Di dunia dark web, satu nama ditakuti: LOOTER. Tak ada yang tahu identitas aslinya, hanya bahwa ia adalah algojo bayaran dengan keterampilan militer luar biasa. la bisa menyusup, membunuh, dan menghilang tanpa jejak. Kontraknya datang dari kriminal, organisasi bayangan, bahkan pemerintah yang ingin bertindak di luar hukum.
Namun, sebuah misi mengungkap sesuatu yang seharusnya terkubur: identitasnya sendiri. Seseorang di luar sana tahu lebih dari yang seharusnya, dan kini pemburu berubah menjadi buruan. Dengan musuh di segala arah, LOOTER hanya punya satu pilihan -menghancurkan mereka sebelum dirinya yang lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khabar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8
Jam Istirahat - Obrolan para karyawan.
Di sebuah ruangan kecil dekat dapur, tiga karyawan perempuan sedang duduk santai menikmati makan siang mereka. Suasana restoran masih cukup ramai, tapi jam istirahat adalah waktu sakral bagi mereka.
Alya, Rina, dan Lilis.
Tiga orang ini bukan hanya sekedar rekan kerja. Mereka juga sahabat.
Dan ada satu topik yang selalu mereka bahas ketika bos mereka tidak ada di dekat mereka.
Rangga.
Alya duduk dengan wajah lesu, memainkan sendoknya di atas nasi.
Rina menyipitkan mata. "Jadi, lo beneran udah nyatain perasaan duluan ke Mas Rangga?"
Alya mengangguk malas. "Iya..."
Lilis langsung meletakkan sendoknya dengan dramatis. "Kurang ajar! Kenapa lo duluan sih?! Harusnya kita suit dulu buat nentuin siapa yang nyatain perasaan!"
Alya terkekeh. "Duh, emangnya ini kompetisi?"
"Jelas!" Rina menimpali dengan ekspresi serius. "Gue sama Lilis juga suka sama Mas Rangga, tapi lo malah serobot duluan!"
Lilis mengangguk penuh semangat. "Dan yang paling ngeselin adalah... Mas Rangga tuh gak sadar sama sekali!"
Alya menghela napas panjang. "Ya, gimana ya... Mas Rangga itu kayak robot. Datar benget."
Rina bersedekap,menatap kosong ke arah dinding. "Tapi justru itu yang bikin dia keren. Tenang, berwibawa, terus kalau lagi masak di dapur tuh kayak chef profesional banget."
Lilis mengangguk. "Setuju.Terus suaranya tuh, lo perhatiin gak? Serak-serak seksi kayak aktor drama korea."
Alya memutar matanya. "Ya ampun, kalian lebay banget."
"Eh, tapi beneran deh," Rina tiba-tiba menyeringai. "Lo semua tau gak? Gue pernah ngintip Mas Rangga ganti baju!"
Alya dan Lilis langsung terdiam.
Lalu serentak mereka membungkuk ke depan dengan mata berbinar.
"Serius?! Kapan?!" Alya nyaris menjatuhkan sendoknya.
Lilis mendekat, penasaran. "Jangan bilang pas di ruang ganti?"
Rina tertawa puas melihat reaksi mereka. "Iya! Waktu itu gue mau masuk ambil stok bahan, eh pintunya kebuka dikit, dan... gue ngeliat semuanya!"
Alya dan Lilis menunggu dengan napas tertahan.
"Dan lo tau apa yang gue liat?" Rina menurunkan suaranya, seakan-akan ingin membuat suasana lebih dramatis.
"Maksud lo....?" Lilis menelan ludah.
"Perutnya sixpack, cuy."
Hening.
Lalu...
"HAAAAH?!" Alya dan Lilis hampir berteriak bersamaan.
"Seriusan?!" Lilis menutup mulutnya dengan tangan, matanya membulat. "Bukan yang tipis doang, kan?"
Rina menggeleng cepat. "Bukan! itu yang hardcore punya! Gak kayak cowok-cowok yang kita kenal di restoran ini yang perutnya kebanyakan malah kayak roti sobek!"
Alya ikut terpana. "Gue kira dia kayak biasa aja di balik bajunya..."
Rina tertawa penuh kemenangan. "Gak nyangka, kan? Apalagi dia kan sering pakai seragam yang agak longgar, jadi gak kelihatan bentuk badannya."
Lilis memejamkan mata, tanggannya mengepal. "Gue merasa hidup gue tidak adil kenapa bukan gue yang ngintip waktu itu?"
Alya mendecak. "Dasar tukang ngintip."
"Eh, lo juga penasaran kan?" Rina menyenggol bahunya dengan nakal. Alya berusaha mempertahankan wajah datarnya.
"Ya... dikit."
Lilis mengeluh sambil memeluk dirinya sendiri. "Pantesan aja pas dia gendong tepung ember tepung tadi, lengannya tuh kayak kenceng banget. Ototnya pasti bagus."
Alya mengangguk, kini lebih memahami kenapa Rangga kelihatan lebih kuat dari kebanyakan pria lain di restoran itu.
Rina terkekeh, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kita bertiga suka sama orang yang sama. Gimana nih?"
Lilis mendesah. "Susah. Orangnya tuh bebal. Mau dikasih kode segimanapun, tetap gak ngeh."
