••GARIS TAKDIR RAYA••
Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.
Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.
Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31: Di jemput Ryan
Raya perlahan membuka matanya yang masih berat dengan kantuk. Cahaya temaram dari lampu kamar menyinari wajahnya yang polos tanpa riasan. Rambut panjangnya berantakan, beberapa helainya jatuh ke wajah. Dia mengerjapkan mata beberapa kali, berusaha mengumpulkan kesadaran penuh.
"Euhhh..." lenguhnya seraya menggeliat di atas ranjang yang empuk. Mata beningnya mulai menelisik setiap sudut kamar yang tidak familiar. Dinding bercat krem lembut dengan tirai yang menutupi jendela kaca besar yang mengarah ke balkon memberikan kesan hangat. Sebuah lukisan besar menghiasi dinding sebelah tempat tidur.
"Astaga... apa aku masih di rumah kak Arka?" gumamnya terkejut saat menoleh ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul delapan malam.
Raya langsung bangkit dari ranjang, kaki telanjangnya menyentuh karpet tebal yang lembut. Dengan langkah tergesa-gesa, dia membuka pintu kamar dan menuruni tangga spiral yang elegan menuju lantai satu. Aroma harum masakan tercium samar dari arah ruang makan. Matanya menangkap sosok seorang pelayan yang sedang sibuk menata makanan di atas meja makan yang besar. Raya segera menghampiri wanita itu.
"Bibi... maaf mengganggu," ujar Raya dengan sopan.
"Ya, nyonya... Anda memerlukan sesuatu?" tanya wanita paruh baya itu dengan senyum ramah.
"Aku mencari kak Arka, Bi. Oh ya, sebelumnya kan aku sudah bilang kalau aku tidak mau dipanggil nyonya. Panggil Raya saja, Bi," pintanya dengan nada santai. Pelayan itu tampak sedikit terkejut, tetapi tetap menjaga sopan santunnya.
"Maaf, nyonya. Saya tidak bisa melakukannya. Dan untuk tuan Arka, sepertinya beliau ada di ruang kerjanya," jawab nya menunduk sopan.
"Ruang kerja?" gumamnya dalam hati. Setahunya, kakak tingkatnya itu belum bekerja. Lalu kenapa dia punya ruang kerja? Raya berdiri mematung sesaat, rasa penasaran mulai menyelimuti pikirannya, dahi nya terlihat mengerut.
"Hah, ruang kerja? Memangnya Kak Arka sudah bekerja?" tanya Raya bingung, mata cantiknya berkeliling mencoba mencari jawaban atas kebingungannya.
"Akh... nyonya belum tahu rupanya, maafkan saya yang lancang mengatakan itu. Sebaiknya Anda tanyakan saja langsung pada Tuan Arka," jawab pelayan dengan nada hormat, merunduk sedikit.
"Tapi, Bi..." Ucapan Raya terpotong.
"Kamu sudah bangun ternyata, aku panik mencari kamu di kamar, tapi tidak ada," ujar Arka yang muncul tiba-tiba dari arah belakang, sembari tersenyum, wajahnya tampak lebih segar dengan baju santainya yang rapi. Raya langsung menoleh ke arah sumber suara tersebut. Setelah melihat Arka, dia langsung melayangkan pertanyaan yang mengganjal di pikirannya.
"Kak... apa kamu sudah bekerja?" tanya Raya dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
"Apakah semua makanan sudah siap?" Arka justru balik bertanya, seakan menghindar dari pertanyaan yang baru saja diajukan Raya.
"Sudah, Tuan. Semuanya sudah siap di meja makan. Saya izin kembali bekerja," ujar pelayan itu sopan, mengangguk hormat kepada Arka sebelum melangkah pergi, meninggalkan kedua orang itu di ruang makan.
"Ayok, makan," ujar Arka, mengulurkan tangannya seolah menuntun Raya untuk mengikuti langkahnya.
