Niat hati memberikan pertolongan, Sean Andreatama justru terjebak dalam fitnah yang membuatnya terpaksa menikahi seorang wanita yang sama sekali tidak dia sentuh.
Zalina Dhiyaulhaq, seorang putri pemilik pesantren di kota Bandung terpaksa menelan pahit kala takdir justru mempertemukannya dengan Sean, pria yang membuat Zalina dianggap hina.
Mampukah mereka menjalaninya? Mantan pendosa dengan masa lalu berlumur darah dan minim Agama harus menjadi imam untuk seorang wanita lemah lembut yang menganggap dunia sebagai fatamorgana.
"Jangan berharap lebih ... aku bahkan tidak hapal niat wudhu, bagaimana bisa menjadi imam untukmu." - Sean Andreatama
ig : desh_puspita27
---
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama penulis gamau mikir dan kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 07 - Pendosa
Awalnya memang sulit, tapi Sean berusaha dengan sangat baik demi menyesuaikan diri di lingkungannya. Perlahan, meski jujur terkejut, tapi pada akhirnya satu minggu ini Sean lalui dengan cukup baik.
"Sean, kau baik-baik saja?"
"Baik, Abi ... aku baik-baik saja."
Sebenarnya kepala Sean sangat sakit, tubuhnya semakin panas dan sekarang sedikit mual. Akan tetapi, mana mungkin dia berpaling sementara langkahnya sudah memasuki tempat ibadah ini.
Pertama kali Sean menunaikan ibadah shalat jum'at setelah sekian lama. Terakhir kali dia serius mungkin sewaktu remaja, bersama sang papa. Ketika dewasa, Sean memang teramat jauh dari Tuhannya.
Terlebih lagi, ketika dia pergi dari keluarga Megantara dan juga setelah kembalinya. Berkali-kali selalu diingatkan agar tidak meninggalkan hal itu, dia hanya mengiyakan, tapi sama sekali tidak dia lakukan.
Mungkin Tuhan sedang menghukumnya, pertama kali datang Sean justru diuji dengan hal semacam ini. Padahal, dia termasuk pria yang jarang sakit. Bahkan, sekalipun dia dihajar hingga memar dan luka, hal itu tidak bertahan lama dan dia jelas pulih dalam waktu cepat.
Istidraj.
Sean terhenyak begitu mendengar kata demi kata yang kini menelisik indra pendengarannya. Hatinya pilu, apa mungkin Sean benar-benar berada di titik itu. Pria itu hanya tertunduk saat ini, dia meratapi seberapa kacau masa lalunya.
Semakin lama, untaian kata itu kian membuat batin Sean semakin sakit. sungguh, dia malu sekali sebenarnya. Padahal tidak ada yang menatapnya saat ini, tapi entah kenapa perasaan Sean seolah tengah ditelanjangi di hadapan orang banyak.
Apa yang disampaikan pria di depan sana seakan menguliti Sean hidup-hidup. Semua kesalahannya menguak sekaligus. Dia yang pemabuk, pemakai, perampok, penipu bahkan terlibat dalam kasus pembunuhan dan penyebaran obat-obatan terlarang sekalipun, Tuhan tetap bebaskan hingga polisi saja tidak mampu mengungkap identitas Sean.
Bahkan, yang paling Sean sesali ialah melakukan hubungan terlarang, tapi masih Tuhan izinkan bangun setelahnya. Tanpa sadar, Sean meneteskan air mata dengan dada yang mendadak sesak bak dihantam bongkahan batu besar.
Betapa kotor dirinya, dia bergetar dengan telapak tangan yang kini benar-benar dingin. Walau memang itu masa lalunya, semua itu dia lakukan lantaran kacau setelah pergi dari keluarga Megantara. Beberapa tahun terakhir Sean memang sudah berhenti dan meninggalkan semua kegilaan itu, tapi kembali kepada jalan Tuhan belum sepenuhnya.
Sadar dia hanya pendosa, sadar sekali. Karena itulah Sean memberanikan diri untuk menengadahkan tangan pada Tuhannya. Meminta ampunan meski terlambat, kata kiyai Hasan, Tuhan maha pemaaf untuk hambanya.
"Sean, ayo pulang."
