Seorang siswa SMA yang bernama Revan Abigail adalah siswa yang pendiam dan lemah ternyata Revan adalah reinkarnasi seorang Atlet MMA yang bernama Zaine Leonhart yang ingin balas dendam kepada Presdirnya.
Siapakah Zaine Leonhart yang sebenarnya? mengapa Zaine melakukan Reinkarnasi? Rahasia kelam apa yang disembunyikan Presdir itu?
Ikuti misteri yang ada di dalam cerita ini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lynnshaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32 - BAB TAMBAHAN (TAMAT)
Beberapa tahun telah berlalu sejak hari kelulusan itu. Dunia masih damai, tapi ketenangan yang Revan rasakan tak pernah sepenuhnya utuh. Ia kini seorang mahasiswa jurusan teknik di universitas ternama pilihan yang diambilnya untuk bisa menciptakan alat bantu bagi orang-orang terluka seperti Riko. Di sisi lain, Revan juga dikenal sebagai atlet MMA muda yang sedang naik daun. Namanya mulai terdengar di berbagai kejuaraan nasional, bahkan internasional. Ia membawa nama "Leonhart" sebagai penghormatan untuk sosok yang telah mengubah hidupnya.
Namun, suatu malam setelah kejuaraan besar, Revan baru saja keluar dari arena dengan kemenangan gemilang. Di belakang panggung, tempat hanya para staf dan atlet boleh berada, Revan tiba-tiba merasa diawasi.
Langkahnya terhenti.
Suara berbisik terdengar di telinga kirinya dingin, tajam seperti belati
“Zaine pernah berdiri di tempat ini… dengan luka terbuka di dada. Dan gue yang membuatnya begitu.”
Revan membalikkan badan dengan cepat. Seorang pria berjubah gelap berdiri di balik bayangan alat-alat logistik. Wajahnya tertutup separuh topeng logam, dan satu matanya bersinar merah sebuah peninggalan teknologi lama Robert.
“Siapa lo?” tanya Revan tajam, tubuhnya langsung bersiaga.
Pria itu melangkah keluar dari bayangan. “Udah lupa sama temen sendiri? Gue yang lo cari dulu... Rafa.”
Revan menyipitkan mata. “Rafa? Lo... lo yang bunuh Zaine?”
Rafa tersenyum tipis. “Dia terlalu keras kepala. Robert butuh dia mati agar Robert gak ada gangguan dari Zaine itu. Dan lo… lo ngerusak semuanya.”
Napas Revan memburu. “Jadi… semua itu… sinyal palsu, jebakan, bahkan kejatuhan Robert… semua lo rancang?”
“Gue dan Robert punya rencana jangka panjang. Tapi lo… lo ngerusak pondasinya,” kata Rafa sambil menarik pisau ramping dari balik jubahnya. “Sekarang gue ambil lagi kendali. Mulai dari ngilangin lo.”
Namun sebelum Rafa sempat bergerak, lampu stadion dinyalakan oleh kru keamanan yang tak sengaja lewat. Rafa menghilang ke dalam bayangan seperti hantu. Tapi Revan tahu… ini baru permulaan.
Saat kembali ke ruang ganti, Revan menatap dirinya di cermin. Luka masa lalu belum selesai. Dan kali ini, bukan demi menyelamatkan dunia, tapi demi menuntaskan kebenaran yang selama ini tersembunyi tentang Zaine, tentang kematian sesungguhnya, dan tentang siapa Rafa sebenarnya.
“Kalau ini tentang dendam…” gumam Revan, “gue pastiin lo gak akan pernah bisa ngelukai siapa pun lagi.”
Dan pertandingan berikutnya… bukan lagi tentang gelar juara. Tapi soal hidup, mati, dan menghapus bayang-bayang terakhir Robert dari dunia yang sudah dibebaskan.
...***...