"Kak... aku tadi bertanya padamu, kenapa malah mengalihkan pembicaraan?" tanya Raya dengan tatapan serius saat mereka sudah duduk saling berhadapan di meja makan. Di atas meja, berbagai jenis makanan terhidang dengan indah, aroma harum yang menggugah selera memenuhi udara di sekitar mereka.
"Aku tidak suka mengobrol jika sedang makan! Kamu bisa tanyakan itu nanti," jawab Arka dengan nada tegas, Raya terdiam sejenak, bingung akan reaksi Arka. Raya memilih untuk memendam rasa penasaran itu, terjebak dalam diam.
Setelah beberapa menit, akhirnya mereka selesai menyantap makan malam mereka. Raya menunggu dengan sabar hingga Arka selesai meneguk minumannya, lalu kembali membuka percakapan dengan suara pelan namun penuh rasa ingin tahu.
"Apa aku sudah boleh bertanya?" tanya Raya dengan sedikit cemas, matanya menatap Arka, menunggu persetujuan. Arka terdiam sejenak, matanya menyelidik wajah Raya sebelum akhirnya mengangguk. Dia meletakkan gelasnya perlahan di atas meja, lalu bangkit dari duduknya sembari berkata.
"Aku memang sudah bekerja. Aku satu-satunya pewaris keluarga Louwis. Jadi, semenjak aku remaja, aku sudah dibebankan tanggung jawab perusahaan ini oleh keluarga ku." Raya mendengarkan penjelasan Arka dengan seksama, seolah semua teka-teki yang mengganggu pikirannya mulai terpecahkan.
"Jadi, kamu kuliah sambil bekerja selama ini?" tanya Raya lagi, suaranya penuh rasa penasaran.
"Lebih tepatnya, bekerja sambil kuliah. Ayo, pindah ke ruang tamu. Aku tidak suka mengobrol di meja makan," jawab Arka singkat, memulai langkah menuju ruang tamu tanpa menunggu Raya menjawab. Kini, kedua insan itu duduk santai di ruang tamu, suasana sedikit lebih nyaman, namun Raya masih merasa ada banyak hal yang ingin dia ketahui.
"Eoh... Pantas saja," ujar Raya, mengangguk pelan, seolah ada yang baru dipahaminya.
"Pantas saja apa?" tanya Arka dengan alis terangkat, bingung dengan komentar Raya yang tiba-tiba.
"Pantas saja waktu itu Kak Anna pernah bilang kalau kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu," ujar Raya, suara wanita itu sedikit terdengar lebih ringan, seperti ada kelegaan setelah banyak pertanyaan yang terjawab.
"Sejak kapan kamu sedekat itu dengan Anna?" tanya Arka dengan nada penasaran, memandang Raya dengan serius.
"Sejak kepulanganku dari villamu itu... semenjak kamu mengatakan jika aku kekasihmu. Semua orang sudah tidak pernah mengganggu aku lagi, begitu juga dengan teman-teman kakak. Mereka hanya sebatas menyuruh saja, dan selebihnya tidak ada," jawab Raya, suara yang terkesan sedikit tegas namun jujur.
"Baguslah... Katakan padaku jika mereka keterlaluan," jawab Arka enteng, sambil memberikan senyum tipis.
"Kak, aku akan pulang sekarang. Kamu sudah benar-benar sehat kan? Terimakasih sudah memberikan aku makan siang dan sekarang," ujar Raya, sedikit risih dengan kehadirannya yang sudah terlalu lama di rumah Arka.
"Aku akan mengantarmu pulang. Kamu ambillah semua barang-barangmu," jawab Arka sambil berdiri dan melangkah menuju lantai atas untuk mengambil barangnya.
