Aku menikah karena perjodohan. Tanpa dasar cinta, karena suamiku adalah paribanku. Sama seperti diriku, Arbi juga menolak perjodohan ini. Tapi apalah daya, kami tidak bisa menolak perjodohan itu. Mampukah kami menjalani rumah tangga yang menurut pandangan orang kami adalah pasangan yang bahagia?
Terlebih ada Gladys diantara kami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22. Mertua sakit
Sesampai di rumah sakit ibu mertua dibawa ke ruang IGD. Aku mengikuti langkah para medis yang memeriksa keadaan ibu mertua. Tapi kami disuruh menunggu di luar.
"Kak, sebenarnya apa yang terjadi dengan Mama?" Mery menatapku penuh harap ingin tau mengapa ibu mertua tiba-tiba tak sadarkan diri. Aku menatap sekilas pada Arbi yang tertunduk gelisah tidak jauh dariku. Aku berharap dialah yang menjawab pertanyaan adiknya. Aku menarik nafas berat sebelum memberi jawaban.
"Maafkan Kakak Mery, semua ini karena masalah rumah tangga Kakak," aku tidak merinci alasan sebenarnya.
"Pasti karena Gladys!" sahut Mery ketus dan melemparkan tatapan tajam ke arah Arbian. Arbian balas menatap adiknya.
"Abang sudah puas sekarang 'kan!" semburnya menahan amarah.
"Mery sudah, kita berdoa saja untuk kesembuhan Inang," leraiku. Aku takut Mery meluapkan emosinya pada Arbi, sehingga suasana makin tegang.
"Aku berdiri lantas menghampiri jendela, memandang ke ruangan ibu mertua ditangani. Beberapa alat menempel ke tubuh ibu mertua. Selang infus menempel di lengannya. Begitu juga pernapasan beliau dibantu oksigen.
Melihat keadaan ibu mertua rasa bersalahku semakin membuncah. Aku berdoa dalam hati, semoga ibu mertua segera pulih kembali.
Seorang dokter keluar dari ruangan ibu mertua. Aku bergegas menghampiri dokter, begitu juga Arbian dan Mery.
"Dokter, bagaimana keadaan Mama saya?" ucapnya cemas.
"Tekanan darah tinggi beliau naik. Masa kritisnya sudah lewat. Sepertinya ibu saudara terserang stroke ringan. Tapi kalau tekanan darahnya naik lagi bisa berujung fatal. Kemungkinan beliau akan lumpuh."
Arbian mengusap kepalanya kasar.
"Ini semua gegara Abang. Aku tidak akan memaafkan Abang kalau terjadi sesuatu pada Mama." Isak Mery.
"Jangan ngomong seperti itu, Mer, Inang akan baik-baik saja." Aku mengusap punggung Mery. Mencoba menghiburnya. Tiba-tiba Arbi menarik lenganku.
"Aku mau bicara sama kamu, Ra." Dibawanya aku menjauh dari Mery dan Uly. Uly bereaksi hendak menarikku, begitu juga Mery.
"Mau apa lagi, Abang!" sentaknya tidak suka melihat sikap kasar abangnya padaku.
"Tidak apa-apa, Mer." Aku menenangkannya.
"Aku mau tanya ngomong apa saja kamu sama, Mama. Teganya kamu lakukan itu. Lihat gara-gara kamu, Ra, Mama saya terbaring disana!" sergahnya setelah menyeretku menjauh dri Mery dan Uly. Telunjuk Arbian mengarah ke ruangan tempat ibu mertua terbaring.
"Kamu menyalahkan aku ya, Bi. Buka mata kamu lebar-lebar semua ini terjadi akibat sikapmu yang pengecut! Andai saja kamu menolak perjodohan ini. Andai kamu bisa menjaga Gladys untuk tidak berbuat masalah denganku, tentu semua ini tidak akan terjadi," semburku menumpahkan kemarahan.
"Maksud kamu apa?" Arbi menatapku tajam. Lalu kubuka ponselku dan menunjukkan vidio perlakuan Susan padaku. Juga saat ibu mertua melabrak Gladys. Arbi menyaksikan vidio itu seolah tidak percaya.
"Inang memaksaku jujur karena beliau sudah curiga dengan rumah tangga kita. Terlebih karena kamu selalu berbohong. Dan sekarang kamu menimpakan semua kesalahan itu padaku." Aku mencelos saat di menatapku.
"Kenapa bisa Mama ada disana?" ucap Arbian bodoh.
"Inang dan Mery kebetulan disana. Aku dan Uly berpapasan dengan Inang." Arbi mengusap kasar rambutnya. Entah apa yang berkecamuk saat ini dalam hatinya. Apakah dia akn menindak kelakuan Gladys dan teman-temannya. Aku meragukan hal itu.
