NovelToon NovelToon
Alena: My Beloved Vampire

Alena: My Beloved Vampire

Status: tamat
Genre:Tamat / Romansa Fantasi / Vampir / Romansa
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: Syafar JJY

Alena: My Beloved Vampire

Sejak seratus tahun yang lalu, dunia percaya bahwa vampir telah punah. Sejarah dan kejayaan mereka terkubur bersama legenda kelam tentang perang besar yang melibatkan manusia, vampir, dan Lycan yang terjadi 200 tahun yang lalu.

Di sebuah gua di dalam hutan, Alberd tak sengaja membuka segel yang membangunkan Alena, vampir murni terakhir yang telah tertidur selama satu abad. Alena yang membawa kenangan masa lalu kelam akan kehancuran seluruh keluarganya meyakini bahwa Alberd adalah seseorang yang akan merubah takdir, lalu perlahan menumbuhkan perasaan cinta diantara mereka.
Namun, bayang-bayang bahaya mulai mendekat. Sisa-sisa organisasi pemburu vampir yang dulu berjaya kini kembali menunjukan dirinya, mengincar Alena sebagai simbol terakhir dari ras yang mereka ingin musnahkan.
Dapatkah mereka bertahan melawan kegelapan dan bahaya yang mengancam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Syafar JJY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 14: Kenangan Dalam Kebersamaan

Chapter 33: Rumah Keluarga Shevani

Matahari bersinar rendah di ufuk timur, cahayanya yang keemasan memantul lembut di atas dedaunan yang masih basah oleh embun pagi. Udara dingin meresap hingga ke tulang, membawa aroma tanah basah setelah hujan semalam.

Di jalanan beraspal yang sunyi, sebuah mobil melaju perlahan, meninggalkan keramaian kota. Alberd memegang setir dengan konsentrasi penuh, sesekali melirik ke jalan kecil yang semakin dipenuhi pepohonan di kiri dan kanan. Di sebelahnya, Alena duduk diam, pandangannya menerawang ke luar jendela, seolah melintasi waktu yang telah lama berlalu.

“Kita akan segera sampai,” gumam Alena pelan, suaranya nyaris tenggelam dalam deru mesin.

Alberd meliriknya sejenak sebelum kembali fokus pada jalan.

“Aku masih ingat tempat ini. Dulu, aku tersesat di hutan ini saat dikejar penjahat. Siapa sangka jalanku membawaku bertemu denganmu.”

Alena tersenyum tipis, namun matanya tetap memandang lurus ke depan.

“Jika kita memutar sedikit ke depan, kita akan menemukan jalan kecil di sisi hutan. Di ujung jalan itu, dulu ada sebuah desa kecil.”

“Apa desa itu masih seperti dulu?” tanya Alberd, mencoba membaca ekspresi wajah Alena.

Alena menggeleng perlahan, senyumnya memudar.

“Seratus tahun lalu, sebelum aku menyegel diri, desa itu masih hidup. Tapi sekarang... aku tak tahu. Mungkin hanya reruntuhan yang tersisa.”

Alberd mengangguk, memahami kesedihan yang tersirat dalam nada suaranya.

“Jika ada yang tersisa, kita akan menemukannya. Dan jika tidak, kita tetap bisa mengenang mereka di sana.”

Wajah Alena mendung, suaranya bergetar ketika berkata,

“Rumahku hanya rumah kayu sederhana... dan rapuh. Rumah itu dibakar, bersama dengan ayah dan ibuku. Tapi aku ingat letaknya dengan jelas.”

Alberd meliriknya lagi, kali ini lebih lama. Wajah Alena yang murung membuat hatinya terasa berat.

“Alena, kita datang ke sini untuk mereka. Untuk mendoakan mereka, meminta restu mereka. Mulai sekarang, aku akan menjaga dan melindungimu.”

Air mata berkilauan di sudut mata Alena, tapi ia tersenyum kecil.

“Terima kasih, sayang...”

Mobil akhirnya berhenti di ujung jalan tanah. Mereka turun, dan seketika kesunyian menyergap. Udara di sini lebih dingin, dan hanya suara angin yang menggoyangkan dedaunan terdengar. Beberapa rumah tua yang dipenuhi lumut berdiri di antara banyak reruntuhan, memberikan nuansa melankolis.

