Novel ketiga Author septi.sari
Karya asli dengan ide alami!!
Anissa terpaksa menerima perjodohan atas kehendak ayahnya, dengan pria matang bernama Prabu Sakti Darmanta.
Mendapat julukan nona Darmanta sesungguhnya bukan keinginan Anissa, karena pernikahan yang tengah dia jalani hanya sebagai batu loncatan saja.
Anissa sangka, dia diperistri karena Prabu mencintainya. Namun dia salah. Kehadiranya, sesungguhnya hanya dijadikan budak untuk merawat kekasihnya yang saat ini dalam masa pengobatan, akibat Deprsi berat.
Marah, kecewa, kesal seakan bertempur menjadi satu dalam jiwanya. Setelah dia tahu kebenaran dalam pernikahanya.
Prabu sendiri menyimpan rahasia besar atas kekasihnya itu. Seiring berjalanya waktu, Anissa berhasil membongkar kebenaran tentang rumah tangganya yang hampir kandas ditengah jalan.
Namum semuanya sudah terasa mati. Cinta yang dulu tersususn rapi, seolah hancur tanpa dia tahu kapan waktu yang tepat untuk merakitnya kembali.
Akankan Anissa masih bisa bertahan??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 25
Degh
Degh
"Ah iya, setelah ini selesai. Nanti saya langsung kesana! Baik."
Mbok Marni yang duduk dibelakang, sejak tadi tampak ikut panik saat mendengar obrolan dari sambungan telfon Elang.
"Ada apa den?"
"Prabu di larikan kerumah sakit, mbok!"
Mbok Marni terhenyak, lalu sedikit memajukan badanya, "Ya ALLAH ... Tuan muda sakit apa den? Bagaimana bisa sampai dilarikan kerumah sakit?"
"Saya juga belum sepenuhnya faham mbok! Prabu berada dirumah sakit kota Salatiga. Mungkin setelah kita mengantar Ailin, kita langsung pergi kesana!" kata Elang dengan fokus pada kemudinya.
Sementara Ailin, dia sejak tadi duduk tenang. Namun dengan kepala menoleh kearah Elang. Dia begitu kagum dengan wajah tampan di sebelahnya.
Menyadari itu, Elang menoleh sekilas lalu menghadap depan kembali.
"Ailin ... Menghadap lah kedepan! Kepalamu bisa sakit, jika kamu terus-terusan menghadap kearahku!" tegur Elang namun cukup lembut.
"Kamu begitu tampan! Mirip sekali dengan kekasihku, Damar!" kalimat itu spontan keluar dari mulut mungil Ailin.
Mbok Marni yang mendengar, sontak tercengang hebat. Sudah bertahun-tahun, dan bahkan baru kali ini Nonanya itu nyambung diajak berbicara oleh seseorang. Dan semoga saja, Ailin dapat segera pulih.
*
*
*
Pyar!!
Anissa yang baru saja selesai makan, tanpa sengaja dia menyenggol segelas air putih disebelah lengannya.
"Aku selalu bersikap ceroboh! Bisa-bisa, semua barang-barang di rumah ini akan habis karena ulahku," gumam Anissa sambil memungut beberapa pecahan beling tadi.
Waktu sudah menunjukan pukul 2 siang.
Aisyah yang baru saja selesai mencuci piring, rencananya sore ini akan langsung ke rumah sakit untuk menjenguk bu Laksmi.
Dia yang baru saja selesai dapur, tidak melihat ada satu beling kaca yang tersempar dekat bawah korden pintu tengah.
Awwhh!!
Jerit Anissa saat kakinya menginjak beling kaca tersebut. Spontan dia berhenti, mejatuhkan tubuhnya diatas lantai, sambil melihat telapak kakinya yang tergores.
"Aishh ...." rintih Anissa kembali, sembari mengambil beling kaca tadi yang tertancap ditelapak kakinya.
"Perasaan, tadi aku sudah memungut hingga bersih. Tapi masih ada yang tertinggal," lirih Anissa seraya bangkit dari duduknya.
Untung saja lukanya tidak terlalu parah. Namun demi mencegah terjadinya infeksi, Anissa harus memeriksakan lukanya itu, karena bekas goresan itu cukup dalam.
Dengan langkah gontainya, Anissa bergegas masuk kedalam kamar. Dia mengambil ponselnya, untuk menghubungi driver online, agar bisa mengantarkannya ke rumah sakit.