Alya juga memikirkan hal yang sama. Rangga benar-benar tipe pria yang gak peka. Bahkan setelah dia menyatakan perasaannya secara blak-blakan, responnya biasa aja.
Memang butuh keajaiban biar orang kayak Rangga bisa menyadari perasaan seseorang.
Lilis tiba-tiba menatap Alya dengan curiga. "Eh, lo jangan-jangan udah ngeliat perut sixpack-nya juga?"
Alya tersentak. "Hah? Belum lah!"
"Jangan bohong!" Rina menunjuknya. "Kita kan tau lo sering bantuin dia di dapur, jangan-jangan ada momen di mana lo gak sengaja liat?"
Alya cepat-cepat menggeleng. "Beberan belum! Sumpah!"
Rina dan Lilis saling berpandangan, lalu mendecak kecewa.
"Sayang banget," keluh Lilis. "Padahal kalau lo udah pernah liat, kita bisa bahas lebih banyak detailnya."
Alya hanya bisa menghela napas. Kenapa obrolan mereka malah jadi gini?!
Setelah sesi obrolan penuh skandal itu, mereka akhirnya kembali bekerja. Tapi di dalam hati, Alya menyadari satu hal:
Sekarang, dia makin penasaran sama Rangga. Dan itu...
Berbahaya...
...----------------...
Malam yang melelahkan, restoran akhirnya tutup. Lampu-lampu mulai dimatikan satu per satu, hanya menyisakan temaram di area kasir tempat Alya masih sibuk menghitung uang pemasukan hari itu.
Satu persatu lembaran rupiah disusun, dipilih sesuai pecahan, lalu dicocokkan dengan laporan digital di layar kasir. Dia menghela napas panjang. Hari ini terasa lebih melelahkan dari biasanya.
Sebenarnya, ini, bukan tentang yang ramai atau pelanggan yang rewel. Ini tentang bosnya.
Rangga.
Pria itu aneh sepanjang hari. Tidak seperti biasanya yang selalu tenang dan tajam dalam mengawasi pekerjaan karyawan, hari ini dia kacau.
- Salah memasukkan pesanan.
- Menabrak meja pelanggan saat membawa nampan.
- Bahkan nyaris menjatuhkan minyak panas.
Itu bukan hal yang normal bagi seseorang seperti Rangga yang biasanya presisi dalam segala hal. Alya melirik ke arah dapur. Lampunya masih menyala.
Dia masih disini.
Entah kenapa, itu membuat perasaannya tidak tenang. Dia kembali fokus menghitung uang, tapi sebelum selesai, suara langkah kaki berat terdengar mendekat dari belakang.
Alya mengangkat kepalanya.
Rangga berdiri di sana. Mata merah, kantung mata dalam, rambut sedikit berantakan, pria itu terlihat setengah mati menahan kantuk.
Alya mengerutkan dahi. "Mas, seriusan? Udah ngantuk banget gini masih belum pulang?"
Alih-alih menjawab, Rangga mengangkat tangan dan meletakkan sesuatu di atas meja kasir.
Kunci restoran.
"Alya" Suaranya dalam dan serak. "Besok aku nggak masuk. Tolong jagain restoran."
Alya menatap kunci itu, lalu kembali menatap Rangga. "Kenapa?"
"Ada urusan."
Alya menyipitkan mata. "Urusan apa?"
"Pribadi"
Dia melipat tangan di depan dada. "Jangan bilang mau ketemu cewek lain."
Hening.
Rangga, yang tadinya terlihat hampir ambruk karena kantuk, mendadak diam. Matanya yang tadinya sayu, kini sedikit menyipit. Lalu, sebelum Alya bisa bereaksi....
Tangan Rangga meraih pergelangan tangannya. Dalam satu tarikan cepat, Alya tersentak dan punggungnya menabrak dinding di belakangnya. Jantung langsung berdetak kencang.
Dada Rangga hampir menyentuh miliknya.
"A-Apa sih?" suara Alya melemah, napasnya tercekat. Mata hitam Rangga menatapnya tajam, kali ini benar-benar tajam.
"Alya!"
Alya menelan ludah. Napas Rangga begitu dekat, nyaris menyapu pipinya.
"Tolong, ya!"
Hanya dua kata. Tapi nada suaranya membuat Alya terdiam.
Tegas. Penuh tekanan.
Wajah Rangga terlalu dekat, terlalu intens. Alya tidak tahu bagaimana. Tubuhnya kaku, jantungnya seakan memukul-mukul dadanya sendiri. Rangga menarik napas dali, lalu akhirnya melepaskannya.
Tanpa berkata-kata lagi, dia berbalik dan berjalan keluar restoran. Meninggalkan Alya yang masih berdiri kaku di tempatnya dengan wajah panas dan pikiran berantakan.
Setelah kepergian Rangga. Alya tidak bergerak untuk waktu yang lama. Tangannya masih bisa meraskan genggaman Rangga yang erat, kuat, dan hangat. Nafasnya masih terasa di pipinya.
Apa barusan yang telah terjadi? Kenapa tadi Rangga seperti itu? Apa dia benar-benar lelah sampai begitu frustasi?
Atau....
Alya menyentuh pipinya yang mulai memanas.
Sial.
Rasanya jantungnya masih berdetak lebih cepat dari seharusnya. Dia tidak tahu bagaimana harus menghadapi Rangga setelah ini.
To Be Continued.....