Leana seorang aktris yang baru saja terjun ke dunia hiburan tiba-tiba didorong ke dalam laut. Bukannya mati, Leana justru masuk ke dalam sebuah novel yang di mana ia menjadi tokoh pendukung yang lemah. Tokoh itu juga memiliki nama yang sama dengannya
Leana menjadi salah satu simpanan tokoh utama yang telah beristri. Namun tokoh utama pria hanya menganggap ia sebagai alat pemuas hasrat saja. Dan terlebih lagi, di akhir cerita ia akan mati dengan mengenaskan.
Merasa hidup sudah di ujung tanduk, Leana berusaha mengubah nasib tokohnya agar tidak menjadi wanita simpanan yang bodoh dan tidak mati mengenaskan. Di sisi lain Leana juga harus mencari cara agar keluar dari dunia novel ini.
Akankah Leana mampu melepaskan diri dari tuannya yang terkenal kejam itu? Dan bagaimana caranya agar Leana mampu kembali ke dunia asalnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ikuti Alurnya
Pagi itu, Leana terbangun dengan rasa kebingungan yang masih membekas di hatinya. Matanya yang masih berat, berusaha terbuka sepenuhnya, mencoba menyesuaikan diri dengan dunia yang penuh dengan bayangan gelap. Ia merasa tubuhnya terlalu lelah untuk melawan kenyataan, terlalu lelah untuk melawan perasaan yang sudah semakin rumit.
Dalton masih ada di sana, duduk di samping tempat tidur, menatapnya dengan tatapan yang terlalu tajam untuk disadari. Sesaat, Leana mencoba untuk menanggapi situasi ini dengan tenang, namun ada sesuatu yang mengganggu. Dalton terlalu dekat, terlalu sering mengelilinginya dengan perhatian yang tidak diinginkan.
"Apa yang kau lakukan di sini?" suara Leana terdengar serak, namun cukup jelas.
Dalton tersenyum tipis, senyum yang sudah sangat familiar bagi Leana—senyum yang tidak bisa dia artikan. "Aku hanya ingin melihatmu, Leana," jawabnya, namun ada nada lain dalam suaranya yang membuat Leana merasa tidak nyaman.
Leana menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa marah yang mengalir begitu saja. "Kau sudah melihatku cukup banyak malam lalu, Dalton. Bukankah itu cukup?" katanya, dengan sedikit nada ejekan.
Dalton tertawa pelan, tapi tatapannya tetap hangat, bahkan meskipun ada kekosongan yang mendalam di dalamnya. "Tidak cukup, Leana," jawabnya sambil mendekatkan wajahnya. "Aku ingin lebih."
Leana merasakan ketegangan yang semakin kuat. Ia mencoba untuk bergerak, tetapi Dalton menghalangi geraknya dengan menyentuh lengannya dengan lembut, membuatnya berhenti. "Dalton," bisiknya dengan kesal, "jangan main-main denganku. Istrimu—"
"Istriku tidak ada di sini, Leana," jawab Dalton, memotong kalimatnya. "Dan aku datang untukmu. Bukan untuk berbicara tentangnya."
Ada rasa sesak di dada Leana. Dia tahu apa yang Dalton inginkan, dan itu adalah sesuatu yang lebih dari sekadar perasaan yang bisa dipahami. Itu adalah sesuatu yang dia takutkan, sesuatu yang membuat dirinya merasa sangat tidak berdaya. "Kau tidak seharusnya ada di sini," kata Leana, suaranya mulai bergetar, "Kau tidak seharusnya ada di dekatku."
Dalton hanya memandangnya dengan penuh ketenangan, seolah-olah tidak ada yang salah dengan situasi ini. "Aku tidak akan pergi, Leana," jawabnya pelan, matanya penuh tekad. "Aku ingin lebih dari sekadar kata-kata kosong. Aku ingin lebih dari sekadar perasaan yang tidak jelas."
Leana merasakan perasaan cemas dan marah menyelimuti tubuhnya. Dia tahu, apa pun yang dia katakan, Dalton tidak akan pernah mendengarkan. Sebab bagi Dalton, semua ini adalah bagian dari permainan yang sudah ia atur.
"Jangan... Jangan lakukan ini," kata Leana, suaranya lebih rendah sekarang, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. "Aku tidak bisa seperti yang kau mau."
Dalton, yang semula duduk di tepi tempat tidur, kini berdiri lebih dekat. Ia menyentuh rambut Leana dengan lembut, namun dalam sentuhan itu ada ketegangan yang sulit disembunyikan. "Aku tahu kau tidak bisa menolakku, Leana," katanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, namun dalam nada itu ada keyakinan yang dalam.
Leana menarik napas dalam-dalam, mencoba untuk menenangkan dirinya. Namun, ada perasaan yang jauh lebih besar menguasainya, perasaan yang sangat tidak ingin dia rasakan. "Aku benci ini," katanya, lebih kepada dirinya sendiri, namun cukup keras agar Dalton bisa mendengarnya.