“Mulai dari sini, kita harus berjalan kaki,” ujar Alena, menatap Alberd.

Alberd mengangguk, menggenggam tangannya dengan lembut.

“Ayo, tunjukkan jalannya.”

Mereka berjalan menyusuri jalan kecil yang dipenuhi rerumputan liar. Jejak sejarah yang terlupakan terasa begitu kuat di tempat ini.

“Alberd, kemari,” ujar Alena tiba-tiba, menuntunnya ke sebuah reruntuhan dinding batu.

“Coba pukul dinding ini, seperti yang aku ajarkan.”

Alberd menatap dinding itu ragu-ragu. Ia menarik napas panjang, memusatkan energi di tubuhnya seperti yang telah dilatih Alena. Energi hangat mulai mengalir di nadinya, menyatu dengan detak jantungnya. Dia lalu mengepalkan tangannya, dan..

“BRAKK!”

Dinding batu itu runtuh dengan satu pukulan. Alberd menatap tangannya dengan takjub, lalu beralih pada Alena yang tersenyum puas.

“Kontrolmu semakin baik,” puji Alena. “Dan waktu yang kamu butuhkan untuk memusatkan energi semakin singkat.”

Alberd tersenyum bangga.

“Aku ingin segera menguasainya, agar aku bisa melindungimu.” ucap Alberd seraya memandangi tangannya yang mengeluarkan api.

"Aku yakin kamu akan segera menguasainya.." balas Alena sambil tersenyum melihat Alberd.

"Agnovern dibuat dari kristal lunar yang sangat langka, menyimpan energi api dari matahari."

Alberd mengangguk paham.

"Aku akan terus melatihnya.."

Mereka kemudian melanjutkan perjalanan hingga tiba di tempat yang Alena maksudkan. Tempat itu kini nyaris tak berbekas. Sisa-sisa kayu hangus dan tiang-tiang tua yang rapuh menjadi satu-satunya saksi bisu tragedi yang terjadi seabad lalu.

“Di sini,” bisik Alena, suaranya gemetar.

Ia membuka tas kecilnya, mengeluarkan tiga papan kayu kecil bertuliskan nama ayah, ibu, dan adiknya. Tangannya bergetar saat meletakkan papan-papan itu di sudut reruntuhan yang dahulu menjadi rumahnya.

“Ayah... Ibu... Liliana... aku pulang...” lirihnya, air mata mengalir deras di pipinya.

Alberd meletakkan tangannya di pundak Alena, memberinya kekuatan. Ia berlutut di sampingnya, menundukkan kepala dengan mata yang berkaca-kaca.

“Ayah, Ibu, Liliana...” ucap Alberd dengan suara yang dalam.

“Izinkan aku menjaga Alena, seperti yang kalian harapkan. Aku bersumpah akan melindunginya, bahkan dengan nyawaku.”

Alena memandang Alberd dengan tatapan penuh haru. Air matanya tak kunjung berhenti, tapi di balik kesedihan itu, ada kehangatan yang memenuhi hatinya.

“Ibu, Ayah, aku sudah menemukan seseorang yang tepat. Tolong restui kami...” ucapnya di sela tangis, sebelum bersujud di depan papan-papan itu.

Setelah beberapa saat, Alberd membantu Alena berdiri. Ia menggenggam kedua tangan Alena dengan penuh keyakinan.

“Percayalah padaku, aku akan selalu bersamamu,” ucap Alberd lembut.

Alena menatapnya dengan senyum yang penuh ketulusan, meskipun matanya masih basah.

“Aku percaya, sayang. Kita akan saling menjaga... dan bersama selamanya.”

Mereka saling berpelukan erat, seolah membiarkan waktu berhenti sejenak di tengah reruntuhan yang penuh kenangan.

Beberapa saat kemudian, mereka kembali ke mobil, meninggalkan desa kecil yang menyimpan banyak luka sekaligus harapan.

Chapter 34: Makan Ramen Bersama

Di ruang tamu apartemen, Alena berbaring santai di sofa. Headphone terpasang di telinganya, kepalanya bergoyang pelan mengikuti irama musik dari ponselnya.

