Berselang dua minggu sejak dia melahirkan, tetapi Anindya harus kehilangan bayinya sesaat setelah bayi itu dilahirkan. Namun, Tuhan selalu mempunyai rencana lain. Masa laktasi yang seharusnya dia berikan untuk menyusui anaknya, dia berikan untuk keponakan kembarnya yang ditinggal pergi oleh ibunya selama-lamanya.
Mulanya, dia memberikan ASI kepada dua keponakannya secara sembunyi-sembunyi supaya mereka tidak kelaparan. Namun, membuat bayi-bayi itu menjadi ketergantungan dengan ASI Anindya yang berujung dia dinikahi oleh ayah dari keponakan kembarnya.
Bagaimana kelanjutan kisah mereka, apakah Anindya selamanya berstatus menjadi ibu susu untuk si kembar?
Atau malah tercipta cinta dan berakhir menjadi keluarga yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32. Bukan Pengasuh
Sungguh sakit rasanya saat diabaikan. Secara terang-teragan, Anindya melakukan itu dengan sengaja dan mengaggap seolah Arsatya tidak kasat mata baginya.
Bahkan, setelah dia keluar meninggalkan kamar itu, hanya ada rasa sesak yang memenuhi dadanya. Kini, dilihatnya kembali ponsel yang sejak tadi dia abaikan meskipun beberapa panggilan dari pihak managemen, klinik, rumah sakit, dan beberapa instansi lain yang menjadi tanggung jawabnya dia tinggalkan demi bisa mengantar Anindya bimbingan ke Jogjakarta.
Bukan sengaja mengabaikan, tetapi dia telah menitipkan semua urusan pada asisten pribadi dan managernya untuk mengubah semua jadwal pekerjaan, konsultasi, atau pun segala temu janji dengan pihak lain.
Untunglah, tidak ada jadwal operasi atau penanganan pasien darurat sehingga dia tidak merasa meninggalkan tanggung jawab besar dan tetap menjaga profesionalitas bekerja.
Awalnya semua dia lakukan hanya demi Anindya dan sengaja menjadwalkan kosong hari untuk menyelesaikan masalahnya dengan sang istri, atau adik ipar, atau ibu susu anaknya. Entahlah, intinya dengan wanita yang bernama Anindya yang tinggal serumah dengannya.
Namun, apa yang dia dapatkan? Tak diacuhkan sama sekali oleh wanita itu.
Sekembalinya ke kamar setelah tanpa tujuan berjalan-jalan tak tentu arah hanya untuk menyendiri sejenak supaya lebih tenang daripada berada dalam satu ruang dan merasa saling tidak nyaman oleh keadaan.
Yang dilihatnya pertama kali ialah Anindya yang sedang mengganti popok bayi Ansha di atas bed. Dengan telaten dan perlahan, wanita itu mengelap sisa-sisa istinja anak bayinya.
Di sini, Arsatya dibuat kagum dengan sosok wanita yang sampai saat ini masih dia anggap sebagai adik iparnya itu. Dia tidak pernah mengeluh lelah setelah mengurus dua anaknya sejak lahir, dia yang siang dan malam menghabiskan waktunya untuk memberikan ASI-nya.
Membuatnya berpikir keras. Entah dengan cara apa dia bisa membalas jasa Anindya sebagai imbalan yang sebanding dengan pengorbanannya selama ini. Tentu saja bukan dibayar dengan perasaan cinta karena hatinya sampai saat ini masih milik Amelia.
Arsatya mendudukkan diri di atas ranjang, di dekat Anindya dan kedua bayinya berada, tetapi sama sekali tidak dipedulikan keberadaannya. Seperti roh halus yang berkeliaran bebas tanpa bisa dilihat oleh mata manusia meski dalam keadaan kelopak terbuka.
“Anin, terima kasih, ya,” ucapnya dengan senyuman. Meski tahu jika suaranya akan dianggap sebagai angin lalu, Arsatya tetap mengutarakan.
“Makasih sudah menjaga mereka lebih daripada pengasuhnya,” lanjut pria itu.
Anindya yang semula terlihat sangat sibuk dengan aktivitas melepas baju bayi Ansha, sontak memberikan lirikan tajam. (Setajam belati paman Sengkuni, wkakak)
“Jangan samakan aku dengan pengasuh! Selamanya aku akan tetap menjadi ibu untuk mereka! Walaupun kita telah berpisah nanti,” ujar Anindya dengan nada bicara yang ketus dan wajah judes, sejudes yang bisa dia tampilkan.
