Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Mas rindu, Ra.
Malam berganti pagi dengan cepat. Nara sudah bangun sejak tadi pagi. Seluruh badannya terasa remuk karena hampir semalaman tidak tidur. Seharusnya, Nara tidak perlu memikirkan sesuatu yang berada di luar kendalinya.
Seperti membayangkan jika malam tadi suaminya baru saja memadu kekasih dengan istrinya yang lain. Itu justru akan semakin menyakiti perasaan Nara. Namun yang namanya seorang istri, mana mau dimadu dan harus berbagi suami. Nara melakukan semua itu hanya karena terpaksa.
Mungkin, dirinya memang tak bisa menjadi seorang wanita yang sempurna.
Nara menghela napas untuk melonggarkan sesak yang menghimpit dada. Dia memilih keluar dari kamar untuk sarapan. Suasana rumah masih sangat sepi karena ibu mertua dan ipar-iparnya masih berada di hotel.
"Masak apa, Teh?" tanya Nara pada Teh Arum yang kini sedang sibuk mengupas udang.
"Mau masak udang, Non. Ibu minta Teteh untuk masak banyak hari ini," jawab Teh Arum, sang Asisten rumah tangga.
Nara mengangguk paham. Siang nanti suami dan keluarganya akan pulang. Tentu saja bersama Nadya, sang Istri kedua.
"Aku bisa bantu apa, Teh? Daripada nganggur ini," tanya Nara dengan mata yang fokus melihat bagaimana Teh Arum mengupas udang dengan lihai.
Teh Arum meringis. "Tidak usah, Non. Saya bisa sendiri. Kasihan Non Nara kalau kelelahan." Tatap Teh Arum tampak kasihan melihat kondisi Nara yang jauh dari kata baik.
Mendengar hal tersebut, Nara tertawa hambar. "Apa kelihatan sekali, Teh?" tanya Nara terdengar parau.
Teh Arum tersenyum. Tangannya terangkat untuk mengelus bahu Nara. "Saya tidak bisa membantu apa-apa, Non. Tetapi, saya selalu berdoa semoga Non Nara dibesarkan hatinya, dilapangkan dadanya, agar kuat menjalani hidup yang kejam ini," ucap Teh Arum terisak kecil. Matanya sudah mengeluarkan setetes air mata.
Beliau tentu mengetahui semua yang dilalui Nara ketika Arjuna sedang bekerja. Beliau tahu bagaimana sikap Bu Azni, Beta, dan Antika ketika Nara ditinggal ke luar kota.
Nara balas tersenyum. "Terimakasih atas doa baiknya. Aku tidak apa-apa kok, Teh. Mungkin, hanya belum terbiasa," jawab Nara berusaha bersikap tenang. Namun, air mata yang sudah menggenang di pelupuk mata, tidak bisa membohongi keadaan Nara saat ini.
"Kok aku jadi cengeng gini sih, Teh," ucap Nara tertawa hambar sambil tangannya menyeka air mata yang sudah terlanjur jatuh.
"Tidak apa-apa, Non. Menangis itu baik untuk kesehatan mental, Non." Teh Arum terus mengelus bahu Nara hingga semakin membuat Nara tersedu-sedu. Dia merasa nyaman dan terharu ketika ada orang lain yang peduli dengannya.
"Boleh aku peluk Teteh?" izin Nara pilu. Tentu saja Teh Arum mengangguk cepat. Tanpa menunggu lama, Teh Arum langsung mendekap tubuh Nara.
Nara bisa merasakan punggungnya mendapat elusan naik turun yang pelan. Hal itu semakin membuat Nara tak kuasa menahan air mata. Selama ini, tidak ada bahu tempat Nara bersandar selain suaminya. Dan tidak semua masalah tentang keluarga sang Suami harus diceritakan.
Nara tidak ingin menjadi menantu durhaka terhadap orang tua dengan menceritakan kejelekannya. Tidak juga dengan adik dan kakak suaminya. Apa yang sudah mereka perbuat, hanya bisa Nara pendam sendirian.
"Teteh ... Nara tidak sanggup ...." Nara meracau dalam pelukan Teh Arum.
"Iya. Teteh memahami perasaan Non Nara. Yang kuat, yang sabar ya, Non. Teteh percaya, Tuan Arjuna sangat mencintai Non Nara," ujar Teh Arum menenangkan.
Teh Arum membiarkan Nara menghabiskan air matanya agar perasaan sang Nona bisa lebih lega. Teh Arum seakan ikut merasakan kepedihan yang dialami Nara.
Hingga menit demi menit berlalu. Tangis Nara mulai mereda dan bisa di kendalikan. Nara melepas pelukan dan mengusap wajahnya kasar. "Terimakasih, Teh. Sudah menyediakan bahu untuk Nara," ucap Nara terdengar parau.