Raya, yang mendengar itu, langsung mengikuti langkah Arka dengan cepat. Keduanya berjalan menuju tangga spiral yang ada di sisi ruang tamu. Arka melangkah lebih dulu, dengan langkah panjang dan mantap, sementara Raya mengikuti dengan sedikit terburu-buru. Tangga spiral itu terbuat dari kayu berwarna cokelat tua, memberi kesan mewah, namun kali ini, sepertinya Raya lebih fokus pada Arka yang berjalan di depannya.
Sesampainya di lantai atas, Arka berjalan menuju kamar tidurnya untuk mengambil barang-barang. Sementara itu, Raya langsung menuju kamar yang tadi ia gunakan untuk tidur. Dengan cepat, ia mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja dan menyalakan data internet. Begitu membuka layar ponselnya, terlihat banyak pesan dan panggilan tak terjawab masuk. Raya terkejut saat melihat pesan paling atas yang tertulis nama KAK RYAN. Dengan cemas, ia membuka ruang obrolan dan membaca beberapa pesan yang sudah dikirimkan Ryan padanya.
"... Saya dan ibu saya akan ke rumah...
..... angkat telepon saya
.... Dasar kurang ajar, lihat saja apa yang akan saya lakukan padamu nanti."
Isi pesan Ryan itu membuat Raya tertegun, bingung harus membalas apa. Di satu sisi, dia merasa tertekan jika tidak membalas, karena akan menjadi masalah lain. Namun, di sisi lain, ia tidak tahu bagaimana harus merespons pesan-pesan tersebut. Bahkan, tak ada pilihan yang tepat, karena dia sudah membaca pesan itu.
"Maaf, Kak… tadi aku mematikan ponselku karena sedang di-charge," tulis Raya, dengan ragu mengirimkan pesan tersebut pada Ryan. Tidak membutuhkan waktu lama, pesan itu telah dibaca oleh Ryan, dan selang beberapa detik kemudian, sebuah panggilan masuk dari nomor Ryan.
"Iya!" ujar Raya, yang mau tak mau harus menjawab panggilan itu.
"Saya akan datang ke sana. Tetap di sana sampai saya datang," ujar Ryan, lalu memutuskan sambungan telepon dari sebelah pihak.
Raya terdiam sejenak, menggigit bibir bawahnya, berusaha mencerna kata-kata Ryan. Namun, saat itu Arka tiba-tiba masuk ke kamar. Pintu terbuka dengan suara berderit pelan, dan Arka muncul dari balik pintu. Raya tersentak, terkejut dengan kedatangan Arka begitu tiba-tiba. Pandangan Arka yang tajam langsung menyapu sekeliling kamar, lalu beralih ke Raya yang masih memegang ponselnya.
"Ayo!" ujar Arka, memanggil Raya agar ikut bersamanya, dengan nada yang sedikit mendesak.
"Raya, ayo!" ujar Arka sekali lagi.
"Kak, boleh aku menunggu sebentar lagi? Dan ya, kamu tidak perlu mengantarkanku pulang. Ada yang akan menjemputku," ujar Raya, berkata jujur pada pria yang sedari tadi menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Siapa?" ujar Arka setelah beberapa saat terdiam, seolah mencoba mencerna jawaban Raya.
"Kak Ryan," ujar Raya, yang berhasil merubah mimik wajah Arka.
"Aku bersumpah, tidak pernah memberitahukan alamat rumah ini padanya, Kak. Aku juga tidak tahu bagaimana bisa dia mengetahui keberadaanku saat ini," ujar Raya, langsung berinisiatif untuk menjelaskan semuanya pada Arka agar pria itu tidak salah paham padanya.
"Tanpa kamu mengatakan itu juga, dia akan tahu dengan mudah. Dia punya uang dan kekuasaan. Kamu tidak perlu heran… It's okay. Ayo turun, aku akan menemanimu sampai calon suamimu itu datang," ujar Arka sembari tersenyum tipis.
