Bayu, seorang penyanyi kafe, menemukan cinta sejatinya pada Larasati. Namun, orang tua Laras menolaknya karena statusnya yang sederhana.
Saat berjuang membuktikan diri, Bayu tertabrak mobil di depan Laras dan koma. Jiwanya yang terlepas hanya bisa menyaksikan Laras yang setia menunggunya, sementara hidup terus berjalan tanpa dirinya.
Ketika Bayu sadar dari koma, dunia yang ia tinggalkan tak lagi sama. Yang pertama ia lihat bukanlah senyum bahagia Laras, melainkan pemandangan yang menghantam dadanya—Laras duduk di pelaminan, tetapi bukan dengannya.
Dan yang lebih menyakitkan, bukan hanya kenyataan bahwa Laras telah menikah dengan pria lain, tetapi juga karena pernikahan itu terpaksa demi melunasi hutang keluarga. Laras terjebak dalam ikatan tanpa cinta dan dikhianati suaminya.
Kini, Bayu harus memilih—merebut kembali cintanya atau menyerah pada takdir yang terus memisahkan mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30. Kembali
Darma menghela napas, menatap Laras dengan ekspresi datar. "Ayah hanya ingin menyelesaikan masalah ini." Ia berhenti sejenak sebelum melanjutkan, suaranya lebih tenang namun tajam. "Sebagai seorang putri, kau harus berbakti pada orang tua yang telah merawat dan membesarkanmu. Sekarang, saatnya kau melakukan hal yang benar untuk keluarga ini."
Laras memejamkan matanya. Rasanya seperti ada pisau yang ditusukkan ke dadanya.
"Jadi Ayah memang menjualku," gumamnya pahit.
"Laras, jangan keras kepala. Ini hanya pernikahan. Kau tetap bisa hidup nyaman, dan keluarga ini tidak akan hancur," Darma menegaskan.
Laras menahan air matanya. Ia ingin melawan, tapi ia tahu bahwa dalam pertarungan ini, ia sudah kalah sejak awal.
Dengan suara bergetar, ia berbisik, "Aku mengerti. Aku akan menikah dengannya."
Darma tersenyum tipis. "Itu keputusan yang bijak."
***
Boni terduduk di sofa reyot ruang tamunya, menatap kosong ke gips yang masih membalut kakinya. Rasa nyeri masih sering menusuk, tetapi bukan itu yang paling menyakitkan baginya saat ini. Di depannya, surat-surat dari bank bertebaran di meja kecil—peringatan terakhir tentang tunggakan cicilan rumah.
Ketukan keras di pintu membuatnya tersentak. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menyeret tubuhnya dengan susah payah menggunakan tongkat penyangga. Saat pintu terbuka, dua petugas dari bank berdiri di sana dengan ekspresi tegas.
"Pak Boni, kami sudah memberikan peringatan sebelumnya. Hari ini adalah batas akhir," kata salah satu petugas. "Kami harap Anda bisa segera meninggalkan rumah ini."
Boni meremas pegangan tongkatnya. "Saya... saya belum bisa ke mana-mana. Kalian lihat sendiri kondisi saya. Kaki saya masih begini... Saya hanya butuh sedikit waktu lagi."
Petugas itu saling bertukar pandang sebelum menjawab dengan nada sedikit lebih lunak, tetapi tetap tegas. "Kami mengerti situasi Anda, Pak. Tapi peraturan tetap harus dijalankan. Kami sudah memberikan perpanjangan waktu dua bulan. Rumah ini secara resmi sudah masuk proses lelang."
Di luar, seorang petugas lain sedang memasang papan bertuliskan "DILELANG" di pagar rumahnya. Pemandangan itu seperti belati yang ditancapkan ke dadanya.
Boni menelan ludah, merasa lemas. Ia tidak punya tempat lain. Tidak punya uang. Bahkan untuk makan besok saja, ia tidak tahu harus bagaimana. Kecelakaan itu bukan hanya menghancurkan motornya—satu-satunya alat yang membantunya mencari nafkah—tetapi juga menghancurkan seluruh hidupnya.