Langit tampak muram, seperti menahan amarah hujan yang belum jatuh. Di tengah pelabuhan tua yang kini tak lagi aktif sejak Robert runtuh, Revan berdiri seorang diri. Ia sudah mengirim sinyal lokasi ke Emma dan Riko, tapi tahu mereka akan butuh waktu. Rafa menantangnya ke sini tempat yang dulu digunakan Robert untuk menyelundupkan senjata sistemik ke seluruh dunia.
Suara langkah kaki menggema di antara kontainer karat.
“Sendirian aja? Gue harap lo bawa tim, Rev,” terdengar suara Rafa dari balik tumpukan kontainer.
Revan memutar badannya perlahan. “Lo takut kalau gue ramean?”
Rafa muncul dari kegelapan. Tanpa jubahnya, kali ini ia mengenakan pakaian tempur ringan berwarna hitam. Separuh wajahnya masih dengan topeng logam. Di punggungnya, dua bilah pisau besar. Di tangan kirinya, gelang sibernetik model lama, peninggalan teknologi Robert masih menyala merah.
“Gue gak takut, Revan. Tapi gue benci kalau ‘kerja bersih’ jadi berantakan,” kata Rafa dengan nada santai namun mengandung ancaman tajam.
Revan menarik napas, tangan kanannya mengepal. “Lo udah ambil satu orang yang penting buat gue. Gue gak akan biarin lo ambil siapa pun lagi.”
“Terlambat,” gumam Rafa sambil melempar sesuatu ke tanah.
Itu adalah kamera kecil rekaman singkat memperlihatkan Emma… terikat di dalam ruangan gelap.
Revan membelalak. “LO APAIN EMMA!?”
“Tenang… dia masih hidup. Tapi kalau lo kalah malam ini…” Rafa menarik pisau panjangnya. “Lo gak akan bisa lihat dia lagi.”
Tanpa aba-aba, Rafa langsung menerjang. Pisau melesat ke arah leher Revan. Namun Revan berhasil menghindar dan menendang Rafa ke belakang. Tubuh mereka berbenturan keras dengan kontainer, memicu percikan api dari gelang sibernetik Rafa.
“CURANG LO ANJING! BERANINYA CUMA NYULIK ORANG, MAU MALU-MALUIN DIRI SENDIRI APA GIMANA?!” teriak Revan sambil menghantamkan tinju ke wajah Rafa, menghancurkan sebagian topengnya.
Tapi Rafa justru tertawa. “Curang? Dunia ini gak adil dari awal! Gue cuma adaptasi, Rev!”
Pertarungan mereka makin brutal. Darah mulai menetes, pelabuhan bergema dengan suara logam menghantam aspal. Rafa menggunakan pisau dan kecepatan, sementara Revan bertahan dengan kekuatan dan teknik MMA murni.
Namun, Rafa lebih dari sekadar pembunuh. Ia bukan petarung biasa dia punya pengalaman membunuh, menyiksa, dan mengintai. Dan kali ini, ia benar-benar ingin Revan mati.
Saat Rafa menusukkan pisaunya lagi, Revan menangkap pergelangan tangan musuhnya, memutar dan menjatuhkan Rafa dengan teknik lemparan yang sempurna. Pisau terlepas, melayang di udara… dan Revan menangkapnya.
“Apa kata lo tadi?” gumam Revan. “Kerja bersih?”
Revan menancapkan pisau itu ke tanah, tepat di samping wajah Rafa.
“Ada satu hal yang Riko ajarin ke gue… lo gak bisa ngelawan kegelapan… kalau lo gak berani masuk ke dalamnya.”
Rafa mengangkat tangan, napasnya terengah. “Lo pikir lo menang?”
Revan mengangkat alat komunikasi. “Emma udah bebas. Riko yang selamatin. Lo kalah, Rafa.”
Mata Rafa melebar. Suara Emma terdengar dari alat komunikasi “Rev! Dia bohong! Gue aman. Fokus sama dia!”