Raya mengangguk mengiyakan ucapan Arka. Keduanya pun turun ke lantai bawah, dan suara langkah kaki mereka bergema pelan di tangga spiral yang terbuat dari kayu itu. Setiap langkah Arka diikuti Raya dengan hati-hati setelah beberapa detik, mereka sampai juga di lantai bawah dan duduk menunggu kedatangan Ryan.
"Raya... aku ingin bertanya sesuatu tentang keluargamu. Tapi, apakah boleh?" tanya Arka dengan nada hati-hati. Keduanya tengah duduk di ruang tamu, menikmati suasana sore sambil menonton televisi yang volumenya hanya terdengar sayup.
"Ya... silakan saja," ujar Raya sambil tersenyum kecil, berusaha terlihat ramah meski pikirannya terasa berat. Lagi pula, daripada mereka hanya duduk diam menunggu kedatangan Ryan, lebih baik berbincang.
"Apa kamu merindukan keluargamu?," tanya Arka dengan nada, bicara sedikit ragu. Raya terdiam beberapa detik, pandangannya menerawang ke arah jendela yang memantulkan sinar matahari yang mulai redup.
"Ya, sangat... Tapi aku yakin mereka tidak merindukan aku sama sekali. Mungkin saja Ibu, Ayah, Kakak, dan Adik sudah bahagia tanpa kehadiranku." Suaranya terdengar getir. Arka menatapnya penuh perhatian, menyadari ada luka lama yang terbuka dalam setiap kata yang keluar dari mulut gadis itu.
"Sejak dulu mereka selalu mengatakan aku anak pembawa kesialan juga tidak berguna. Selama ini tidak ada tanda-tanda bahwa mereka mencari aku. Mungkin saja mereka sudah lupa kalau pernah melahirkan anak seperti aku. Kakak pun tahu sendiri, kan?" lanjut Raya, dengan tatapan kosong yang menyakitkan untuk dilihat.
Arka terdiam, hatinya teriris mendengar cerita yang keluar dengan begitu pahit. Pikiran Raya kembali melayang ke masa lalunya—masa saat dia tinggal satu atap bersama keluarganya yang memperlakukannya seperti seorang budak. Perintah dan caci maki silih berganti, membuatnya merasa tidak berharga. Namun, di balik luka itu, ada sedikit rasa lega karena dia sekarang dikelilingi orang-orang baik seperti Arka, Liu, Mia, dan Ulamay. Walaupun semua tidak terjadi begitu saja, setidaknya dia merasa bahwa dirinya masih pantas hidup di dunia ini.
"Ouh, begitu... Maafkan aku. Apa sesuatu pernah terjadi sebelumnya? Bagaimana bisa orang tuamu seperti itu?" tanya Arka dengan hati-hati.
"Aku tidak tahu juga... Aku tidak terlalu ingat dengan masa kecilku," jawab Raya, disertai anggukan kecil dari Arka yang menghormati batasan cerita Raya.
"Kamu yakin akan menikah dengan pria itu? Kamu mencintainya?," jawab Arka setelah hening beberapa saat.
"Ya... aku akan menikah dengannya," jawab Raya singkat, namun suaranya terdengar samar.
"Kamu mencintainya?" ulang Arka tegas, pria itu tidak puas dengan jawaban yang dia dengar.
"Kita hanya butuh waktu," jawab Raya dengan kepala tertunduk, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
"Bukan waktu!! Aku bertanya, apakah kamu mencintai pria itu?," potong Arka dengan suara lebih dalam. Raya terdiam, bibirnya terbuka tapi tidak ada kata yang keluar.
"Raya? Aku bertanya padamu, kamu mencintai pria itu?" desak Arka lagi.
"I... ya... aku mencintainya," jawab Raya terbata-bata. Namun, suaranya yang bergetar dan tatapannya yang kosong membuat kebohongannya terasa jelas bagi siapa pun yang mendengarnya. Arka menarik napas panjang, mencoba meredam emosi yang mulai memenuhi dadanya.
