Desi 25th, wanita hamil 7 bulan yang menjalani kehidupan sederhana namun penuh kasih bersama suaminya, Bima, kapten pemadam kebakaran.
Suatu hari, nasib mempertemukan Desi dengan tragedi besar. Ketika ia terjebak di dalam reruntuhan sebuah bangunan, ia menelfon suaminya untuk meminta pertolongan.
Namun, harapannya pupus saat Bima lebih memilih menolong cinta pertama dan anak nya 5th.
Hati Desi hancur saat melihat suaminya memprioritaskan orang lain, meskipun ia sendiri berada dalam bahaya.
Di tengah derita fisik dan emosional, tragedi semakin besar. Saat dilarikan ke rumah sakit, Desi mengalami pendarahan hebat. Bayinya meninggal dalam kandungan, dan Desi koma selama tiga hari.
Ketika Desi membuka matanya, ia bukan lagi wanita yang lemah dan penuh luka. Jiwa baru telah memasuki raganya, jiwa seorang perempuan kuat dan pemberani.
Dengan kenangan Desi yang masih melekat, ia bertekad menjalani hidup baru dan meninggalkan suami nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pikiran yang Berkecamuk
Setelah perjalanan panjang dari rumah Maya, Bima akhirnya sampai di kediamannya. Ia memarkir mobil di garasi dengan perasaan campur aduk. Kediaman itu terasa sepi, meskipun lampu di beberapa ruangan masih menyala.
Langkahnya terasa berat saat ia berjalan menuju pintu utama, seperti ada sesuatu yang menahannya. Sesampainya di dalam rumah, ia langsung menuju kamar utama, tempat di mana Desi biasanya beristirahat. Namun, saat mencoba membuka pintu, ternyata pintu itu terkunci rapat.
“Desi! Ini aku, Bima! Sayang? Kamu di dalam, kan?” teriaknya sambil mengetuk pintu beberapa kali.
Tidak ada jawaban.
Bi Inah, pembantu yang sudah lama bekerja di rumah mereka, mendengar suara Bima dari kamarnya. Ia keluar dengan wajah mengantuk dan penuh tanda tanya.
“Tuan Bima, ada apa? Kenapa mengetuk pintu kamar nyonya malam-malam begini?” tanyanya sambil menghampiri.
“Bi Inah,” ujar Bima dengan nada cemas. “Istriku sudah pulang, kan?”
“Iya, Tuan. Nyonya pulang tadi petang hari,” jawab Bi Inah. “Tapi sebelum masuk kamar, beliau bilang ingin istirahat dan tidak mau diganggu sampai besok pagi.”
Bima mengerutkan kening. “Aku harus tahu keadaannya, Bi. Sudah empat hari aku nggak lihat istriku!”
Bi Inah terlihat ragu. “Tapi Tuan, nyonya benar-benar bilang tidak ingin diganggu...”
“Bi, aku suaminya! Aku berhak tahu bagaimana keadaannya!” potong Bima dengan nada sedikit tinggi. “Mana kunci cadangan kamar itu? Aku harus masuk.”
Bi Inah terdiam sesaat sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah, Tuan. Tapi saya mohon, jangan sampai membuat nyonya marah.”
Ia pergi ke dapur untuk mengambil kunci cadangan dan kembali dengan wajah yang masih penuh kekhawatiran.
“Ini, Tuan. Tapi kalau nyonya sampai marah, saya mohon maaf sebelumnya,” katanya sambil menyerahkan kunci itu.
Bima langsung menerima kunci itu dan mencoba membuka pintu. Setelah memasukkan kunci dan memutarnya, ia menarik gagang pintu, tetapi pintu itu tetap tidak terbuka.
“Kenapa ini nggak bisa dibuka?” gumam Bima dengan kesal.
“Mungkin kamarnya digerendel dari dalam, Tuan,” ujar Bi Inah dengan hati-hati. “Sepertinya nyonya benar-benar tidak ingin diganggu.”
Bima mendesah panjang, lalu menyerahkan kembali kunci itu pada Bi Inah. “Baiklah, Bi. Kamu istirahat saja. Aku nggak akan memaksa masuk.”
“Tuan yakin nggak apa-apa?” tanya Bi Inah, masih ragu.
“Iya, Bi. Terima kasih. Kamu tidur saja.”
Bi Inah akhirnya mengangguk dan kembali ke kamarnya, meninggalkan Bima yang masih berdiri di depan pintu kamar Desi.
Bima berdiri diam, menatap pintu yang tertutup rapat di depannya. Hatinya terasa kosong, bercampur penyesalan yang mendalam.
