Elina Widiastuti, dengan rambut sehitam malam yang terurai lembut membingkai wajahnya yang cantik jelita, bukanlah putri seorang bangsawan. Ia hidup sederhana di sebuah rumah kecil yang catnya mulai terkelupas, bersama adik perempuannya, Sophia, yang masih belia, dan kedua orang tuanya. Kehidupan mereka, yang tadinya dipenuhi tawa riang, kini diselimuti bayang-bayang ketakutan. Ketakutan yang berasal dari sosok lelaki yang menyebut dirinya ayah, namun perilakunya jauh dari kata seorang ayah.
Elina pun terjebak di pernikahan tanpa dilandasi rasa cinta, ia pun mendapatkan perlakuan kasar dari orang orang terdekatnya.
bagaimana kelanjutannya?
silahkan membaca dan semoga suka dengan ceritanya.
mohon dukung aku dan beri suportnya karena ini novel pertama aku.
jangan lupa like, komen dan favorit yah 😊
kunjungan kalian sangat berarti buat aku. see you
selamat membaca
see you 😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Rmaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Udara dingin London menusuk kulit Axel. Setahun. Setahun sudah ia tak mendengar kabar dari Emily, kekasihnya. Bayangan wajah Emily, dengan senyumnya yang mampu mencairkan es di kutub utara, menghantuinya. Kecemasan menggerogoti hatinya, lebih tajam dari pisau.
Apakah Emily baik-baik saja? Apakah ia telah menemukan kebahagiaannya sendiri? Atau… apakah sesuatu yang buruk telah terjadi?
Axel, pewaris kerajaan bisnis keluarga, dikenal dengan kekuasaannya yang tak terbantahkan dan sikap dinginnya yang membeku. Namun, bahkan kekuasaan dan kekejamannya tak mampu membantunya menemukan Emily. Ia telah menjelajahi setiap sudut London, menelusuri setiap jejak yang mungkin ditinggalkan Emily, namun nihil.
Kembali ke London, bukan hanya karena Emily. Elizabeth, ibunya, terus mendesaknya untuk menikah. Wanita-wanita cantik, dengan latar belakang bangsawan, silih berganti diperkenalkan. Namun, hati Axel tetap kosong, hanya terisi oleh kerinduan yang membara pada Emily. ia sudah terlanjur cinta pada Emily.
Elizabeth, yang awalnya mendukung hubungan mereka, kini muak dengan ambisi Emily yang tak kunjung padam. Cita-cita Emily untuk menjadi model terkenal telah membuat Elizabeth menilai Emily sebagai wanita yang serakah dan materialistis.
Axel menghela napas panjang. Aroma kopi dari kafe kecil di dekat apartemen sewaan barunya tak mampu mengusir rasa hampa yang menyelimuti dirinya. Ia meraih ponselnya, membuka galeri foto. Senyum Emily di setiap foto seakan mengejeknya, mengingatkannya pada cinta yang tak kunjung menemukan titik terang. Ia harus menemukan Emily.
Axel duduk di tepi meja, mengamati pemandangan kota London yang mendung. Suara deru kendaraan di bawahnya menjadi latar belakang bagi pikirannya yang kalut. Dengan resolusi yang tak tergoyahkan, ia mengeluarkan ponselnya dan menekan nomor Sean, asisten setianya.
“Sean, segera kumpulkan semua anggotamu. Kita perlu menemukan Emily,” perintah Axel, suaranya tegas meski ada nada cemas yang tak bisa disembunyikannya.
“Baik, Tuan.Apa yang harus kulakukan?” jawab Sean, suara mantap dalam menanggapi permintaan mendesak itu.
“Gunakan semua jaringan yang kita miliki. Kontak teman-teman di industri model, agen model, bahkan media sosial. Apapun yang bisa kau lakukan. Kita perlu tahu di mana dia sekarang,” Axel menjelaskan dengan cepat, seolah kata-katanya dapat mempercepat waktu.
Sean mengangguk meski Axel tidak dapat melihatnya.
“Mengerti. Aku akan mulai segera. Namun, Tuan… jika dia tidak ingin ditemukan, bisa jadi kita akan menemui jalan buntu.”
“Tidak ada kata menyerah, Sean. Aku tidak akan berhenti sampai aku menemukan dia,” jawab Axel, suaranya penuh tekad. Dia menggantung telepon dan merasakan beban di dadanya semakin berat.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Sean berusaha keras, informasi tentang Emily tetap tak terjangkau. Setiap panggilan ke agen model, setiap pesan ke teman-teman di industri, hanya berujung pada kesunyian. Tak ada yang tahu di mana Emily berada. Di satu sisi, Axel tahu betapa ambisiusnya Emily; ia sudah selalu berusaha keras untuk mencapai mimpinya. Namun, di sisi lain, kekuatannya yang luar biasa seolah tak berdaya menghadapi ketidakpastian ini. seakan Emily disembunyikan seseorang yang memiliki kekuatan lebih berpengaruh darinya.
Setiap malam, Axel duduk sendirian di apartemennya, menatap langit London yang kelam, teringat pada tawa Emily dan harapan-harapan yang pernah mereka bagi. Dia tidak bisa membiarkan kenangan itu menjadi bayangan semata. Dalam keputusasaannya, ia memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih drastis.
“Jika tidak ada yang bisa menemukanmu, maka aku yang akan mencari mu sendiri,” bisiknya pada diri sendiri, bertekad untuk menyelidiki setiap kemungkinan, bahkan jika harus turun ke jalan dan berinteraksi dengan orang-orang yang tidak akan pernah ia ajak bicara sebelumnya.
