Sekelompok anak muda beranggotakan Rey Anne dan Nabila merupakan pecinta sepak bola dan sudah tergabung ke kelompok suporter sejak lama sejak mereka bertiga masih satu sekolah SMK yang sama
Mereka bertiga sama-sama tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi karena terbentur biaya kala itu Akhirnya Anne melamar kerja ke sebuah outlet yang menjual sparepart atau aksesories handphone Sedangkan Rey dan Nabila mereka berdua melamar ke perusahaan jasa percetakan
Waktu terus berlanjut ketika team kesayangan mereka mengadakan pertandingan away dengan lawannya di Surabaya Mereka pun akhirnya berangkat juga ke Surabaya hanya demi mendukung team kesayangannya bertanding
Mereka berangkat dengan menumpang kereta kelas ekonomi karena tarifnya yang cukup terjangkau Cukuplah bagi mereka yang mempunyai dana pas-pasan
Ketika sudah sampai tujuan yaitu stadion Gelora Bung Tomo hal yang terduga terjadi temannya Mas Dwi yang merupakan anggota kelompok suporter hijau itu naksir Anne temannya Rey.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hanyrosa93, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Otw Semarang
Sudah mulai pagi lagi, Yuda sudah siap-siap dari kosannya dan segera mengorder taksi online menuju rumah Arif, temannya yang meminta menemaninya ke Semarang.
Sepuluh menit kemudian, taksi online pun datang dan segera mengantarkannya ke rumah Arif.
Setelah memastikan tas kecilnya sudah lengkap dengan dompet, charger, dan earphone, Yuda keluar kamar, mengunci pintu, lalu berjalan menuju jalan raya tempat taksi online akan menjemputnya.
Semilir angin pagi yang masih sejuk menyapa kulitnya saat ia menunggu di tepi jalan. Tak lama, mobil yang dipesannya berhenti di depannya. "Pagi, Mas Yuda?" sapa sopir ramah.
"Pagi, Pak," jawab Yuda sambil masuk ke dalam mobil. "Ke daerah rumah Arif, ya."
Perjalanan tidak memakan waktu lama. Saat tiba di depan rumah Arif, Yuda melihat sahabatnya sudah berdiri di depan pagar dengan sebuah ransel di punggungnya. Wajahnya terlihat sedikit gelisah.
"Kenapa, Rif?" tanya Yuda begitu ia keluar dari mobil.
Arif menghela napas panjang. "Gue kayak nggak yakin sama perjalanan ini, bro."
Yuda mengernyitkan dahi. "Maksud lo? Lo sendiri yang ngajak gue ke Semarang, kan?"
"Iya, tapi..." Arif terdiam sesaat. "Nanti gue ceritain di jalan aja, yuk berangkat dulu."
Tanpa banyak tanya lagi, Yuda dan Arif masuk ke mobil. Arif memesan perjalanan ke Bandara, tempat mereka akan naik pesawat ke Semarang.
Di dalam taksi, Yuda melirik ke arah Arif yang tampak sibuk dengan pikirannya sendiri. "Sekarang ceritain, kenapa lo kayak orang bingung gini?"
Arif mengusap wajahnya sebelum menjawab. "Gue ke Semarang buat ketemu seseorang. Mantan gue, Rena."
Yuda mengangkat alisnya. "Hah? Serius lo? Ngapain lo cari mantan?"
Arif tersenyum kecil, tapi ada keraguan di matanya. "Dia mau nikah bulan depan, Yu. Gue nggak tahu kenapa, tapi gue ngerasa harus ketemu dia sebelum semuanya benar-benar berakhir."
Yuda menghela napas. "Lo masih sayang, ya?"
Arif tidak langsung menjawab, hanya menatap ke luar jendela. "Gue nggak tahu. Gue cuma... pengin tahu perasaan gue yang sebenarnya. Apa gue udah benar-benar move on atau belum."
Yuda memahami perasaan itu. Kadang, seseorang perlu menutup bab dalam hidupnya dengan cara yang lebih jelas. "Lo yakin ini ide yang bagus?"
Arif menatapnya, lalu mengangguk pelan. "Gue harus lihat sendiri kalau dia benar-benar bahagia tanpa gue."
Perjalanan menuju Bandara terasa sedikit hening setelah percakapan itu. Begitu tiba, mereka turun dan segera mencari loket tiket pesawat yang akan membawa mereka ke Semarang.
Setelah duduk di kursi pesawat dan berada dalam kabin, Yuda menatap sahabatnya yang terlihat bimbang. "Gue temenin lo, tapi janji satu hal, Rif."
"Apa?"
"Jangan berharap terlalu banyak. Kadang, beberapa cerita memang nggak punya akhir yang kita inginkan."
Arif tersenyum tipis. "Gue ngerti, Yu."
Pesawat mulai take off, membawa mereka ke perjalanan yang mungkin akan mengubah cara Arif melihat masa lalunya—dan mungkin, masa depannya juga.