Ia terpaksa menyingkir, berdiri dengan susah payah sambil bertumpu pada tongkatnya, sementara petugas bank mulai melakukan pengecekan akhir. Ia ingin marah, ingin melawan, tapi apa yang bisa ia lakukan?
Ia kalah.
Rumah ini bukan miliknya lagi.
Boni berjalan tertatih keluar dari pekarangan rumahnya, langkahnya lambat dan berat, dibantu sepasang kruk yang menopang tubuhnya. Kepalanya tertunduk, napasnya berat, seakan dunia di sekelilingnya tak lagi berarti. Di depan rumahnya, sebuah plang bertuliskan "DILELANG" berdiri mencolok, menandakan bahwa ia kini resmi kehilangan satu-satunya tempat berlindung.
Dengan uang yang habis untuk biaya rumah sakit, pekerjaan yang hilang setelah kecelakaan, dan kini rumah yang tak lagi menjadi miliknya, Boni merasa berada di titik terendah dalam hidupnya. Ia bergumam lirih, "Apa aku akan berakhir jadi pengemis dan gelandangan?"
Sebuah senyum miris terukir di wajahnya. Ia bahkan sudah kehilangan tenaga untuk marah atau menangis. Segalanya sudah berakhir. Rumah itu bukan lagi miliknya, dan dunia terasa begitu asing dan kejam baginya.
Namun, langkahnya terhenti begitu saja saat melihat sepasang sepatu berdiri di depan pagar rumahnya. Boni mengerutkan kening, jantungnya berdebar tanpa alasan yang jelas. Perlahan, ia mengangkat wajahnya, dan matanya membulat saat melihat siapa yang berdiri di hadapannya.
Bayu.
Boni terpaku. Perasaan terkejut, tak percaya, dan senang bercampur menjadi satu dalam dadanya. Air mata mendesak di ujung matanya, tapi ia masih tak yakin apakah ini nyata atau hanya ilusi akibat kelelahan dan keputusasaan.
Tanpa sadar tangannya terlepas dari Kruk yang menjadi penopangnya. Tangannya gemetar saat ia meraih pundak Bayu, seakan butuh kepastian bahwa ini bukan sekadar mimpi. “Ini bukan mimpi, 'kan?” suaranya bergetar, seolah masih belum yakin dengan kenyataan di depan matanya. “Bayu… ini benar-benar elo?”
Bayu tidak langsung menjawab. Tatapannya dipenuhi kesedihan saat melihat keadaan Boni—rambut berantakan, wajah pucat, kaki yang masih terbungkus gips, ke kruk yang kini terlepas dari tangannya, ke tubuh sahabatnya yang jauh lebih kurus dari terakhir kali ia melihatnya. Tapi yang paling menusuk hatinya adalah plang besar bertuliskan "DILELANG" yang terpancang di pagar rumah itu.
Rumah yang dulu menjadi tempat mereka berbagi canda, tawa, dan mimpi.
Rumah yang seharusnya menjadi milik Boni selamanya.
Bayu mengepalkan tangan, matanya memerah menahan emosi. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana sahabatnya ini harus menghadapi semuanya seorang diri. Seorang sahabat yang pernah mengorbankan segalanya untuknya—bahkan rumah satu-satunya, warisan orang tuanya, agar ia bisa tetap dirawat.
Dan sekarang… Boni tidak punya apa-apa lagi.
Bayu menelan gumpalan di tenggorokannya. Dengan hati-hati, ia meraih tangan Boni yang masih menggenggam pundaknya dan menekannya erat.
"Gue di sini, Bon…” ucapnya lirih, penuh janji. "Gue kembali.”