Sempat membuat Arsatya tercengang karena tiba-tiba Anindya merespons dengan kalimat lugas dan menyentak, tetapi kemudian dia teringat jika wanita di depannya adalah perempuan kecil, adik iparnya yang dulu suka sekali merengek dan manja pada mendiang istrinya. Lantas, senyum pun terukir di wajah Arsatya.
“Dia benar-benar masih sama seperti gadis manja yang kutemui pertama kali dulu itu, sangat berbeda dengan kakaknya,” suara dari lubuk hati pria itu.
Mencoba melangkah walau dengan kaki yang masih pincang, Anindya berpura-pura berjalan baik-baik saja dan sedikit menghentak-hentak seolah rasa sakit itu telah sirna dari kakinya.
Dan saat akan mengambil popok di dalam tas bayi yang disimpan di dalam lemari, Anindya melempar apapun yang diraihnya dari dalam lemari, termasuk popok, pakaian, dan selimut bayi tidak lain karena sedang ingin menunjukkan pada dunia jika dia sedang marah dan tersinggung karena kasih sayangnya pada si kembar dibandingkan dengan seorang pengasuh.
Tidak kuat untuk menahan lebih lama rasa yang menggelitik di perutnya. Alhasil, tawanya pun pecah. Walau tidak terbahak, tetapi senyuman lebar sudah cukup baginya untuk melepaskan respons yang seharusnya terjadi.
“Maaf, Anidnya. Ya, aku berterima kasih untuk itu, kamu memang ibunya. Ibu yang menyusui mereka. Terima kasih banyak dan selamanya darahmu akan mengalir di dalam tubuh si kembar,” ujar Arsatya meralat ucapannya.
Ekspresi di wajah Anindya yang semula menekuk kecut berangsur kembali ke sedia kala, itu lebih baik daripada muram tidak enak dipandang.
Tentu saja perasaan Anindya membaik karena itulah yang ingin dia dengar yakni pengakuan secara konkrit bahwa ibu dari si kembar adalah dirinya.
“Maaf, ya,sudah buat kamu tersinggung?”
Bukankah seperti itu cara meminta maaf yang baik pada dia si perempuan manja?
“Iya,” jawab Anindya yang kembali melembut.
“Sekarang, coba Mas yang gendong Ansha. Tidurkan dia dengan caramu. Bisa, tidak?” tantang Anindya seketika memberikan Ansha pada ayahnya tanpa sempat bisa ditolak.
Nyatanya sampai sejam berlalu, bayi Ansha masih saja merengek dan tidak mau memejamkan matanya walau Arsatya sudah menimang-nimang dan menyanyikan selawat yang biasa dia dengar kala Anindya bersenandung mengantarkan si kembar tidur.
Pria itu membalikkan badannya, menatap Anindya yang sedang memperhatikan mereka dari atas ranjang. Alis Anindya terangkat, bertanya “Kenapa?”
Arsatya menggeleng dengan wajah sedih. Dia menyerah karena bukannya tertidur, di dalam gendongannya malah membuat bayi Ansha semakin sering merengek dan menggeliat tidak tenang.
Dengan senang hati, Anindya menyodorkan tangannya untuk meraih bayi Ansha yang langsung disambut oleh kedua tangan bayi Ansha yang merentang ingin berpindah ke gendongan Anindya.
Ajaibnya, di gendongan Anindya, Ansha langsung bisa memejamkan matanya berangrur-angsur. Tanpa perlu berkata apapun lagi, Anindya hanya tersenyum puas saat belum ada lima menit Ansha sudah pulas dalam tidurnya dengan mulut yang sedikit menganga.
“Inilah bukti jika aku bukan pengasuhnya, tetapi ibu untuk mereka. Kami punya ikatan batin. Kalau hati ibu damai, maka anak pun tenang,” ujar Anindya yang merasa bahagia menjadi ibu bagi si kembar.
“Apa itu artinya hatiku tidak tenang?” Arsatya bertanya.
“Mungkin, coba tanyakan pada dirimu sendiri. Bukan hanya hati, tapi pikiran dan jiwamu yang terlalu berisik dan tidak pernah ada damainya. Termasuk dengan masa lalu,” ujarnya sembari berlalu meninggalkan Arsatya yang bertanya-tanya apa maksud dari yang diucapkan Anindya padanya.
... 🦋🦋🦋...
maaf ya thor
gak cmn mewek kak, gemes,kesel pokoknya nano nano