NovelToon NovelToon
Black World

Black World

Status: sedang berlangsung
Genre:Horror Thriller-Horror
Popularitas:350
Nilai: 5
Nama Author: GrayDarkness

Bacin Haris seseorang mencari ibunya yang hilang di dunia lain yang disebut sebagai Black World. Dunia itu penuh dengan kengerian entitas yang sangat jahat dan berbahaya. Disana Bacin mengetahui bahwa dia adalah seorang Disgrace, orang hina yang memiliki kekuatan keabadian. Bagaimana Perjalanan Bacin didunia mengerikan ini?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GrayDarkness, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Next What

Ia mengalihkan perhatian ke tujuannya. Dari saku jaketnya, Bacin mengeluarkan selembar kertas daftar nama dan sebuah foto bangunan misterius yang ia temukan di meja Viktor Lenz.

"Aku menemukan ini," katanya, menyerahkan benda itu kepada Zein. "Apa kau tahu sesuatu tentang ini?"

Zein mengambil kertas itu dan memeriksanya dengan satu mata tajamnya.

"Ini adalah daftar nama…" gumamnya, "Nama-nama orang yang telah diculik, mungkin. Tapi bangunan ini… aneh."

Zein menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih dalam, lalu menggelengkan kepalanya.

"Aku tidak bisa melihatnya."

Bacin terkejut. "Apa maksudmu?"

Zein menatapnya, "Aku memiliki kemampuan penglihatan spesial, Bacin ingat? Aku bisa mendeteksi hal-hal tersembunyi, tetapi bangunan ini… sepertinya ada semacam kekuatan yang melindunginya, menyembunyikannya dari deteksi normal. Ini bukan tempat biasa. Ada sesuatu yang sangat berbahaya di sana."

Bacin menatap foto itu dengan lebih serius. Jika bahkan Zein tidak bisa mendeteksinya, berarti ini adalah sesuatu yang benar-benar harus diwaspadai.

Zein melipat kertas itu dan mengembalikannya ke Bacin. "Kepolisian di dunia nyata mungkin bisa membantumu lebih jauh dalam menyelidiki ini."

Bacin mengangguk mengerti. "Jadi aku harus kembali ke dunia nyata?"

"Ya," jawab Zein tegas. "Pergilah ke dunia nyata dan cari tahu lebih banyak. Semakin cepat kau bergerak, semakin baik."

Saat Bacin hendak melangkah menuju pintu hitam, sebuah suara menghentikannya.

"Oh, satu hal lagi, Bacin."

Bacin menoleh ke arah Zein yang masih berdiri di dekatnya. Ekspresi pria botak itu serius, berbeda dari biasanya.

"Aku mendeteksi kekuatan di sekitar tempat tinggalmu," lanjut Zein dengan nada waspada. "Berhati-hatilah. Aku melihat sesuatu yang… mengerikan."

Bacin mengerutkan kening. "Mengerikan? Maksudmu apa?"

Zein mendekatkan wajahnya sedikit, suaranya lebih rendah.

"Jika seseorang berbicara denganmu di luar sana… jangan pernah menolaknya."

Bacin semakin bingung. "Apa maksudmu? Siapa yang berbicara denganku?"

Zein tidak menjawab langsung. Mata satu itu menatapnya tajam sebelum akhirnya berkata dengan nada dingin, "Jika kau menolaknya, kau akan mengalami siksaan yang sangat kejam… Siksaan yang begitu menyakitkan hingga kau akan merasa bahwa kematian adalah pilihan yang lebih baik daripada hidup."

Darah Bacin berdesir. Ia telah mengalami banyak hal mengerikan di dunia ini, tapi cara Zein mengatakannya membuat bulu kuduknya berdiri.

"Aku…" Bacin hendak bertanya lebih lanjut, tetapi Zein sudah berbalik, berjalan kembali menuju lantai atas hotel, menghilang dalam kegelapan koridor.

Sementara itu, Rain kembali berdiri di belakang meja resepsionis. Wajahnya yang cantik kembali dihiasi dengan senyum misterius.

"Hati-hati, Bacin~" katanya dengan nada menggoda, "Jangan sampai kau menyesal telah kembali."

Bacin mengabaikannya. Ia tidak ingin tinggal lebih lama lagi di tempat ini.

Dengan langkah mantap, ia meraih gagang pintu hitam di hadapannya. Pintu itu terasa lengket dan berlendir, seolah-olah ia sedang memegang sesuatu yang hidup.

Saat Bacin mendorong pintunya terbuka, lendir hitam menyembur keluar, membasahi lantai. Udara dingin menusuk tubuhnya, dan tiba-tiba semuanya menjadi gelap.

Bacin merasakan sensasi jatuh, seakan tubuhnya ditarik keluar dari dunia terkutuk ini.

Saat Bacin membuka matanya, ia sudah berada di dalam bangunan terbengkalai—tempat pintu hitam itu selalu muncul di Desa Melati, Bandung.