Dan dalam sepersekian detik, Rafa berusaha menarik belati dari lengan bajunya. Tapi Revan lebih cepat. Satu pukulan terakhir keras, menghantam rahang Rafa hingga tubuhnya terlempar ke belakang dan pingsan di antara tumpukan besi.
Revan berdiri sambil memegangi lengannya yang berdarah, matanya menatap tubuh Rafa dengan campuran amarah dan lega.
“Ini bukan pembalasan, Rafa,” gumam Revan. “Ini… penutupan.”
...***...
Beberapa jam kemudian, polisi dan unit khusus datang. Rafa diborgol dan diamankan. Emma langsung memeluk Revan saat mereka bertemu, dan Riko menyambut mereka dengan senyum lelah.
“Zaine pasti bangga banget sama lo sekarang,” kata Riko sambil menepuk pundak Revan.
Revan menatap langit malam yang mulai cerah. Tak ada sistem, tak ada penguasa. Hanya manusia… dan pilihan mereka.
Tapi jauh di dalam sel isolasi bawah tanah, Rafa membuka mata perlahan.
Dan tersenyum.
Karena ternyata… Rafa bukan satu-satunya bayangan dari masa lalu.
Rafa duduk diam di dalam sel isolasi. Tangan dan kaki terborgol, kamera memantau setiap gerakannya. Tapi senyumnya tak pernah hilang. Ia menunduk, lalu dengan suara sangat pelan, bergumam sendiri
“Robert... Gue lanjutin kehancuran yang lo mulai. Sekarang giliran gue.”
Ia menggigit bagian dalam pipinya mengaktifkan kapsul mikro eksplosif yang telah ia tanamkan sejak lama. Retakan cahaya menyala di iris matanya yang kini berubah merah. Dalam hitungan detik, chip dalam tubuh Rafa meledak tapi bukan hanya meledakkan dirinya… melainkan mengaktifkan rangkaian bom biologis yang sudah tersebar diam-diam di beberapa titik kota, terutama di lokasi tempat kampus itu namun kecuali markas Emma, Revan, dan Riko itu dan juga perumahan lainnya.
Revan sedang mempersiapkan latihan untuk kejuaraan nasional berikutnya. Emma duduk di bangku penonton, membawa bekal dan minuman seperti biasa. Riko sedang mengatur strategi latihan di tablet.
Tiba-tiba, lampu-lampu padam. Seluruh bangunan bergetar.
“Rev, lo denger suara itu?” tanya Riko sambil berdiri.
Belum sempat Revan menjawab, alarm darurat berbunyi. Pintu-pintu otomatis terkunci. Emma berdiri dengan panik.
“Ini... bukan latihan, kan?” bisiknya.
Revan mencoba membuka jalur darurat. Tapi saat itu juga… monitor di tengah arena menyala. Wajah Rafa muncul, rekaman terakhirnya.
“Selamat datang di akhir dari cerita lo, Revan. Gue gak perlu menang... gue cuma perlu bikin dunia tahu, bahwa gak ada pahlawan yang bisa hidup bahagia.”
Revan membelalak. “WHAT THE FUCK ARE YOU DOING HERE, RAFA??!!”
BOOOOMMMMM!!!!
Ledakan besar mengguncang arena. Api menghancurkan seluruh gedung. Gelombang panas menyapu segalanya. Kamera keamanan hanya menangkap cahaya putih terakhir… lalu hilang, namun Riko dan Emma selamat kecuali Revan dan mahasiswa mahasiswi lainnya.
“Tragedi menggemparkan terjadi hari ini saat ledakan hebat meluluhlantakkan pusat pelatihan kampus olahraga nasional. Korban yang dipastikan tewas antara lain Revan Abigail, Aine Septiana, Indira Melissa, Gadhis Laisya, dan korban lain identitas tak dikenal…”
“Pihak keamanan telah mengonfirmasi bahwa pelaku dalang ledakan ini adalah Rafa Lauge, mantan pembunuh bayaran dan juga mantan Atlet MMA yang sebelumnya ditahan atas kasus konspirasi global…”
Seluruh dunia terdiam dalam duka termasuk Emma dan juga Riko. Upacara pemakaman besar diadakan, membawa bunga, menangis, dan berdoa. Banyak mahasiswa dan mahasiswi tewas kini hanya menjadi kenangan pahit.