"Jika nanti kamu menikah dengan orang itu, apa kamu akan meminta aku untuk datang?" tanyanya dengan nada yang berusaha terdengar santai, meski jelas dia sedang mengalihkan pembicaraan. Raya tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Arka dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Perasaan aneh menggelayut di hatinya. Ia tak menyangka pembicaraan mereka akan berakhir ke topik seperti ini.
"Apa kakak bersedia?" tanyanya sembari menyunggingkan senyum tipis yang terlihat dipaksakan. Dia tahu Arka merasa tidak enak dengan ucapannya tadi.
"Sebenarnya tidak. Aku tidak ingin membuang waktuku yang berharga hanya untuk hal seperti itu," jawab Arka santai, sebelum menambahkan dengan nada lebih serius "Tapi karena ini pernikahanmu aku pasti datang," lanjut nya.
"Kak... kenapa kamu tiba-tiba saja baik padaku? Apa ada hal yang aku lakukan yang membuatmu memaafkan ku? Dan ya, kenapa kamu masih memakai cincin pertunangan itu?, padahal aku bilang aku akan mengembalikan cincin ku nanti" tanya Raya dengan suara lembut namun penuh rasa penasaran. Raya pikir Arka hanya bercanda dengan ucapannya kemarin soal cincin pertunangan mereka yang akan berubah fungsi menjadi cincin persahabatan. Arka terdiam sejenak, kemudian menatapnya dalam.
"Karena aku sadar jika aku mencintaimu," ujarnya lugas, membuat Raya terdiam beberapa detik. Namun pada akhirnya, tawa kecil lolos dari bibir gadis itu. Dia menutup mulutnya dengan tangan, tak menyangka Arka berkata seperti itu dengan wajah serius.
"Kenapa tertawa? Aku serius, Raya. Jangan kembalikan cincin itu, simpan saja," ujar Arka sembari menaikkan sebelah alisnya dengan gaya khas yang selalu membuat Raya bingung antara ingin tertawa atau merasa jengah.
"Kenapa hari ini kakak banyak bercanda?" tanya Raya bingung, menatap Arka yang terlihat tak seperti biasanya.
"Aku tidak bercanda, Raya. Apa kamu pikir aku bercanda?" ujar Arka, terlihat sedikit kesal. Suaranya terdengar sedikit lebih tegas, seolah ingin menegaskan bahwa dia tidak main-main.
"Kak, kenapa sikapmu seharian ini membuatku bingung? Tadi pagi saat di rumah sakit, kamu begitu pendiam. Namun tiba-tiba saja kamu menangis, lalu kamu banyak bercanda setelahnya. Lalu, menangis tersedu-sedu saat kita pergi ke makam kakek nenekmu, setelahnya kamu kembali jadi pria tegas. Sekarang, kenapa kamu tiba-tiba saja mengatakan cinta padaku? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Raya, penasaran dengan perubahan sikap kakak tingkatnya itu, yang dia anggap tidak normal.
"Apakah kamu membenciku?" tanya Arka lagi, kali ini dengan suara yang sedikit lebih rendah, namun masih terdengar jelas.
"Aku sudah bilang kan tadi, jika aku tidak membenci siapa pun. Semua orang pernah melakukan kesalahan. Selagi dia mau berubah dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, maka aku akan memaafkan mereka," ujar Raya sembari menatap mata Arka. Netra mata keduanya saling bertemu, menciptakan keheningan yang tak terungkapkan dengan kata-kata.
"Aku mencintaimu, Ray... Sungguh," ujar Arka tanpa sadar, sementara dia menarik tangan Raya sehingga posisi duduk Raya semakin mendekat padanya.
"Apa? Kamu sedang mabuk, Kak?" tanya Raya, penasaran. Dia menempelkan tangannya di kening Arka, memastikan apakah pria itu sedang tidak dalam pengaruh minuman ber - alkohol.