Boni masih menatapnya, seakan memastikan Bayu benar-benar ada di depannya. Dan saat akhirnya ia yakin, sesuatu di dalam dirinya runtuh. Air mata yang tadi tertahan kini mengalir tanpa bisa dihentikan.
"Syukurlah. Elu akhirnya pulih dan kembali." Ia tak peduli lagi pada rumahnya yang hilang. Pada statusnya yang kini tak punya apa-apa.
Yang ia tahu, sahabatnya telah kembali.
Dan mungkin, itu cukup baginya untuk bertahan.
"Bon... rumah ini…" suara Bayu tercekat. Dadanya sesak, hatinya remuk.
Boni tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, tapi kali ini dengan kelelahan yang mendalam. "Gue sudah kehilangan semuanya, Bay… Tapi gue senang elu kembali dan baik-baik aja.".
Bayu mengepalkan tangannya. Rasa bersalah menyesakkan dadanya. Boni telah mengorbankan segalanya untuknya, bahkan ketika ia tak sadarkan diri di rumah sakit. Dan ketika ia akhirnya siuman, ia tak bisa kembali lebih cepat karena harus memulihkan diri.
Sekarang, ia melihat hasil dari semua pengorbanan itu—Boni yang kehilangan segalanya.
Bayu meraih bahu Boni, menatapnya dengan tekad yang tak tergoyahkan. "Gue bersumpah, Bon… Gue bakal balikin semuanya sama lo."
Angin berembus pelan, membawa serta perasaan yang tak terkatakan di antara keduanya—tentang kehilangan, tentang pengorbanan, dan tentang persahabatan yang diuji oleh waktu dan keadaan.
Tapi Bayu berjanji… ini belum berakhir.
***
Laras berdiri di depan meja dapur, tangannya dengan cekatan mengupas buah-buahan segar yang akan ia jadikan jus. Aroma manis dari jeruk dan mangga bercampur dalam udara, memberikan sedikit ketenangan di tengah kekacauan pikirannya. Namun, ketenangan itu tak bertahan lama ketika Sherin masuk dengan wajah cemberut.
Laras melirik sekilas ke arah adiknya, menyadari ekspresi tak bersahabat yang terpancar jelas dari wajahnya. Ia menduga ini masih berkaitan dengan pernikahannya dengan Edward. Sherin memang tak pernah menyembunyikan ketidaksukaannya terhadap keputusan tersebut.
Tanpa berkata-kata, Sherin berjalan mendekati meja dapur dan berdiri di dekat jus yang baru saja selesai dibuat Laras. Tatapannya terfokus pada gelas bening berisi minuman segar itu, tetapi ia dengan cepat mengalihkan pandangan saat Laras menghampiri meja untuk mengambil beberapa es batu dari kulkas.
Laras menatapnya dengan kening berkerut. "Kamu ngapain di situ?"
Sherin menoleh dengan ekspresi setengah kaget, lalu berusaha bersikap santai. "Tadi aku ninggalin kuota gesek di sini."
Laras mengangkat alis. "Kuota gesek? Dari tadi aku di sini, nggak lihat apa-apa."
Sherin mengedikkan bahu, berusaha menutupi kegelisahannya. "Mungkin jatuh di tempat lain. Ya udah, aku cari di kamar aja." Ia lalu berbalik dan berjalan keluar dapur dengan langkah tergesa, tanpa menoleh lagi ke belakang.
Laras memandangi punggung Sherin yang menghilang di balik pintu dapur dengan perasaan heran. Sesuatu terasa janggal, tetapi ia tak bisa memastikan apa itu. Ia lalu mengalihkan perhatian kembali pada jusnya. Ia mengambil gelas itu, menatap isinya sejenak sebelum menyesapnya perlahan.
Sherin yang kini berdiri di luar dapur menahan napas. Tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya, menunggu reaksi dari dalam. Sebuah senyum licik tersungging di wajahnya. "Lihat saja, Laras. Aku akan membuatmu menyesal telah merebut Edward dariku."
...🍁💦🍁...
To be continued