Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.
Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.
Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
1. TAKDIR YANG DITENTUKAN
Hujan deras mengguyur halaman mansion megah yang menyerupai istana, menciptakan suara gemuruh yang menggema di antara dinding batu kuno. Udara dingin menusuk hingga ke tulang, sementara angin membawa aroma tanah basah yang bercampur dengan kelembapan malam. Petir sesekali menyambar langit kelabu, menerangi siluet bangunan megah yang berdiri kokoh di tengah hujan.
Di depan pintu besar yang menjulang megah, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun berdiri dengan tubuh sedikit gemetar. Jemarinya yang kecil menggenggam erat tangan seorang wanita yang telah dianggapnya sebagai ibu. Matanya yang kebiruan, yang biasanya penuh kehangatan, kini menatap lurus dengan waspada ke arah pria tua berjas hitam yang duduk angkuh di singgasana.
Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, kini berdiri di hadapan kakeknya—sosok yang selama ini ingin ia lupakan. Ingatannya berputar kembali ke hari itu, mengingat bagaimana ia berusaha melarikan diri dari pria yang sangat ia benci ini. Sejak kedua orang tua kandungnya meninggal, ia tidak pernah ingin kembali ke sisi lelaki tua itu. Namun, kini, takdir membawanya kembali ke tempat yang sama, ke hadapan sosok yang menatapnya tajam, seolah menelanjangi masa lalunya yang masih kabur dan penuh luka.
“Kau ingin tetap tinggal bersama mereka?”
Suara sang kakek terdengar dalam, nyaris tanpa emosi, bergema di seluruh ruangan megah yang dipenuhi oleh aura kekuasaan dan keheningan mencekam. Nada bicaranya begitu datar, nyaris seperti perintah daripada pertanyaan. Tatapannya yang tajam seperti ingin menguji keberanian cucunya, menunggu jawaban yang akan menentukan nasib anak itu.
Rei menggigit bibirnya, menunduk sejenak sebelum kembali menatap kakeknya dengan mata yang dipenuhi kebimbangan. Dalam benaknya, pertanyaan itu bukanlah sekadar pilihan, melainkan ujian yang akan menentukan masa depannya. Ia tahu betapa kuatnya kehendak lelaki tua itu, dan betapa sulitnya menolak permintaannya tanpa konsekuensi besar.
Tangannya yang mungil semakin erat menggenggam jemari Adara, seolah mencari kekuatan dari wanita yang telah menjadi tempatnya berlindung selama ini. Hatinya berdebar, tetapi ketika ia menoleh ke arah Adara, tatapan lembut wanita itu menyapanya dengan penuh ketulusan. Tidak ada paksaan, tidak ada tekanan—hanya senyum hangat yang menguatkannya.
Adara perlahan mengusap kepalanya, sentuhannya memberikan ketenangan yang sejenak mengusir keraguannya. Isyarat itu begitu jelas, mengisyaratkan bahwa keputusan ada di tangannya. Rei menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian yang tersisa dalam dirinya.
“Iya…” Suaranya kecil, hampir tenggelam dalam dentuman hujan yang mengguyur atap mansion. Namun, meski lirih, nada suaranya tetap tegas. Ia tidak ragu dengan keputusannya. “Aku ingin bersama Mama dan Papa.”
Kata-kata itu menggema di ruangan, membelah keheningan yang sempat menggantung. Jawaban yang begitu sederhana, namun memiliki makna yang mendalam. Ia tidak peduli dengan darah bangsawan yang mengalir di tubuhnya, tidak peduli dengan gelar atau warisan yang mungkin akan diberikan kakeknya—satu-satunya yang ia inginkan adalah tetap berada di sisi orang yang telah merawat dan mencintainya tanpa syarat.
Kakeknya, Duke Alastair, terdiam. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tetapi sorot matanya berbicara banyak—tajam dan penuh perhitungan, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu yang lebih besar daripada sekadar keputusan seorang bocah berusia tujuh tahun. Ia menelusuri sosok Rei dengan tatapan yang dalam, mencoba mencari jejak kebangsawanan dalam dirinya, mencoba melihat apakah cucunya yang telah lama ia tinggalkan ini masih membawa garis keturunan keluarga kerajaan yang selama ini ia banggakan.
Ruangan tetap sunyi, hanya suara hujan deras di luar jendela yang menjadi latar belakang ketegangan yang menggantung di udara. Setelah keheningan panjang yang terasa begitu menyesakkan, pria tua itu akhirnya menghela napas perlahan, seolah telah mengambil keputusan yang tidak bisa diubah.
“Baiklah.” Suaranya tetap dingin, tak menunjukkan tanda-tanda kehangatan seorang kakek kepada cucunya. “Jika itu keputusanmu, maka aku akan mengizinkan.”
Rei merasa dadanya sedikit lebih ringan, tetapi sebelum ia bisa benar-benar bernapas lega, kata-kata berikutnya dari sang kakek membuatnya kembali menegang.
“Tapi ada satu syarat.”
Rei mengangkat wajahnya, alisnya bertaut. Ia menatap kakeknya dengan penuh kewaspadaan, firasat buruk mulai menyelimutinya.
“Syarat apa?” tanyanya hati-hati.
Duke Alastair tidak langsung menjawab. Ia membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka, sengaja menciptakan ketegangan sebelum akhirnya melanjutkan, “Kau akan tetap menjadi bagian dari keluarga kerajaan. Dan seperti tradisi keluarga kita…” Ia berhenti sejenak, seakan memberi Rei waktu untuk memahami besarnya konsekuensi dari ucapannya. “Saat usiamu 17 tahun, kau harus menikah dengan wanita yang telah dipilih untukmu.”