Elizabeth duduk di atas ranjangnya, menatap foto Axel yang dipajang di atas meja. Seminggu sudah Axel tidak pulang. Sean, asisten setia Axel, selalu memberi kabar bahwa Axel sedang melakukan perjalanan bisnis di London. Namun, Elizabeth tahu ada yang disembunyikan Sean. Ia mengenal Axel dengan baik. Ia tahu bahwa Axel tidak akan meninggalkan London begitu saja tanpa alasan yang kuat. Dan ia yakin, alasannya adalah Emily.
Elizabeth menghela napas, rasa gelisah merayap di hatinya. Ia mencintai Axel lebih dari apapun. Ia ingin Axel bahagia, namun ia juga tidak ingin melihat Axel terluka oleh Emily. Ia tahu betapa keras kepala Axel, dan ia takut Axel akan terjebak dalam lingkaran cinta yang tak berujung. sudah cukup ia terluka untuk yang kedua kali.
“Axel, kau harus pulang,” gumam Elizabeth, suaranya berbisik lembut. Ia meraih ponselnya dan menekan nomor "Little man". Nada dering yang familiar bergema di ruangan itu, membuat Elizabeth semakin gelisah.
“Halo, Axel,” sapa Elizabeth, suaranya terdengar sedikit khawatir.
“Mommy?” Suara Axel terdengar lelah, namun tetap sopan.
“Axel, sudah seminggu kau tidak pulang nak. Sean bilang kau sedang melakukan perjalanan bisnis. Benarkah?” tanya Elizabeth, berusaha menahan gejolak emosi yang mulai menguasai dirinya.
“Ya, Mommy. Aku sedang menyelesaikan beberapa urusan di London,” jawab Axel, suaranya terdengar sedikit dingin.
“Axel, aku tahu kau sedang menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu kau ke London untuk menemui Emily. Aku mohon, Axel, pulanglah. Kau tidak perlu mencari Emily lagi. Dia tidak akan pernah bisa membuatmu bahagia,” pinta Elizabeth, suaranya bergetar menahan air mata.
“Mommy, aku mohon, jangan ikut campur. Ini urusan pribadiku,” jawab Axel, suaranya terdengar sedikit kasar.
“Axel, aku ini ibumu. Aku hanya ingin kau bahagia. Aku mohon, pulanglah,” pinta Elizabeth, suaranya terdengar semakin lemah.
“Mommy, aku akan pulang setelah urusan ini selesai. Aku janji,” jawab Axel, suaranya terdengar sedikit lebih lembut.
“Aku mencintaimu, Mommy. Aku akan segera pulang.”
Elizabeth menghela napas lega. Ia tahu bahwa Axel tidak akan pernah bisa menolak permintaannya. Namun, ia juga tahu bahwa hatinya masih terikat pada Emily. Ia hanya bisa berharap, Axel akan segera sadar dan meninggalkan Emily sebelum terlambat.
“Aku mencintaimu juga, Nak,” jawab Elizabeth, suaranya terdengar sedikit gembira.
“Pulanglah dengan selamat.”
Axel menutup telepon dan menghela napas panjang. Ia tahu bahwa ibunya selalu benar. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa begitu saja meninggalkan Emily. Ia harus menemukan Emily, ia harus tahu apa yang terjadi padanya. Ia harus menemukan Emily, sebelum semuanya terlambat.
Elizabeth memejamkan mata, air mata mengalir di pipinya. Kenangan pahit menyeruak, membawanya kembali ke hari naas itu, hari di mana dunia seakan runtuh. Ia teringat akan suaminya, pria yang pernah mengisi hidupnya dengan cinta dan kebahagiaan. Ia juga teringat akan putrinya, gadis kecil yang penuh tawa dan keceriaan. Keduanya telah pergi, meninggalkan luka yang tak pernah benar-benar sembuh.
Flashback
Udara sejuk sore hari menyelimuti jalanan kota. Axel, yang saat itu baru berusia 14 tahun, duduk di kursi belakang mobil, asyik bermain game di ponselnya. Elizabeth duduk di kursi depan, sebelah suaminya, sedangkan putri mereka, Clara, duduk di samping Axel. Mereka baru saja mengunjungi nenek Axel di luar kota. Suasana mobil dipenuhi dengan tawa dan canda.
Tiba-tiba, sebuah truk besar muncul dari arah berlawanan, melaju dengan kecepatan tinggi. Elizabeth berteriak, suaminya berusaha menghindari tabrakan, namun semuanya terjadi begitu cepat. Suara benturan keras menggema, dunia seakan berputar. Elizabeth merasa tubuhnya terhempas, semuanya gelap.
Ketika kesadaran kembali, Elizabeth mendapati dirinya terbaring di rumah sakit. Dokter memberitahunya kabar buruk. Suaminya dan putrinya telah meninggal dunia. Hanya Axel yang selamat, tetapi ia mengalami luka serius. Elizabeth memeluk Axel yang masih terbaring lemah, tangisnya pecah. Ia kehilangan segalanya. Suaminya, putrinya, dan kebahagiaan keluarganya.
End Flashback
Elizabeth menghapus air matanya. Ingatan itu selalu menghantuinya. Ia merasa bersalah karena telah kehilangan keluarganya. Ia merasa gagal sebagai istri dan ibu. Ia hanya memiliki Axel, anak laki-lakinya yang kini tumbuh menjadi pria dewasa. Ia tidak ingin kehilangan Axel juga. Ia ingin melindungi Axel dari rasa sakit yang sama seperti yang pernah ia alami. Ia ingin Axel bahagia, ia ingin Axel menemukan cinta sejatinya. Tetapi, ia juga takut, takut akan terulang lagi tragedi yang telah merenggut kebahagiaannya.
.
.
Lanjut yah
See you 😍