***
Sementara Anne kini sudah sampai di rumah Arif untuk menemani istrinya, Rina. Setelah setengah jam, kekasihnya, Yuda, dan suaminya, Arif, sudah meninggalkan rumah menuju bandara.
Anne menatap kepergian mereka dari balik jendela, lalu menghela napas pelan. Ia berbalik dan melihat Rina yang duduk di sofa dengan tangan mengusap per*tnya yang agak membesar meski belum kelihatan. Kehamilan Rina baru memasuki minggu kedua, dan itulah alasan Anne bersedia datang ke rumah ini—untuk menemani Rina saat Arif harus pergi dinas keluar kota.
“Kamu yakin baik-baik saja, Mbak?” tanya Anne, berjalan mendekat.
Rina tersenyum kecil. “Aku baik, cuma kadang suka pegal-pegal.”
Anne mengangguk dan duduk di sebelahnya. Ia sudah menganggap Rina sebagai kakaknya sendiri, begitu pula sebaliknya. Meski awalnya sempat canggung karena hubungan mereka yang saling terhubung melalui Arif dan Yuda, lama-lama keduanya justru semakin akrab.
“Kamu mau makan sesuatu, Mbak? Aku bisa masakin,” tawar Anne.
“Enggak usah repot-repot, aku masih kenyang,” jawab Rina. “Tapi kalau kamu mau bikin sesuatu, aku enggak nolak ikut makan.”
Anne terkekeh. “Oke, aku lihat dulu ada bahan apa di dapur.”
Ia bangkit dan berjalan menuju dapur. Begitu membuka kulkas, matanya menelusuri isinya, mencari sesuatu yang bisa diolah dengan cepat. Akhirnya, ia memutuskan untuk membuat sup ayam sederhana.
Sambil memotong-motong wortel dan kentang, pikirannya melayang pada Yuda. Ini pertama kalinya mereka berpisah cukup lama sejak menjalin hubungan. Meski ia memahami kesibukan Yuda, tetap saja ada rasa sepi yang menyelinap. Namun, ia tak ingin terlalu larut dalam perasaan itu.
“Anne?” suara Rina membuyarkan lamunannya.
Anne menoleh. “Iya?”
“Aku jadi kepikiran sesuatu,” kata Rina, berjalan mendekat sambil memegang punggung kursi untuk menjaga keseimbangannya. “Kamu sama Yuda enggak kepikiran buat menikah?”
Anne terdiam sesaat. Pertanyaan itu seharusnya bukan sesuatu yang mengejutkan, tapi tetap saja membuatnya sedikit kaget.
“Entahlah,” jawab Anne sambil kembali fokus ke supnya. “Kami belum membicarakan itu secara serius.”
Rina menatapnya dengan penuh arti. “Tapi kamu sendiri mau, kan?”
Anne terdiam sejenak sebelum mengangguk pelan. “Aku mau. Tapi aku juga enggak mau buru-buru. Aku ingin memastikan segalanya sudah siap.”
Rina tersenyum. “Itu keputusan yang bagus. Pernikahan bukan hanya soal cinta, tapi juga kesiapan.”
Anne membalas senyum itu, merasa sedikit lega. Ia menyelesaikan masakannya, lalu menuangkan sup ke dalam mangkuk.
Beberapa menit kemudian, mereka duduk di meja makan, menikmati hidangan sederhana itu sambil mengobrol santai.
Tiba-tiba, Rina meringis dan memegangi perutnya.
Anne langsung panik. “Rina, kamu kenapa?”
Rina mengatur napasnya. “Sepertinya bayi ini menendang terlalu keras.”
Anne buru-buru berdiri. “Kamu butuh sesuatu? Atau perlu ke dokter?”
Rina menggeleng. “Aku cuma butuh istirahat.”
Anne membantu Rina ke kamar dan memastikan ia nyaman sebelum kembali duduk di ruang tamu. Matanya melirik ponselnya, ada pesan dari Yuda.
Mas Yuda
[ Jaga diri baik-baik. Aku kangen.]
Anne tersenyum kecil, lalu membalas pesan itu.
Anne
[ Aku juga kangen. Cepat pulang, ya.]
Setelah Rina memasuki kamarnya karena merasa tidak enak hati berada di rumah orang tanpa siapa-siapa, akhirnya Anne memutuskan untuk pamit pulang. Ia melangkah menuju pintu depan, namun sebelum membuka pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah tangga, berharap Rina akan keluar dan mengucapkan selamat tinggal.
Namun, suasana rumah tetap sunyi. Anne menarik napas pelan, lalu membuka pintu dan melangkah keluar. Udara sore terasa sejuk, angin berembus lembut menerpa wajahnya. Ia berjalan menyusuri trotoar dengan langkah perlahan, pikirannya masih dipenuhi kejadian hari itu. Entah mengapa, ada perasaan aneh yang mengganjal di hatinya.
“ Aku memaklumi Mbak Rina, mungkin kelelahan dan terlelap tidur, karena dia sedang mengand*ng.” gumamku dalam hati sembari menunggu taksi online menjemput.
***