"NO!" ujar Arka, cepat menggelengkan kepalanya. Wajahnya semakin terlihat serius.
"Lalu, kamu kenapa?" ujar Raya bingung. Dia perlahan melepaskan tangan Arka yang masih memegang tangannya, lalu duduk sedikit menjauh untuk memberi ruang.
"Aku bilang aku mencintaimu, Ray. Cinta ini datang tiba-tiba. Aku sakit saat melihat kamu bersamanya. Aku ingin kamu menjadi milikku, tapi semuanya sudah terlambat karena kamu sudah akan dimiliki oleh orang lain," ujar Arka, dengan tatapan mata yang tiba-tiba sayu. Ada kesedihan mendalam yang tak bisa dia sembunyikan.
"Mencintaiku? Tapi kenapa? Apa ada orang tua kakak datang?" tanya Raya penasaran, matanya celingukan kesana-kemari mencari keberadaan orang tua Arka, tak yakin dengan apa yang baru saja dia dengar.
"Tatap mataku... lihatlah aku serius dengan ucapanku," ujar Arka, sambil menarik tangan Raya lagi dan memintanya untuk menatap matanya. Suara Arka penuh tekad, terkesan sedikit memaksa. Lagi dan lagi, netra mereka bertemu. Raya menelisik jauh ke dalam bola mata pria yang ada di hadapannya itu. Tatapan mata yang begitu tulus dan juga sangat indah untuk dipandang. Raya baru menyadari bahwa pria yang ada di hadapannya itu tampak begitu tampan dan sempurna, tidak kalah tampan dari Ryan.
"Jangan seperti ini, Kak... Kamu kenapa? Apa sedang mabuk?" tanya Raya, berusaha menjauh, merasakan cemas yang semakin menguasai dirinya. Tubuhnya bergetar kecil saat Arka semakin mendekat, namun pria itu malah melingkarkan tangannya di pinggang Raya, menahannya agar tak bisa bergerak leluasa.
"Kak..." ujar Raya, dengan suara lembut namun tegas, menahan dada Arka agar tidak terlalu dekat dengan dirinya.
"Ekhmm..... " Suara deheman itu, yang terdengar seperti klarifikasi tak sengaja, berhasil membuat dua insan yang sedang saling bertatapan itu mengalihkan perhatian mereka. Mata keduanya tertuju pada sumber suara itu, dan jantung Raya seakan berhenti sejenak.
"Kak Ryan!" Raya terkejut, suaranya hampir tercekat. Ia tak menyangka bahwa Ryan benar-benar datang menjemputnya. Ryan berdiri tegak di ambang pintu, sosoknya tampak begitu tenang namun penuh kewibawaan. Raya hampir tak percaya, bahkan calon suaminya itu menjemputnya sampai ke depan pintu masuk kediaman utama keluarga Louwis. Raya bertanya-tanya, bagaimana mungkin Ryan bisa diizinkan masuk oleh penjaga gerbang yang biasa sangat ketat?
Arka melepaskan cengkraman tangannya di pinggang Raya, dan tersenyum tipis, tatapannya tetap terkunci pada Ryan. Senyum itu seolah penuh makna, seperti sedang menantang pria yang kini berdiri dengan angkuh di pintu masuk mansion tersebut.
Mata Arka tak lepas dari Ryan, dan di balik tatapan itu ada ketegangan yang semakin jelas terasa di antara keduanya.
"PULANG!!" Ryan akhirnya berbicara dengan suara yang begitu tegas, meski raut wajahnya terlihat datar, sebuah perintah yang keluar dengan nada yang lebih keras dari biasanya. Meski tak ada ekspresi marah yang mencuat, namun ada kekuatan yang memancar dari tatapan matanya yang tajam. Raya merasa tubuhnya sedikit tegang mendengar perintah itu. Namun di sisi lain, matanya tetap terpaku pada dua pria yang ada di hadapannya, seperti dua dunia yang saling bertabrakan.