Rian adalah siswa sekolah menengah atas yang terkenal dengan sebutan "Siswa Kere" karna ia memang siswa miskin no 1 di SMA nya.
Suatu hari, ia menerima Sistem yang membantu meraih puncak kesuksesan nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Tiba-tiba, satu nama muncul di kepalanya yaitu Nadia, satu - satunya penyelamat Sasha saat ini.
Tanpa membuang waktu, Rian merogoh ponselnya dan segera menelepon Nadia. Nada sambung berbunyi beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara yang familiar.
Tut..
Tut..
Tut..
"Halo? Rian?" Tanya Nadia di seberang telepon
"Nadia, aku butuh bantuanmu," kata Rian, suaranya terdengar sedikit putus asa.
"Apa? Kenapa suaramu kayak gitu? Ada apa rian?" Ucap bingung nadia diseberang telepon.
"Sasha mengalami kecelakaan. Dia harus di operasi, tapi aku harus membayar biaya rumah sakitnya. Jumlahnya Lima puluh juta. Aku gak punya uang sebanyak itu sekarang, dompet dan handphone nya tidak ada di mobil saat ke kecelakaan itu terjadi." Jelas Rian
"Tolong, bisa gak kamu pinjamkan aku dulu? Aku janji akan mengembalikannya." lanjut Rian dengan suara kecil.
Di ujung telepon, Nadia terdiam tak bersuara.
Rian saat ini tahu bahwa nadia dan Sasha tidaklah akur selama sebulan ini dan mungkin saja nadia tidak akan meminjamkan nya.
Namun, beberapa detik kemudian, suara Nadia terdengar lagi, lebih lembut dari sebelumnya.
"Aku akan transfer sekarang. Kirimkan nomor rekening rumah sakitnya."
Rian menghembuskan napas lega. Nadia benar-benar membantunya di saat kritis,
"Terima kasih, Nadia. Aku gak akan lupa ini." Ucap Rian.
Nadia langsung mematikan panggilan nya saat ini.
Saat Rian mengira masalahnya selesai, teleponnya bergetar lagi.
Nadia menghubunginya kembali.
Ia segera mengangkatnya. "Nadia? Ada apa?"
Di seberang sana, suara Nadia terdengar lebih serius. "Aku akan memberikan uang itu tanpa perlu kamu bayar, tapi dengan satu syarat."
Dahi Rian berkerut. "Syarat?" tanya rian.
"Iya." Jawab Nadia di seberang telepon.
"Syarat apa?" Tanya rian lagi
Namun, bukannya menjelaskan, Nadia justru berkata dengan nada tegas, "Terima dulu. Kalau gak, aku gak akan transfer."
Rian langsung terdiam, dan ia berpikir nadia sepertinya mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Aku harus tahu dulu, Nadia. Ini masalah besar," jawabnya, mencoba tetap tenang.
Namun, Nadia hanya tertawa kecil, lalu suaranya berubah lebih lembut tetapi tetap penuh tekanan.
"Terima dulu, Rian. Aku gak mau dengar alasan. Ini satu-satunya kesempatanmu. Kalau kamu nolak, cari uang sendiri atau biarin sasha meninggal."
Jantung Rian berdegup kencang. Apa pun syaratnya, pasti bukan hal yang sepele. Tapi Sasha butuh perawatan, dan ia tidak punya pilihan lain selain meminta bantuan pada nadia.
Ia mengepalkan tangan, menarik napas dalam-dalam.
"... Baik, aku terima," kata rian akhirnya.
"Bagus." Suara Nadia terdengar puas. "Aku akan transfer sekarang. Jangan lupa nanti tepati syaratnya.. kamu kan sudah setuju."
Panggilan langsung di akhiri oleh Nadia, dan beberapa detik kemudian, petugas administrasi mengangguk setelah mengecek data di komputer rumah sakit Adana.
"Pembayaran berhasil".
Namun, saat Rian berjalan menuju ruang donor darah, pikirannya terus dihantui satu pertanyaan besar, Apa sebenarnya syarat yang baru saja ia setujui...?
- Di tempat lain -
Nadia tersenyum sendiri saat melihat notifikasi transfer sukses di ponselnya.
Rian sudah menerima syaratnya dan tak bisa ingkar janji karena sudah ia rekam ponselnya.
Ia menyandarkan punggungnya di sofa, memainkan ujung rambutnya sambil menatap layar. Rian pasti gelisah sekarang, bertanya-tanya apa syarat yang ia setujui tanpa tahu isinya. "Kamu terlalu mudah dibaca, Rian," gumamnya pelan.