Teh Arum tersenyum. "Tidak perlu berterimakasih, Non. Sudah tugas saya untuk menjaga Non Nara ketika Tuan tidak ada. Saya juga sudah menganggap Non seperti anak sendiri," jawab Teh Arum begitu menenangkan.
"Ya sudah. Nara pamit ke kamar dulu ya, Teh. Mau cuci muka." Setelah Teh Arum mengangguk, Nara segera berlalu meninggalkan Teh Arum yang pagi itu pekerjaannya harus tertunda karena dirinya. Namun setelah urusan Nara selesai, dia kembali ke dapur guna membantu Teh Arum.
Dia tidak mau Teh Arum terkena amukan ibu mertuanya karena bekerja tidak tepat waktu. Berada di dekat Teh Arum, membuat Nara teringat pada sosok sang Ibu yang sudah berpulang ke hadapan Tuhan.
Tinggal ayahnya yang masih tersisa sebagai salah satu keluarga Nara. Namun, ayahnya kini berada jauh dari jangkauan. Mengingat hal tersebut, Nara semakin rindu pada sang Ayah.
Tepat pukul sebelas siang, acara masak-masak itu pun selesai. Tentunya Nara ikut membantu Teh Arum sebagai ganti karena sudah menyita waktu beliau.
"Alhamdulillah selesai juga ya, Teh," ucap Nara sambil merenggangkan otot-ototnya.
"Alhamdulillah, Non." Teh Arum pun tersenyum lega.
Dua jam berlalu. Deru mobil di lantai bawah membuat Nara tersadar jika sang Suami sudah pulang. Nara yang masih bertahan di atas sajadah panjangnya, enggan beranjak dan menyambut. Dia masih belum sanggup melihat wajah madunya.
"Aku bisa beralasan sedang sholat. Jadi, aku tidak perlu menyambut mereka," gumam Nara lalu kembali berzikir demi ketenangan batinnya.
Baru beberapa menit berlalu, Nara mendengar salam diikuti suara pintu kamarnya yang terbuka. Tidak ingin langsung menoleh karena sadar siapa pelakunya, Nara memilih menengadahkan telapak tangan untuk berdoa.
Setelah selesai, baru Nara menoleh dan menjawab salam dari sang Suami. "Waalaikumsalam, Mas. Sudah pulang? Maaf tidak menyambut karena sedang sholat," ucap Nara tersenyum manis.
Arjuna hanya mengangguk dengan sorot mata tak lepas menatap Nara. Tatapan yang lekat dan menelisik dalamnya luka yang sedang Nara tanggung.
Helaan napas pelan pun terdengar. Arjuna tentu tahu jika seharian ini Nara pasti menangis. Selain informasi dari Teh Arum, mata sembab sang Istri tidak bisa membohongi.
"Apa Mas melukai perasaan kamu?" tanya Arjuna sambil mendekati Nara. Namun, secepat kilat Nara menghindar. Dia tidak ingin disentuh Arjuna untuk saat ini, mengingat jika semalam suaminya baru berbagi keringat dengan wanita lain.
Nara tersenyum tipis. "Kenapa bertanya seperti itu? Itu tidak penting lagi, Mas," jawab Nara pura-pura sibuk melipat mukenah.
Arjuna kembali mendekat dan kali ini Nara tidak bisa menghindar lagi. Suaminya itu menghimpit Nara pada tembok dengan jarak wajah yang sangat dekat.
"Mas rindu, Ra," lirih Arjuna lalu ingin mencuri kecupan di bibir Nara. Namun, Nara segera melengos dan ciuman suaminya itu mendarat di pipi. Nara tersenyum manis.
"Aku juga, Mas," jawab Nara lalu membingkai wajah Arjuna.
Melihat Arjuna yang lengah, Nara segera melepaskan diri. "Aku harus menyimpan Al Quran terlebih dahulu, Mas."
Hal itu tidak berlangsung lama karena Arjuna kembali mendekat dan memeluknya dari belakang. "Kamu kenapa sih, Mas? Bukannya semalam kamu baru mendapat kesenangan?" tanya Nara kesal tetapi tetap menjaga nada bicaranya agar tetap lembut.
"Nara!" protes Arjuna tidak ingin Nara menyinggung nya.
Nara tertawa. "Kenapa, Mas? Aku berkata benar kan?"
"Nara! Mas terpaksa melakukannya. Tolong, jangan berucap seperti itu lagi," jawab Arjuna lalu menumpukan dagu pada bahu Nara.
Menurut. Nara pasrah dalam pelukan sang Suami Dia pun merindukan pelukan yang hanya baru kemarin dia rasakan. Aneh. Bukannya membenci karena telah di madu, Nara justru semakin cinta pada suaminya itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...mampir juga ke sini yuk 👇👇...