Udara di sekitarnya pengap, bau kayu lapuk dan debu memenuhi hidungnya. Sebuah pintu tua berkarat ada di belakangnya, pintu yang tadi ia gunakan untuk kembali.

Namun, yang langsung menarik perhatiannya adalah seorang pria yang duduk tak jauh darinya.

Razor.

Pria itu sedang duduk santai di kursi reyot, bermain dengan ponselnya. Tatapan tajamnya sesekali melirik ke layar, lalu kembali fokus pada ponselnya.

Bacin sempat berpikir untuk menyapanya, tetapi ia memutuskan untuk mengabaikannya.

Ada hal yang lebih penting untuk dilakukan.

Dengan langkah cepat, Bacin berjalan keluar dari bangunan tua itu. Begitu keluar, ia langsung disambut oleh suasana desa yang sunyi. Langit mendung, menambah kesan kelam di tempat ini.

Tanpa membuang waktu, Bacin menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari sana.

Mobil tua itu mungkin sudah mulai usang, tetapi masih cukup kuat untuk membawanya kembali ke kota.

Saat mesin mobil menyala, ia menghela napas panjang.

"Baiklah… Saatnya kembali ke kantor."

Bacin menekan pedal gas dan mulai melajukan mobilnya meninggalkan Desa Melati, menuju Kota Bandung—tempat di mana ia bekerja sebagai seorang polisi.

Namun, di benaknya, kata-kata Zein masih terngiang.

"Jangan pernah menolaknya…"

Siapa yang dimaksud Zein?

Setelah menempuh perjalanan panjang selama tiga jam, Bacin akhirnya tiba di depan kantor polisi tempatnya bekerja di Kota Bandung. Langit mulai gelap, lampu-lampu jalan menyala redup, dan suasana kota masih terasa hidup dengan kendaraan berlalu-lalang.

Bacin memarkir mobilnya di tempat biasa, lalu keluar dengan langkah cepat menuju gedung utama.

Saat ia memasuki kantor, aroma khas kopi dan kertas memenuhi hidungnya. Beberapa rekan kerjanya tampak sibuk dengan berkas-berkas, ada yang duduk di meja sambil mengetik laporan, ada pula yang berbincang dengan nada serius.

Tanpa membuang waktu, Bacin langsung menuju ruangan Jenderal Inspektur Hendra, seorang perwira tinggi yang telah lama menjadi atasannya.

Ketika Bacin membuka pintu, ia langsung disambut oleh sosok lelaki tua berambut putih dengan kumis tebal yang tampak sudah menunggu di balik meja kayunya yang besar.

"Bacin, kau datang," kata Hendra sambil menatapnya dengan mata tajam namun penuh wibawa.

Bacin menghormat lalu mengangguk. "Ya, Pak. Saya mendapatkan petunjuk baru yang mungkin bisa membantu penyelidikan kita."

Namun, sebelum ia sempat melanjutkan, Hendra mengangkat satu tangan, memberi isyarat untuk diam.

"Nanti saja, Bacin." Suaranya terdengar sedikit berat. "Ada hal lain yang lebih penting yang harus kau ketahui."

Bacin mengerutkan kening. Ada nada serius dalam suara Jenderal Hendra, sesuatu yang membuatnya merasa ada hal besar yang akan terjadi.

Sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.

Seseorang masuk.

Bacin menoleh ke arah pintu, dan matanya langsung tertuju pada sosok yang baru saja melangkah masuk ke dalam ruangan.

Sosok itu tinggi dan berpostur tegap, mengenakan helm hitam yang sepenuhnya menutupi kepalanya, lengkap dengan masker anti-radiasi yang menutupi wajahnya.

Baju armor berwarna gelap menutupi tubuhnya, memberikan kesan kuat dan berbahaya.

Ia berjalan dengan tenang, setiap langkahnya terdengar jelas di ruangan yang tiba-tiba menjadi sunyi.

Jenderal Hendra berdiri, lalu menatap Bacin dengan serius.

"Perkenalkan, Bacin," katanya dengan nada formal. "Ini adalah Direktur Jenderal Simon Berry."

"Dia yang akan menjadi pemimpin divisi barumu."

Bacin terdiam sejenak. Divisi baru? Apa maksudnya?

Namun, sebagai seorang polisi, ia tetap menjaga sikap.

Dengan sigap, Bacin memberikan hormat kepada Simon Berry.

"Salam hormat, Pak Simon."

Simon Berry mengangguk pelan. Meskipun wajahnya tersembunyi di balik helm dan masker, ada aura otoritas yang kuat mengelilinginya.

Lalu, dengan suara yang dalam dan tegas, Simon berkata, "Hendra, mulai dari sini, aku akan mengambil alih."

Jenderal Hendra menghela napas, lalu mengangguk.

"Mengerti," jawabnya singkat.

Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Bacin sendirian dengan Simon Berry.

Begitu pintu tertutup, keheningan memenuhi ruangan.

Bacin menatap sosok misterius di depannya.

Siapa sebenarnya Simon Berry?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!