~Rumah Sakit Salatiga~
Prabu perlahan membuka matanya. Dia menatap sekeliling ruangan putih, yang kini membuat keningnya mengernyit.
"Tuan ... Anda sudah sadar?" tegur Fahmi yang kini berdiri disamping ranjang pasien.
Ahh!!!
Rintih Prabu, saat kepalanya masih terasa berdenyut nyeri. Dia perlahan memcoba bangkit, walaupun sempat ditahan oleh sang asisten.
"Ada apa dengan saya, Fahmi? Kenapa saya di rumah sakit?"
"Tuan! Anda tadi pingsan, saat akan makan siang. Dan beruntungnya, tadi ada seseorang yang melihat anda dan membantu saya memapah tubuh anda," ujar Fahmi saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu.
Tanpa bantahan apapun. Prabu hanya diam. Wajahnya yang pucat begitu menyirat ambisi yang begitu besar, saat tanganya perlahan mulai melepaskan infus yang menempel.
Menyadari itu, Fahmi sontak saja membolakan mata terkejut.
"Tuan! Apa yang anda lakukan? Tolong jangan bertindak bodoh seperti ini!" geram Fahmi mencoba melepaskan tangan Prabu dari selang infus.
Prabu yang kalah tenaga, hanya bisa diam saat tanganya dihempaskan ke arah samping oleh asistennya. Wajah pucat itu terpejam begitu lama, menikmati rasa nyeri yang kini kian meradang di kepalanya.
Huh!
Fahmi menghela nafas dalam, lalu segera berjalan keluar untuk mencari suster.
Sementara di tempat yang sama, namun berbesa ruangan.
Kini Anissa sedang memeriksakan luka kakinya, yang tadi tertancap pecahan beling kaca.
Ahh!!
Rintih Anissa saat telapak kakinya mendapat sedikit jahitan. Luka itu tidak terlalu parah. Namun bekas tancapan kaca itu cukup dalam.
"Sebentar lagi ya, Bu ... Ini hampir selesai," seru sang dokter.
Anissa hanya mengangguk patuh.
Selang beberapa menit, dokter menyudahi aktivitasnya di telapak kaki Anissa.
"Sudah selesai, Bu! Anda bisa bangun. Nanti saya akan tuliskan resep obatnya. Ibu bisa menebusnya di Apotik bawah!" seru dokter kembali.
Anissa lalu bangkit. Dia duduk, menunggu sang dokter selesai menuliskan resep obatnya.
"Dokter, apa ada larangan makanan yang harus saya hindari?" tanya Anissa sedikit khawatir.
Dokter itu tersenyum, "Tidak ada, Ibu! Lukanya tidak terlalu parah. Jadi tidak ada pantangan apapun," jawab sang Dokter sambil menyodorkan selembar resep obat.
Anissa mengambil resep tersebut. Dia kembali mengangkat pandanganya, "Terimakasih, dokter! Kalau begitu saya permisi dulu."
Anissa kembali menaikan selendang satinnya keatas kepala. Karena terburu-buru, jadi dia lupa memakai maskernya.
Klek!
Pintu terbuka dari luar. Seorang suster datang dan di ikuti Fahmi masuk kedalam.
Suster tersebut membenarkan kembali infus yang tadi di tarik paksa oleh Prabu.
"Permisi ya pak! Lain kali mohon kerja samanya. Jangan sampai kejadian seperti ini terulang kembali," ujar suster muda tersebut.
Prabu hanya diam. Wajah dinginnya semakin membuat suster tersebut, merasa cepat-cepat ingin keluar dari ruangan tersebut.
"Kalau begitu saya permisi. Jangan terlalu banyak gerak! Tuan anda masih dalam tahap pemulihan."
Kali ini suster tersebut menghadap ke arah Fahmi untuk menjelaskan semuanya.
"Baik sus. Terimakasih ...."
Setelah kepergian sang suster, Fahmi mendekat kembali kearah tuannya.
"Tuan, saya sudah mengabari tuan Elang. Mungkin sebentar lagi dia akan datang," gumam Fahmi sedikit menunduk.
Prabu masih terdiam. Dia hanya menatap ke atah pintu dengan tatapan kosong, seakan tanpa selera hidup lagi.
"Jangan sampai ibu tahu, jika aku berada di rumah sakit!" ucapnya dingin.
Fahmi hanya mengangguk paham. Tanpa di perintah juga, dia tidak akan melakukan hal bodoh tersebut. Apa lagi sekarang nyonya besar itu sedang terkapar memperjuangkan hidupnya.