Oke, kita masuk ke masa kecil Revan Abigail—momen sebelum semua kekacauan, sebelum MMA, sebelum Zaine. Waktu di mana dunia masih sederhana… tapi ternyata, benih masa depan sudah tertanam sejak lama.
...***...
Langit sore berwarna jingga saat bocah laki-laki berusia tujuh tahun itu duduk sendirian di bawah pohon di belakang rumah. Namanya Revan Abigail. Tubuhnya kecil untuk usianya, dengan rambut hitam kusut dan mata yang sering menatap langit, seolah ada hal lain yang hanya bisa dia lihat di sana.
Ia bukan anak yang suka banyak bicara. Di sekolah, Revan dikenal sebagai “anak aneh” selalu menyendiri, lebih suka membaca buku dan menggambar sketsa aneh daripada main petak umpet. Ia sering mendapat ejekan, dan kadang pukulan dari anak-anak lain. Tapi tak pernah menangis. Tak pernah melawan juga.
“Kenapa kamu gak pernah balas mereka?” tanya seorang guru suatu hari.
Revan hanya mengangkat bahu. “Karena kalau aku balas… aku sama kayak mereka.”
Suatu malam, ayahnya pulang lebih larut dari biasanya. Pria paruh baya itu, seorang teknisi bengkel tua, melemparkan tas ke meja dan menghela napas panjang. Revan mendekat perlahan.
“Ayah… kenapa semua orang selalu marah-marah?” tanyanya pelan.
Ayahnya menatapnya, lalu mengacak rambut Revan. “Karena dunia ini keras, Nak. Tapi bukan berarti kamu harus jadi keras juga. Kadang… orang paling kuat itu bukan yang bisa mukul balik. Tapi yang bisa tahan semua pukulan dan tetap berdiri.”
Kata-kata itu melekat di hati Revan, lebih kuat daripada apapun yang dia pelajari di kelas.
...***...
Suatu hari, Revan melihat seekor burung terjebak di kawat jemuran tetangganya. Tanpa pikir panjang, dia memanjat pagar berduri untuk menyelamatkannya. Ia terjatuh dan lututnya terluka, tapi burung itu terbang bebas.
Saat pulang, mamanya menangis melihat luka di kakinya. Tapi Revan hanya berkata
“Burung itu gak bisa minta tolong, Ma. Tapi aku bisa bantu.”
Malam itu, ia menggambar burung bersayap mesin di bukunya. Di bawah gambar itu, tertulis pelan
"Kalau aku bisa buat sayap, gak ada yang akan terjebak lagi."
...***...
Beberapa bulan kemudian, Revan ikut lomba sains kecil di sekolah. Ia membuat prototipe alat bantu gerak dari kardus bekas dan dinamo rusak. Anak-anak lain menertawakannya. Tapi juri seorang dosen tamu dari universitas teknik melihat sesuatu yang berbeda.
“Kamu bikin ini sendiri?”
Revan mengangguk. “Aku pengen bantu kakek tetanggaku… dia gak bisa jalan.”
Dosen itu tersenyum. “Nak, suatu hari kamu akan buat sesuatu yang jauh lebih besar dari ini.”
Revan menatap alatnya. “Aku pengen buat sesuatu… yang bisa selamatin orang-orang.”
Dan malam itu, saat dunia kecil Revan tenang dalam tidur… jauh di sudut kota, seorang pria bernama Robert Marvolo menatap layar penuh data dari hasil riset sekolah.
“Subjek Z-07,” bisiknya. “Revan Abigail. Menarik…”
Tanpa Revan tahu… sejak usia tujuh tahun, takdirnya sudah mulai diintai.
...- TAMAT -...