Dalton tersenyum tipis. "Kau tidak benci aku, Leana. Kau hanya takut pada dirimu sendiri," ujarnya dengan penuh keyakinan.
Leana menatapnya dengan tajam, mencoba untuk menantangnya, meskipun hatinya berdebar keras. "Aku benci apa yang kau buat padaku," katanya, berusaha memberi jarak antara mereka.
Namun, Dalton hanya menatapnya tanpa rasa bersalah. "Kita akan melihat seberapa lama itu bertahan," jawabnya, lebih untuk dirinya sendiri daripada Leana.
Dan meskipun Leana ingin melawan, tubuhnya seolah terperangkap dalam ketegangan yang diciptakan oleh Dalton. Ada keinginan yang kuat, namun juga kebingungan yang mendalam. Leana tahu bahwa dia tidak akan bisa keluar dari permainan ini dengan mudah.
Rasanya tubuh Leana selalu menikmati sentuhan lembut yang Dalton berikan. Sentuhan yang amat memabukkan dan mampu membuat dirinya menginkan sesuatu yang memuaskan. Tetapi Leana tahu, bahwa itu tidaklah benar, dan pikirannya amat membenci perbuatan itu.
"Kau harus bertanggung jawab tentang ini Leana," ucap Dalton menarik Leana di bawahnya.
Tanpa izin, pria itu menyelami leher jenjang Leana, meninggalkan bekas kemerahan dan membakar mereka berdua. Mata mereka kian bertemu, terdengar nafas memburu dari keduanya. Kembali gesit dia menautkan bibirnya untuk menikmati manisnya bibir Leana sembari menarik baju Leana.
Dalam sekali tarikan, kancing baju Leana terlepas. Terdengar suara dentingan dari kancing-kancing yang jatuh menggelinding dari kasur ke lantai. Dengan lihai Dalton melepaskan bra berwarna putih yang Leana kenakan.
Terlihat jelas payudara yang indah dengan puting yang telah menegang. Dalton melahap puting itu dan menyusu seperti bayi yang sedang kelaparan. Tangannya bergerak liar melepaskan celana yang leana kenakan, hingga mampu menyelipkan jarinya masuk dari pinggir celana dalam Leana.
Dua jari yang keluar masuk ke dalam lipatan basah dengan ibu jari yang mengelus klitoris diiringi lidah Dalton yang memutar di sekitar puting membuat Leana merasakan gejolak hasrat yang luar biasa. Ia pasrah dengan kenikmatan yang Dalton berikan.
Pikiran Leana sudah tidak karuan, gadis itu benar-benar menikmati permainannya. Tanpa sadar keduanya sudah tidak memakai apapun lagi. Leana membuka lebar kedua pahanya membiarkan Dalton mencicipi apa yang harus dicicipi. Dalton menunduk dan memainkan lidahnya membuat Leana menegang. Sekarang keduanya benar-benar terbakar oleh nafsu. Milik Dalton menegang membuat Elena menelan air liurnya.
"Kau tidak bisa lari dariku Elena," bisik Dalton pelan memasukkan miliknya. Elena merasakan ujung tumpul Dalton di depan miliknya. Benda itu masuk kembali membuat kakinya kian menegang.
"Ahhh," lirih Elena ketika milik Dalton menabrak dindingnya.
Gerakannya semakin cepat. Bukan sekali mereka melakukannya. Pada saat ini mereka melalukan sudah kesekian kalinya.
Kepalanya benar-benar kacau. Hanya ada rasa nikmat yang ia rasakan. Suara tubuh mereka yang bertemu membuat hasrat keduanya semakin jadi. Hingga pada pelepasan akhir Dalton melepaskan seluruh miliknya di dalam rahim Leana. Keadaan kamar itu benar-benar kacau, Leana mengambil nafas banyak.
Dalton memperhatikan gadis di sampingnya yang belum memakai apapun. Perlahan Dalton bangkit mengambil pakaiannya dan kembali ia kenakan. Tidak ada ucapan, Dalton pergi meninggalkan Leana sendirian dengan kondisi kelelahan.
"Pria itu melalukan ini lagi," gumam Leana.
Leana membenci caranya Dalton memperlakukannya, seolah dirinya hanyalah alat pemuas hasrat di malam-malam yang dingin. Tapi yang lebih ia benci, adalah tubuhnya sendiri yang selalu merespons, yang tak pernah menolak, bahkan ketika hatinya penuh amarah.
Setiap sentuhan Dalton seharusnya menjijikkan, tapi justru membuatnya terjebak lebih dalam. Ia ingin membenci pria itu sepenuh-penuhnya, namun kenikmatan yang terus datang membuat batas antara benci dan candu jadi samar.
Leana duduk termenung dalam diam, mencoba mencari tahu: apa yang sebenarnya ia rasakan? Apakah ini nafsu yang menyamar sebagai kedekatan, atau luka yang ia bungkus dengan gairah?
"Sepertinya aku terjebak."
aq mampir,Thor. Bahasanya baku dan mudah dipahami😊