"Tuan, saya ijin keluar sebentar, ingin membeli makan. Apa anda ingin makan sesuatu ... Biar saya belikan nanti?"
"Tidak usah. Pergilah!" dingin Prabu tanpa memalingkan tatapanya dari pintu tersebut.
Fahmi perlahan mulai beranjak keluar. Sejujurnya dia teramat kasian melihat tuannya dalam kondisi yang memprihatinkan seperti ini.
Pintu kamar yang Prabu tempati terdapat celah kaca yang menempel di sisinya. Sehingga Prabu dapat melihat siapapun yang melewati ruangannya, walaupun itu tidak jelas, karena ukuran kaca itu hanya kecil.
Prabu hanya berharap ada keajaiban dari Tuhan untuk hidupnya saat ini. Sudah 2 hari kepergian sang istri, namun belum ada tanda-tanda Anissa pergi kemana. Anak buah sudah di kerahkan, namun begitu sulit mencari informasi mengenai Nyonya mudanya itu.
'Kamu berhasil menghukumku, Nissa! Kamu berhasil membuat aku kalah melawan hidupku sendiri. Jikapun aku harus menunggumu lebih lama lagi, semoga Tuhan masih menghendaki aku dapat bernafas lebih lama juga'
Suara itu menjerit di dalam batinnya, tanpa Prabu bisa mengungkapkan yang sesungguhnya.
Jendela sisi ruangan Prabu tersingkap kordennya. Hujan yang saat ini begitu deras, membuat kesadarannya kembali. Perlahan dia memalingkan wajahnya ke samping.
Namun tidak bertahan lama. Prabu hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap lurus kearah kaca kecil tersebut.
Degh
Degh
Kedua mata Prabu membola sempurna, saat dia melihat seorang wanita yang sedang berjalan melewati ruangannya.
"Anissa ... Apa tadi benar-benar Anissa?" gumam Prabu dengan wajah yang sudah begitu panik.
Dengan cepat, Prabu kembali menarik selang infus tersebut begitu kasar. Dia juga tidak peduli dengan darah di punggung tanganya yang saat ini mengalir akibat tarikan jarum selang tadi.
Jantung Prabu berpaju lebih cepat. Dengan wajah yang sudah kalang kabut, dia keluar untuk mencari keberadaan wanita tadi.
Mengingat ruangan Prabu berada di lantai dua. Jadi, dia dengan cepat berjalan menelusuri setiap sisi ruangan.
Sementara Anissa, dia yang saat ini sudah sampai lantai dasar, tetap saja melanjutkan jalannya walaupun kakinya sedikit terasa lebih nyeri.
"Hujan ... Lebih baik aku naik kendaraan umum saja," gumam Anissa sambil terus berjalan keluar.
Melihat ada sebuah bis kecil di sebrang rumah sakit, Anissa dengan langkah gontainya langsung saja keluar, menutup kepalanya dengan sebelah tangannya.
"Eh eh, Nduk! Ayo sini kita pakai payungnya sama-sama. Kebetulan ibu juga mau naik bis itu."
Anissa tersenyum sambil mengangguk, saat lengannya tadi ditarik oleh wanita parubaya memakai payung.
"Terimaksih, Bu!" suara Anissa nyaris tak terdengar, karena lebatnya hujan yang mengguyur kota Salatiga sore ini.
Ibu itu mengangguk, tersenyum.
Dari arah dalam, Prabu terus saja mengedarkan pandanganya untuk mencari wanita yang dia anggap itu adalah sang istri~Anissa.
Mengingat ramainya orang berlalu lalang, dan juga penjagaan yang ketat, Prabu tidak mungkin berteriak memanggil nama istrinya. Bisa-bisa dia mengganggu kenyamanan orang-orang di sekitarnya.
'Aku yakin, wanita tadi adalah Anissa ... Tapi kemana sekarang perginya?'
Prabu terus saja berjalan, hingga langkahnya berhenti, saat melihat wanita tadi sudah menapakkan kakinya menaiki bis umum di sebrang jalan.
Mata Prabu semakin membola. Tatapanya terhalang derasnya air hujan saat ini. Dengan kondisi tubuhnya yang begitu lemah, Prabu nekat menerobos derasnya air hujan.
Fahmi yang kebetulan baru selesai, saat berjalan masuk. Spontan melihat tuannya sudah ada di luar dengan kondisi badan yang sudah bersatu dengan air hujan.
"Ya ALLAH, Tuan...." teriak Fahmi.