Di dinding, jam menunjukkan pukul lima sore.

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Alena melepas headphone, menatap layar sebentar, lalu bangkit menuju pintu apartemen.

Begitu pintu terbuka, Alberd dan Nina berdiri di ambang pintu, masing-masing membawa keranjang belanja plastik.

"Kak Alena!" seru Nina dengan riang, langsung melompat memeluknya.

"Nina... Alberd... Selamat datang, ayo masuk," balas Alena, tersenyum hangat sambil menerima keranjang belanja dari tangan Nina.

Nina langsung masuk dan duduk di sofa, sementara Alena memeriksa isi keranjang.

"Ini bahan-bahannya?" tanyanya pada Alberd.

"Iya, Nina sendiri yang memilih semuanya," jawab Alberd santai.

Alena melirik Nina sekilas. Gadis itu tersenyum bangga sambil terus mengunyah camilan di tangannya.

"Baiklah, aku akan menyimpan ini dulu," ujar Alena, menatap Alberd sejenak sebelum berbalik menuju dapur.

Alberd mengangguk kecil, lalu mengikuti Alena.

Saat Alena meletakkan keranjang di meja dapur, tiba-tiba Alberd mendekapnya dari belakang.

"Kamu merindukanku?" bisiknya di telinga Alena, suaranya dalam dan lembut.

Alena menoleh, bibirnya melengkung dalam senyuman manis.

"Setiap menit… aku selalu merindukanmu."

Alberd terkekeh pelan.

"Benarkah? Tapi aku merindukankanmu setiap detik." ucapnya seraya terus menciumi rambut Alena.

Perlahan, ia melepaskan pelukan, lalu menatap mata Alena.

"Satu minggu lagi upacara kelulusanku. Setelah itu, kita akan punya lebih banyak waktu bersama."

Mata Alena berbinar.

"Benarkah? Itu kabar yang luar biasa! Dengan begitu, kamu bisa lebih sering bersamaku." Tanpa ragu, ia langsung memeluk Alberd erat.

"Ehem…"

Suara Nina tiba-tiba menyusup di antara mereka. Alena dan Alberd sontak menoleh.

"Kak Alena, kapan kita mulai memasak ramen?" tanya Nina sambil menyeringai kecil.

Alena tertawa kecil, lalu melepas pelukannya dari Alberd.

"Baiklah, ayo kemari. Bantu aku menyiapkan bahan-bahannya."

"Siap, Kak! Hari ini kita akan membuat ramen terenak!" seru Nina bersemangat, berlari kecil menuju meja dapur.

"Aku tunggu di ruang tamu, kalau begitu," ujar Alberd sebelum melangkah pergi.

Alena dan Nina mulai memasak. Gerakan mereka cekatan, seperti dua koki yang sudah terbiasa bekerja sama. Sambil memasak, mereka berceloteh ringan, sesekali tertawa kecil.

45 Menit Kemudian

"Kak Alberd, tolong bawa ini!" seru Nina dari dapur.

Alberd segera datang dan membantu membawa mangkuk ramen yang masih mengepul hangat ke meja makan.

Aroma kuah ramen yang kaya langsung memenuhi ruangan. Di atas meja, semangkuk besar ramen tersaji, dikelilingi tiga mangkuk kecil dan sepasang sumpit di masing-masingnya.

Tanpa menunggu lebih lama, mereka mulai makan.

"Ini enak sekali!" ujar Alberd setelah suapan pertama.

"Tentu saja! Ini dibuat oleh koki hebat," sahut Nina bangga.

Alena tersenyum kecil sambil meniup ramen di sumpitnya sebelum memakannya.

Saat mereka hampir selesai makan, Alberd menyeka mulutnya dengan tisu, lalu berkata,

"Oh ya, Alena. Besok malam, Ibu dan Ayah mengundangmu ke rumah. Kita akan mengadakan pesta barbeque."

Alena menoleh, matanya berbinar. "Benarkah? Aku pasti datang!"

Nina meletakkan gelasnya yang sudah kosong, wajahnya sedikit memerah karena kepedasan.

"Ya, Kak. Besok itu ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibu," katanya sambil menuangkan air ke dalam gelasnya.

Alberd mengangguk.