Nadia tahu satu hal yang pasti, Rian tidak bisa benar-benar melepaskan Sasha. Sekeras apa pun Sasha mengabaikannya sebulan ini, dan sekeras apa pun juga Rian mencoba menenangkan Sasha, sampai - sampai ia di abaikan.
Dan Nadia tidak akan membiarkan itu terjadi.
Syarat yang ia berikan… bukan untuk menjauhkan Rian dari Sasha.
Sebaliknya, ini adalah caranya memastikan bahwa, tak peduli seberapa besar Rian peduli pada Sasha, ia tidak akan pernah bisa pergi dari Nadia.
Karena ia sangat mencintai Rian, sang pujaan hatinya.
Dengan senyum penuh arti, Nadia menutup aplikasi di ponselnya.
- Kembali Ke Rian -
Setelah membayar tagihan ia melanjutkan pengisian formulir pernyataan pasien.
Rian terhenti pada kata "Hubungan Penanggung Jawab (jika bukan orangtuanya)"
Hanya ada 3 opsi kota pilihan pada baris kata itu.
Keluarga Kandung
Suami
Saudara kandung dari orangtua
Ia bingung untuk mengisi apa, tak ada opsi pilihan "teman maupun sahabat"
Rian menghela napas panjang dan ia pun siap untuk berbohong demi kebaikan nya Sasha.
Sreet..
Rian mencentang kotak pilihan dua yang bertuliskan ia adalah suami.
Setelah menyelesaikan itu, kertas dokumen di kembalikan ke pihak administrasi dan disarankan untuk segera medonorkan darah A+ secepatnya karena pihak rumah sakit sedang kehabisan stok darah A+ dari pusat.
Rian duduk di bangku ruang tunggu ruangan operasinya Sasha yang telah dimulai.
Kepala Rian terasa pusing. Setelah ia medonorkan darah cukup banyak, dan sekarang tubuhnya terasa sangat lemas. Namun, ia tetap bertahan di sana, menunggu kabar tentang Sasha.
Sesekali ia mengusap wajahnya, mencoba mengusir rasa kantuk dan kelelahannya. Namun, tubuhnya terasa semakin berat.
Di sudut ruangan, seorang gadis perawat muda sekitar 19 tahun, memperhatikan Rian dengan tatapan penuh pengertian.
Ia sudah sering melihat pasien atau keluarga pasien yang baru saja mendonorkan darah. Wajah pucat, tubuh lesu, dan mata yang hampir terpejam, semua ciri itu ada pada Rian.
Perawat itu berpikir sebentar, lalu mengambil keputusan.
Tanpa banyak bicara, ia berbalik dan berjalan menuju gudang penyimpanan perlengkapan rumah sakit. Di sana, ia menemukan beberapa bantal bekas yang masih bersih dan layak pakai.
Bantal-bantal itu sebenarnya bantal ruangan yang diganti dengan yang baru, tapi belum sempat di buang dari ruangan.
Dengan hati-hati, ia mengambil satu dan kembali ke ruang tunggu.
Saat perawat itu tiba, Rian masih duduk dengan kepala menunduk, matanya hampir tertutup.
Perawat itu tersenyum kecil, lalu meletakkan bantal di sampingnya. "Mas, pakai ini aja buat sandaran. Kalau nggak, nanti tambah pusing," ujarnya lembut.
Rian mendongak sedikit, melihat perawat itu. Matanya samar-samar menangkap sosok gadis dengan seragam putih dan wajah ramah.
Rian tidak menolak dan menerima bantal yang di berikan dengan sepenuh hati.
Rian benar-benar kelelahan. Setelah kehilangan banyak darah, tubuhnya terasa berat, dan matanya sulit untuk tetap terbuka.
Begitu perawat muda itu meletakkan bantal di sampingnya, Rian tidak menyandarkan kepalanya, tetapi malah menjatuhkan tubuhnya sepenuhnya ke bangku dan menggunakan bantal itu sebagai alas tidur.
Perawat itu sedikit terkejut melihatnya langsung berbaring, tapi kemudian ia tersenyum kecil. Sudah kuduga, pasti dia benar-benar lemas dan pusing.
Dengan gerakan hati-hati, Rian mengambil selimut tipis yang tersampir di kursi dekat meja perawat, lalu menyelimutkan Rian yang sudah terlelap.
"Biar nggak kedinginan deh," gumamnya pelan.
Setelah memastikan Rian nyaman, ia pun pergi untuk melanjutkan tugasnya.