Sean yang tenggelam dalam rasa bersalahnya bahkan tidak sadar jika kini sekelilingnya sudah sepi. Hanya ada kiyai Husain yang masih berbaik hati menunggunya, khawatir menantunya itu tidak ingat jalan pulang.
Mereka memang menunaikan ibadah shalat jum'at di masjid yang sedikit jauh dari rumah. Alasannya tentu karena sedang ingin saja, ditambah lagi kiyai Husain khawatir akan banyaknya pertanyaan orang-orang tentang menantu barunya ini.
Bukan malu, tapi menjaga hati Sean saja. Mungkin dia akan merasa lebih baik jika sedikit jauh dari Abrizam sesekali. "Kau berdoa apa memangnya?" tanya pria itu penasaran, karena memang sejak tadi Sean mengundang perhatiannya.
"Banyak, Abi ... minta ampunan salah-satunya, saya banyak dosa," tutur Sean tersenyum getir.
Lagi dan lagi, hati kiyai Husain tersentuh dengan kejujuran di balik mata tajamnya. Mata yang selalu menunduk jika bicara, tunduk yang sama sekali tidak bermakna takut.
"Semoga Allah mengampunimu, teruslah meminta, Sean ... Allah maha pemaaf."
"Tapi dosa saya banyak, Abi, sangat-sangat banyak," ujar Sean jujur dengan gurat ketakutan jika nanti Tuhan menolak permohonan ampun darinya.
"Tidak ada manusia yang lepas dari dosa, Sean. Semua manusia di bumi, tidak terkecuali Abi juga pernah melakukan kesalahan dan dosa ... sejatinya manusia adalah tempatnya salah. Jangan takut untuk kembali ke jalan Allah, sesungguhnya Allah sangat mencintai orang-orang yang bertaubat."
Sean menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Andai Kiyai Husain tahu sebesar apa dosanya, apa mungkin dia akan mengatakan hal yang sama? Entahlah, Sean tidak seyakin itu mertuanya masih menatapnya sama.
"Pelan-pelan saja, sadar atau tidak kau adalah insan pilihan yang Allah cintai."
Sean sedikit tidak mengerti akan hal itu. Namun, yang jelas saat ini dia merasa lebih baik. Sean beranjak meninggalkan masjid megah itu di belakang punggung mertuanya, persis dia sewaktu kecil di belakang Mikhail.
"Assalamualaikum, Abi.
"Waalaikummussalam, Irham."
Baru saja hati Sean sedikit tenang, mendengar nama Irham ini entah kenapa dada Sean mendadak panas tiba-tiba. Apalagi, ketika melihat pria itu kembali mencium punggung tangan mertuanya, cari perhatian atau apa, pikirnya.
"Saya tunggu Abi keluar, saya hanya ingin meminta maaf atas sikap saya dan orangtua saya, Abi."
"Tidak masalah, memang sudah sepantasnya kalian marah."
"Saya khilaf, Abi. Hati saya sangat sakit malam itu sampai saya tidak mampu berpikir jernih ... maaf, Abi," tutur Irham tampak menyesal, terang-terangan di hadapan Sean dia mengatakan hal itu hingga membuat Sean muak.
"Sudahlah, Irham. Mungkin sudah jalan Tuhan, Abi juga minta maaf jika Zalina membuatmu dan keluargamu kecewa."
"Apa Zalina baik-baik saja, Abi?"
"Hm, sangat baik ... tidak perlu dipikirkan, menantuku menjaga Zalina dengan sangat baik," tutur kiyai Hasan seraya melirik Sean sekilas.
Dia seolah tengah membanggakan menantunya. Beberapa hari setelah Sean menikahi Zalina, tiak ada tanda-tanda putrinya tertekan. Walau sebenarnya hingga saat ini Zalina blum memiliki keberanian untuk mengajar ataupun keluar lantaran berita tentangnya masih menjadi pembicaraan panas.
"Cih, berani sekali dia menatapku ... dari sudut manapun jauh tampan aku." Dia memang merasa rendah diri jika dihadapan Zalina, tapi percayalah ketika berhadapan dengan Irham jiwa angkuh Sean kembali menggebu-gebu.
.
.
- To Be Continue -