"Rania, aku mohon maafkan kesalahanku selama ini. Kembalilah ke rumah. Beri aku kesempatan sekali ini saja. Kita mulai dari nol." Arbian tiba-tiba membujuk lagi. Dia menggenggam jemariku. Menatapku lekat seolah ingin menyakinkanku. Tapi aku menepis halus jemari itu lagi. Entah kenapa jauh didasar hatiku tidak percaya semua ucapannya itu.
"Maaf, Bi, aku tidak bisa." Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Kamu tinggal dimana selama ini, Ra?" ucap Arbi mengalihkan topik.
"Maaf aku tidak bisa ngasih tau kamu," elakku, lalu aku tinggalkan Arbi saat kulihat seorang dokter keluar dari ruang IGD.
"Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?" tanyaku mengenai kondisi ibu mertua.
"Tekanan darahnya sudah menurun. Bentar lagi dipindah ke ruang rawat. Tolong urusan administrasinya dibereskan, Bu."
"Sudah dokter," sahut Arbian dibelakangku. Ternyata dia menyusulku.
"Baiklah, Ibu Dahniar akan dipindah ke ruang rawat."
"Kami boleh bertemu Ibu kami dokter?" ucap Mery.
"Silahkan, beliau sudah sadar." dokter paruh baya itu tersenyum dan mempersilahkan kami menemui ibu mertua.
"Sepertinya aku harus balik dulu, Mas Pram meneleponku tadi," ucap Uly disaat aku menyusul langkah Mery.
"Oh, iya Ly. Titip salam sama Pram ya." Aku mengantar Uly hingga pintu gerbang rumah sakit.
"Beritahu aku kalau Arbi macam-macam sama kamu." titah Uly sebelum taxi yang membawanya pergi. Aku mengiyakan dan melambaikan tanganku.
Aku kembali menuju ruang IGD, karena dokter tadi bilang ibu mertua mau dipindah ke ruang rawat.
"Kamu telah membuat Mama kecewa, Arbi. Kurang apa Rania di mata kamu. Dia cantik, punya karir. Apa yang akan Mama katakan pada Pamanmu, karena kamu telah memperlakukannya seperti itu. Gladys tidak lebih baik dari Rania. Kalau dia wanita baik-baik, dia tidak akan menggoda suami orang apapun alasannya!" umpat ibu mertua. Aku terkejut mendengarnya.
Langkahku terhenti di balik pintu saat mendengar suara ibu mertua yang memarahi, Arbi. Aku jadi menguping pembicaraan itu, karena penasaran.
"Maafkan Arbi, Ma. Aku akan membujuk Rania supaya mau kembali." Arbi berusaha menenangkan mamanya.
"Dengan apa kamu akan membujuk Rania, Arbi. Setelah kamu mengoyak harga dirinya. Rania berhak mendapatkan orang yang lebih baik dari kamu."
"Trus apa yang akan Arbi lakukan, Ma?" ucap Arbi terdengar bingung.
"Sekarang kamu peduli pendapat Mama. Setelah selama ini segala nasehat Mama kamu indahkan. Sudah terlambat, Arbi. Dan Mama kecewa kehilangan menantu sebaik Rania. Dia memang anak kampung. Apakah karena itu kamu menolaknya?" aku mendengar isakan ibu mertua.
Seiring air mata yang menggenangi kedua pelupuk mataku. Aku berusaha menahannya agar tak sampai bergulir di pipiku.
Setelah beberapa saat hening, aku mengetuk pintu ruangan. Aku melangkah perlahan menghampiri ibu mertua. Aku bersikap sewajar mungkin seolah tidak mengetahui apa yang terjadi barusan di dalam ruangan itu.
Ibu mertua mengusap matanya. Arbi berjalan menghadap tembok. Sedang Mery, masih sempat kulihat matanya yang berkaca-kaca.
"Kak Uly sudah pergi, Kak?" tanyanya basa-basi. Aku mengangguk lalu duduk di sisi ranjang.
"Inang, bagaimana keadaan Inang?" aku menyentuh lengannya yang bebas dari selang infus.
"Inang sudah merasa baikan. Tapi dokter bilang, Inang harus dirawat dulu," suaranya beliau terdengar serak efek menangis.
"Iya Inang, demi kebaikan Inang juga. Rania akan menjaga Inang." ungkapku tulus.
"Makasih ya, sayang." Ibu mertua balas menyentuh lenganku. ***
Seorang suster muncul memberitahu sudah waktunya ibu mertua dibawa ke ruang rawat. Untuk kenyamanan ibu mertua, beliau dirawat di ruang VIP. ***
semangat thor secepatnya rania bebas dari arbi ok thor
semangat thor