Rei mengernyit, hatinya mencelos. “Menikah?”
“Ya.” Jawaban itu singkat, tanpa ruang untuk tawar-menawar.
Adara, yang sedari tadi tetap diam, tiba-tiba menegang. Matanya membesar, tangannya yang menggenggam Rei sedikit mengencang. Namun sebelum ia sempat mengatakan sesuatu, Zayn—suaminya—dengan tenang meletakkan tangan di pundaknya, memberikan isyarat agar ia tetap tenang.
Hujan di luar semakin deras, seolah menjadi pertanda akan perubahan besar yang baru saja terjadi dalam hidup seorang anak kecil yang bahkan belum memahami arti pernikahan itu sendiri.
“Jika kau ingin tetap tinggal dengan keluarga ini, maka inilah syaratnya,” lanjut kakeknya dengan nada dingin dan tak terbantahkan. Matanya yang tajam menusuk ke arah bocah kecil itu, seolah memastikan bahwa kata-katanya benar-benar dipahami. “Jika menolak, maka kau tidak akan bisa bebas dan akan menjadi tawanan musuh kerajaan.”
Ruangan besar itu terasa semakin sunyi. Bahkan suara hujan deras yang sebelumnya menggema di luar istana terasa memudar di telinga Rei. Anak laki-laki itu menggigit bibirnya, hatinya mencelos mendengar ancaman terselubung dari sang kakek. Tawanan musuh kerajaan? Meskipun ia masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya arti politik kerajaan, ia cukup mengerti bahwa menjadi tawanan berarti kehidupan yang penuh penderitaan. Ia tidak bisa membayangkan harus hidup di bawah kekuasaan orang-orang asing yang mungkin akan memperlakukannya dengan kejam, menjadikannya alat untuk membalaskan dendam mereka kepada keluarga yang bahkan baru saja ia kenali.
Rei menoleh ke arah Adara dan Zayn, kedua orang yang sudah ia anggap sebagai orang tua sejati. Adara masih menatapnya dengan penuh kasih, senyum lembutnya seolah memberi kekuatan. Zayn, meskipun raut wajahnya tetap tegas, terlihat sedikit tegang, seolah menunggu keputusan yang akan diambil oleh anak angkatnya. Rei tahu mereka pasti mengkhawatirkannya.
Di dalam hatinya, ada perasaan takut, ragu, dan cemas yang bercampur menjadi satu. Namun, satu hal yang pasti, ia tidak ingin kehilangan mereka. Mama dan Papa adalah satu-satunya keluarga yang ia punya setelah kehilangan orang tua kandungnya. Jika menerima perjodohan ini adalah satu-satunya cara agar ia tetap bisa bersama mereka, maka ia akan melakukannya.
Rei menelan ludah. Tangan kecilnya mengepal erat, mencoba menenangkan kegelisahan yang melanda dirinya. Napasnya sedikit tersengal, tetapi akhirnya ia mengangguk perlahan. Suaranya hampir tercekat saat ia berbicara, tetapi ia tetap berusaha agar terdengar tegas.
“…Baiklah,” jawabnya akhirnya, meskipun di dalam hatinya ada ketakutan yang tak ia mengerti.
Duke Alastair mengamati cucunya selama beberapa detik yang terasa begitu panjang sebelum akhirnya bibirnya melengkung tipis dalam senyum yang sulit ditebak. “Bagus.”
Begitu kata itu meluncur dari bibirnya, seorang pria berseragam dengan emblem kerajaan di dadanya segera melangkah maju. Langkahnya mantap dan penuh wibawa, seolah menyiratkan bahwa ia telah terbiasa dengan tugas-tugas penting seperti ini. Di tangannya terdapat sebuah gulungan surat berwarna gading yang terikat pita emas, tampak begitu resmi dan berharga.
Pria itu membungkuk hormat sebelum menyerahkan gulungan tersebut kepada Duke Alastair, yang kemudian menyodorkannya ke arah Rei. Bocah itu menatap benda itu dengan ekspresi kosong, tidak benar-benar memahami apa yang ada di dalamnya, tetapi ia tahu bahwa dokumen itu akan mengikatnya pada sesuatu yang besar.
“Ini adalah dokumen perjodohan,” kata sang kakek dengan suara yang tetap tak menunjukkan emosi. “Kau akan menikah dengan Hana Evangeline, cucu dari Duke Evander.”
Nama itu sama sekali tidak familiar bagi Rei. Ia bahkan tidak tahu siapa Duke Evander. Namun, pada titik ini, seberapa besar pun perjodohan itu akan memengaruhi hidupnya, ia tidak bisa peduli. Ia masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitasnya, terlalu lugu untuk menyadari bahwa perjanjian ini bukan hanya sekadar pernikahan biasa—melainkan sebuah permainan politik yang melibatkan dua keluarga besar.
Ia hanya mengangguk, menerima kenyataan tanpa banyak berpikir. Ia pikir, ini hanyalah sesuatu yang akan terjadi jauh di masa depan. Pernikahan adalah sesuatu yang masih terasa samar dalam pikirannya, seolah berada di dunia yang berbeda. Baginya, satu-satunya hal yang penting saat ini adalah tetap bisa tinggal bersama orang-orang yang ia cintai.
Namun, apa yang tidak ia ketahui adalah bahwa keputusan kecilnya hari ini akan menjadi awal dari perjalanan panjang yang penuh dengan lika-liku. Sebuah perjanjian yang mungkin akan menuntunnya ke dalam takdir yang jauh lebih rumit daripada yang bisa ia bayangkan.