“Desi... kamu benar-benar nggak mau aku ganggu? Kenapa? Aku suamimu, aku harus tahu keadaanmu...” gumamnya pelan.
Ia mengingat kejadian beberapa hari yang lalu—reruntuhan yang melibatkan Desi, Maya, dan Abas. Ia merasa bersalah karena saat itu lebih peduli Maya dan Abas, sementara istrinya sendiri juga terluka dengan perut buncitnya.
Bima memukul kepalanya sendiri pelan, mencoba menyadarkan dirinya.
“Bahkan saat kamu pulang, aku nggak bisa memastikan kamu baik-baik saja.”
Ia mendesah panjang, lalu mengusap wajahnya. “Aku senang kamu pulang. Tapi... kenapa kamu mengunci kamar kita? Apa kamu marah padaku? Apa kamu merasa aku nggak peduli?”
Setelah beberapa saat berdiri di depan pintu, Bima akhirnya menyerah. Ia berjalan perlahan menuju kamar tamu di ujung lorong, membawa semua kegelisahannya.
Bima melangkah menuju kamar tamu dengan tubuh yang terasa berat. Ia membuka pintu dan langsung merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Kamar itu terasa dingin dan sepi, seperti perasaannya saat ini.
Ia menatap langit-langit kamar tamu, menatap kosong. Kepalanya penuh dengan pikiran-pikiran yang membuatnya semakin gelisah. Tubuhnya terasa berat seperti ditimpa beban yang tak terlihat. Napasnya panjang dan bergetar.
"Empat hari. Empat hari aku membiarkan semuanya berantakan. Empat hari aku tidak menjawab telepon Istriku. Dan apa yang aku lakukan hari ini? Setelah aku lama mencari keberadaan istriku, dan mengetahui jika istriku telah pulang dari rumah sakit. Aku malah pergi ke rumah Maya dan bermain dengan Abas."
Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba meredam rasa bersalah yang menggerogoti hatinya.
"Desi pasti terluka. Dia pasti bertanya-tanya kenapa aku tidak ada saat dia membutuhkan. Dia terluka, dia hamil, dan aku malah sibuk dengan masa lalu. Tuhan, apa yang aku pikirkan? Kenapa aku bisa begitu bodoh? Desi istriku. Dia wanita yang memilihku, yang mempercayakan hidupnya padaku. Tapi aku membalasnya dengan mengabaikan panggilannya. Aku lebih peduli pada Maya... pada Abas yang bahkan bukan anakku. Apa Desi akan memaafkanku setelah semua ini?"
Bima berdiri dan berjalan mondar-mandir di Kamar tamu. Pikirannya terus berkecamuk. Ia menghela napas panjang, lalu berhenti di depan jendela, memandangi langit malam yang gelap.
"Aku harus minta maaf. Aku harus mengakui kesalahanku. Besok, aku akan bicara padanya. Aku akan memohon maaf karena tidak ada di sisinya saat dia paling membutuhkan. Aku tahu ini mungkin tidak akan mudah, tapi aku tidak bisa terus begini. Desi berhak tahu bahwa aku menyesal. Dia berhak tahu bahwa aku masih mencintainya dan aku ingin memperbaiki semuanya."
Bima menunduk, kepalan tangannya mengepal erat.
"Besok... aku akan mengakui semuanya. Aku akan mengatakan padanya bahwa aku salah. Aku akan memastikan dia tahu bahwa aku ada untuknya, untuk anak kami. Aku harus berubah. Aku tidak bisa terus mengecewakannya seperti ini. Aku harus menjadi suami yang dia butuhkan."
Air mata menggenang di sudut matanya. Ia mengusapnya cepat, lalu menatap wallpaper ponsel nya dengan gambar sang istri yang sedang tersenyum memegang perut buncitnya.
Malam itu, Bima akhirnya tertidur di kamar tamu dengan perasaan bersalah yang menghimpit dadanya. Dalam kesunyian malam, pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Desi—istrinya yang sedang mengandung anak mereka. Ia bertanya-tanya, apakah Desi benar-benar baik-baik saja? Apakah ia telah melukai hati istrinya tanpa disadarinya?
Di sisi lain rumah, Desi yang berada di kamar utama tidur nyenyak. Kelelahan fisik membuatnya terlelap lebih cepat dari biasanya. Ia tidak mendengar ketukan pintu Bima, tidak tahu bahwa suami Desi berdiri di depan pintunya, memanggil namanya dengan suara penuh kerinduan.
Sedangkan Desi sibuk berbincang dengan Desi Asli dan Brian Arfi hingga pagi menyingsing.
skg d kmr.
msh sama yg banting pintu
semangat Thor
/Determined//Determined/