," jawab Renata.
"Kenapa bisa kebetulan lagi, aku juga berangkat besok pagi."
Lama-lama Renata merasa canggung. Sekian lama mengenal seorang Derya. Ini pertama kali Renata melihat senyum dari sudut bibir pria itu. Ia tak menyangka Derya ternyata juga bisa bersikap baik padanya.
Seseorang yang ada di balik rak tersenyum setelah mendapatkan beberapa gambar kebersamaan Derya dan Renata.
Jangan harap kamu bisa hidup bahagia bersama Bagas.