"Anissa ...." teriak Prabu mengedarkan pandangan ke seluruh halaman luar rumah sakit. Tidak peduli saat darah segar mulai megalir dari hidungnya yang kini sudah bercampur dengan air hujan. Tubuh Prabu mendadak lemas, dan kepala yang tiba-tiba berdenyut kuat, sehingga membuatnya tersungkur di tengah lebatnya hujan.
Fahmi mengeratkan genggaman payungnya. Dia menghampiri Tuannya yang saat ini semakin berjalan keluar dengan tangan memegang kepalanya. Namun matanya semakin membola, saat Tuannya sudah jatuh tersungkur.
"Pak, tolong bantu saya membawa Tuan saya masuk kedalam," kata Fahmi yang sempat menghadang langkah satpam.
Fahmi sedikit berlari bersama satu satpam untuk menghampiri Prabu, yang saat ini sudah berada di pinggir jalan raya.
Sementara di dalam bis umum, beberapa orang-orang di dalamnya tampak bersimpati saat melihat ke arah sebrang jalan, tepatnya depan halaman rumah sakit.
Anissa juga sempat melihat, namun karena ada beberapa orang dan juga keterbatasan penglihatannya, karena derasnya hujan. Jadi dia tidak begitu paham, siapa orang yang sudah membuat kacau keadaan.
Satu penumpang masuk, dan bis umum itu perlahan mulai berjalan.
"Ada pasien yang mencoba kabur ... Padahal keadaanya sangat memprihatinkan," ucap salah satu penumpang, saat beberapa mata menatapnya, seolah ingin tahu kejadian di depan rumah sakit tadi.
"Sepertinya sakit keras! Darah pada keluar dari hidungnya. Hii ... Saya tadi pas sempat lihat jadi merinding, Bu!" lanjut wanita tadi kepada penumpang sebelahnya.
"Apalagi derasnya hujan seperti ini. Bagaimana orang yang menjaganya, kok bisa sampai keluar begitu ...." sahut penumpang tadi.
Anissa yang kebetulan tadi duduk di sebelah ibu-ibu, yang tadi mengajaknya berbagi payung. Sejenak dia hanya terdiam, hingga suara ibu tadi memecah lamunannya.
✨🦋1 Atap Terbagi 2 Surga ✨🦋
udah update lagi ya dibab 62. nanti sudah bisa dibaca 🤗😍
alasan ibu mertua minta cucu, bkn alasan krn kau saja yg ingin di tiduri suamimu.
tp ya gimana secara suaminya kaya raya sayang banget kan kl di tinggalkan, pdhl mumpung blm jebol perawan lbih baik cerai sekarang. Anisa yg bucin duluan 🤣🤣. lemah
mending ganti kartu atau HP di jual ganti baru trus menghilang. balik nnti kl sdh sukses. itu baru wanita keren. tp kl cm wanita pasrah mau tersiksa dng pernikahan gk sehat bukan wanita keren, tp wanita lemah dan bodoh.
jaman sdh berubah wanita tak bisa di tindas.
yg utang kn bpk nya ngapain mau di nikahkan untuk lunas hutang. mnding #kabur saja dulu# di luar negri hidup lbih enak cari kerja gampang.
karena ini Annisa terkejut, bisa diganti ke rasa sakit seolah sembilu pisau ada di dadanya. maknanya, Annisa merasa tersakiti banget
setahuku, penulisan dialog yang benar itu seperti ini.
"Mas? Aku tak suka dengan panggilanmu itu Terlalu menjijikan untuk didengar, Annisa," ucap Parbu dingin dengan ekspresi seolah diri Annisa ini sebegitu menjijikan di mata Prabu.
Tahu maksudnya?
"BLA BLA BLA,/!/?/." kata/ucap/bantah/seru.
Boleh kasih jawaban kenapa setiap pertanyaan di dialog ada dobel tanda baca. semisal, ?? dan ?!. Bisa jelaskan maksud dan mungkin kamu tahu rumus struktur dialog ini dapet dr mana? referensi nya mungkin.
bisa diganti ke
Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu kamar mereka (kamar Prabu yang kini menjadi kamar mereka)
Annisa mulai menyadari sikap dingin Prabu yang mulai terlihat (ia tunjukkan).
BLA BLA BLA, Annisa langsung diboyong ke kediaman Prabu yang berada di kota Malang.
dan kata di kota bukan dikota.
kamu harus tahu penggunaan kata 'di' sebagai penunjuk tempat dan kalimat