"Kalau begitu, kita akan merayakannya bersama."

Alena tersenyum antusias.

"Aku tidak sabar!"

Tiba-tiba, Nina menoleh ke Alberd dengan seringai jahil. "Ngomong-ngomong, Kak Alberd, kami berdua yang memasak ramen ini. Artinya sekarang giliranmu…"

Alberd menaikkan satu alis.

"Giliran apa?"

Nina menunjuk tumpukan mangkuk kotor di meja.

"Giliranmu mencuci piring, dong! Jangan bilang kamu keberatan. Aku mau ngobrol dengan Kak Alena."

Alberd menghela napas panjang, lalu tersenyum pasrah.

"Baiklah…" katanya, lalu mulai menyusun mangkuk dan membawanya ke dapur.

Alena menutup mulutnya, menahan tawa melihat ekspresi kekasihnya.

Chapter 35: Vampire Lovers

Setelah Alberd pergi ke dapur, Nina menoleh ke Alena.

"Kak, ada yang mau kutanyakan."

Alena mengangguk. "Apa itu?"

Nina berpindah duduk lebih dekat. "Kakak vampir darah murni, kan?"

Alena menatapnya dengan sabar.

"Ya. Kenapa?"

"Aku sering menonton film dan membaca novel tentang vampir. Mereka selalu digambarkan sebagai makhluk kejam yang suka membunuh manusia. Tapi aku merasa itu terlalu dilebih-lebihkan," ujar Nina serius.

Ia menarik napas, lalu melanjutkan,

"Aku pernah mencari informasi lebih lanjut tentang vampir dari berbagai sumber. Akhirnya, aku menemukan sebuah catatan tua yang mengatakan bahwa vampir memang pernah ada di masa lalu. Tapi mereka tidak kejam seperti yang digambarkan dalam cerita fiksi."

Mata Alena sedikit melembut. Ia meraih tangan Nina dan menggenggamnya pelan.

"Memang benar, bangsa vampir bukanlah monster seperti yang sering diceritakan. Dulu, kami justru melindungi manusia dari ancaman Lycan. Tapi pada akhirnya, kami yang diburu hingga punah… termasuk keluargaku, klan Shevani." Suaranya sedikit melemah di akhir kalimat.

Nina tertegun. Jemarinya menggenggam tangan Alena lebih erat. "Jadi… manusia telah mengubah sejarah yang sebenarnya? Aku selalu merasa ada yang janggal. Sekarang semua pertanyaanku terjawab. Aku semakin kagum dengan bangsa vampir… terutama dengan Kak Alena."

Alena tersenyum lembut, lalu merangkul Nina. "Terima kasih, sayang."

Setelah beberapa saat, Nina kembali menatap Alena dengan raut penasaran.

"Kak, di film-film, vampir selalu digambarkan menghisap darah manusia sampai mati, dan gigitan mereka juga bisa mengubah manusia menjadi vampir. Itu semua bohong, kan?"

Alena tersenyum kecil.

"Itu benar bahwa vampir meminum darah manusia, tapi kami tidak membunuh mereka. Dan mengubah manusia menjadi vampir… tidak sesederhana itu."

Nina mengangguk mengerti. Tapi tiba-tiba, ia mendekat dan berbisik, "Kak, bolehkah kamu menghisap darahku? Aku penasaran rasanya digigit vampir."

Alena melotot. "Nina, kamu bercanda?"

"Tidak! Aku hanya ingin tahu bagaimana rasanya. Sekali ini saja?" pinta Nina dengan wajah penuh harap.

Alena menghela napas, lalu akhirnya mengangguk.

"Baiklah… tapi aku hanya akan menggigit tanganmu."

Nina tersenyum lebar, lalu mengulurkan tangannya.

Alena meraih pergelangan tangan Nina, lalu perlahan menggigitnya dengan lembut.

Nina menggigit bibirnya, matanya perlahan terpejam. Satu tangannya yang lain meremas bantal di sofa.

Saat Alena melepas gigitannya, dia mengusapkan jarinya lalu luka itu langsung menghilang tanpa bekas.

"Rasanya… luar biasa," gumam Nina sambil tersenyum kecil.

"Pantas saja Kak Alberd terlihat begitu nyaman saat kakak menggigitnya dulu…"

Alena tersenyum tipis.

"Gigitan vampir pada dasarnya memang tidak menyakitkan. Perasaan nyaman yang ditimbulkan itu akan semakin kuat tergantung sedalam apa hubungan antara vampir dan orang yang dihisap darahnya" jelas Alena.

Nina mengangguk paham.

Tak lama kemudian, Alberd keluar dari dapur dan duduk di sebelah Alena.

"Hmm… sepertinya kalian ngobrol seru sekali, apa yang kalian bicarakan" ucapnya curiga.

Alena dan Nina saling pandang, lalu tertawa kecil.

"Ini rahasia para wanita.." balas Nina menjulurkan lidahnya sedikit ke Alberd.

Alberd hanya menggelengkan kepala melihat tingkah keduanya.

*note: Mulai dari bab 15+ kita akan masuk ke konflik + aksi

1
Wulan Sari
critanya sangat menarik lho jadi kebayang bayang terus seandainya kenyataan giman
makasih Thor 👍 salam sehat selalu 🤗🙏
John Smith-Kun: Terima kasih, kebetulan ini novel pertama yang saya tulis, syukurlah klo ceritanya menarik
total 1 replies
Siti Masrifah
cerita nya bagus
John Smith-Kun: Thank u👍
total 1 replies
Author Risa Jey
Sebenarnya ceritanya bagus, ringan dan cocok untuk dibaca di waktu santai. Cuma aku bacanya capek, karena terlalu panjang. Satu bab cukup 1000 kata lebih saja, agar pas. Paling panjang 1500 kata. Kamu menulis di bab yang isinya memuat dua atau tiga chapter? ini terlalu panjang. Satu chapter, kamu buat saja jadi satu bab, jadi pas.

Bagian awal di bab pertama harusnya jangan dimasukkan karena merupakan plot penting yang harusnya dikembangkan saja di tiap bab nya nanti. Kalau dimasukkan jadinya pembaca gak penasaran. Kayak Alena kenapa bisa tersegel di gua. Lalu kayak si Alberd juga di awal. Intinya yang tadi pakai tanda < atau > lebih baik tidak dimasukkan dalam cerita.

Akan lebih baik langsung masuk saja ke bagian Alberd yang dikejar dan terluka hingga memasuki gua dan membangunkan Alena. Sehingga pembaca akan bertanya-tanya, kenapa Alberd dikejar, kenapa Alena tersegel di sana dan lain sebagainya.

Jadi nantinya di bab yang lain nya akan membuat keduanya berinteraksi dan menceritakan kisahnya satu sama lain. Saran nama, harusnya jangan terlalu mirip atau awalan atau akhiran yang mirip, seperti Alena dan Alberd sama-sama memiliki awalan Al, jadi terkesan kembar. Jika yang satu Alena, nama cowoknya mungkin bisa menggunakan awalan huruf lain.
John Smith-Kun: Untuk sifat asli Alena ada di bab 15 dan terima kasih atas sarannya
Author Risa Jey: 5.

Pengen lanjut baca tapi capek, gimana dong penulis 😭😭😭
total 5 replies
Dear_Dream
Jujur aja, cerita ini salah satu yang paling seru yang pernah gue baca!
Siti Masrifah: mampir di cerita ku kak
John Smith-Kun: Terima kasih🙏
total 2 replies
John Smith-Kun
Catatan Penulis:
Novel ini adalah karya pertama saya, sekaligus debut saya sebagai seorang penulis.
Mengangkat tema vampir dan bergenre romansa-fantasy yang dibalut berbagai konflik dalam dunia modern.
Novel ini memiliki dua karakter utama yang seimbang, Alena dan Alberd.

Novel kebanyakan dibagi menjadi dua jenis; novel pria dan novel wanita.
Novel yang bisa cocok dan diterima oleh keduanya secara bersamaan bisa dibilang sedikit.
Sehingga saya sebagai penulis memutuskan untuk menciptakan dua karakter utama yang setara dan berusaha menarik minat pembaca dari kedua gender dalam novel pertama saya.
Saya harap pembaca menyukai novel ini.
Selamat membaca dan terima kasih,
Salam hangat dari author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!